Jumat, 01 Juli 2016

Menuju Tempat Pelarian


Ruang depan rumah baboh


Perlahan, mobil yang kami tumpangi meninggalkan hotel CS Pattani. Bersama saya, baboh, anaknya dan dua orang pengajar yang menjalankan semacam program pengabdian dari pattani. Kedua orang ini bisa berbahasa melayu. Alhamdulilah dalam batin saya. Yang saya kenali pertama bernama Ma’shofi. Orangnya kecil pendek, masih berumur 18 tahun. Sama seperti ketika saya pertama kali melakukan program pengabdian di Banyuwangi dulu. Orangnya agak aneh, tapi memang memiliki wajah yang good looking. cara berjalannya cepat, suaranya kecil, dan tingkahnya juga masih belum dewasa.

Satu lagi Adil. Dia seperti berkebalikan 180 derajat dengan Ma’shofi. Memiliki badan yang lebih tinggi dan besar. Sudah terlihat dewasa. Maklum umurnya juga menginjak 20 tahun. Dan nantinya, kedua orang tersebut yang menjadi penerjemah saya ketika di Phatthalung. Awalnya saya sulit memahami bahasa melayu mereka.  Logatnya sudah beda. Dan beberapa kata yang artinya tidak sama dengan Bahasa Indonesia.

Perjalanan dari Pattani menuju Phatthalung memakan waktu empat sampai lima jam. Hujan terus mengguyur selama dalam perjalanan. Menyejukkan bumi Pattani yang biasanya panas menyengat ketika matahari terik. Entah kenapa selama perjalanan saya tidak bisa tidur. Kedua teman saya, Adil dan Ma’shofi dan juga anak baboh yang saya ketahui namanya syafiq, telah tertidur pulas. Padahal ketika di Aula, rasanya ingin sekali tidur.

Sampai di daerah Phatthalung, mobil dibelokkan kekiri. Memasuki jalanan yang lebih kecil, tetapi masih tetap mulus. Rumah-rumah tidak terlalu banyak. Pepohonan masih rimbun. Mungkin ini sudah dekat, batin saya. Tiba-tiba mobil dibelokkan menuju jalan kecil biasa, seperti masuk hutan. Jangan bilang kalau tempat saya nanti daerah terpencil, saya mulai was-was. Kami melewati danau yang cukup luas di kiri jalan, indah. Ada beberapa pemuda yng bercengkerama di tepiannya. Tapi hal tersebut tetap tidak menghilangkan rasa was-was sekaligus penasaran saya.

Ternyata tidak, mobil keluar dari daerah tersebut memasuki jalan besar lagi. Mungkin jalan tadi semacam jalan pintas. Tidak membutuhkan waktu lama, telah terlihat nameboard sassnah vittaya school foundation, lokasi penempatan saya. Jam menunjukkan pukul lima lebih. Tetapi langit masih terlihat cerah walaupun mendung. Selanjutnya saya ketahui bahwa ternyata matahari tenggelam atau maghrib pukul setengah tujuh. “Abang, sudah sampai,” kata Adil membuyarkan kepenasaran saya.


Saya dipersilahkan masuk di rumah baboh. Ruang depan nampak seperti balai. Ada sebuah televisi di sebelah utara ada sebuah televisi LG berukuran 21 inch. Di depannya berjejer maja dan kursi dari kayu yang masih utuh. Disamping terdapat rak buku yang berjejer rapi. Mungkin ini ruangan serba guna. Bangunan ini berlantai dua. Lantai atas yang digunakan sebagai rumah baboh. Kebanyakan rumah di Thailand menggunakan tembok batu bata bercampur kayu. Rumah baboh ini juga dominan menggunakan kayu. Terkesan kebih alami. Tetapi saying, penataannya kurang rapi. Sore itu, saya ditemani adil jalan-jalan  melihat-lihat sekolah ini. 
Main bola





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sing Nulis

authorMahmud Rofi'i. I'm no body.
Learn More ?