Jumat, 26 Februari 2016




Kami melanjutkan perjalanan setelah turun dari menara pantau. Menara pantau tersebut terletak di atas bukit yang tidak terlalu tinggi. Ada sebuah penunjuk arah yang mengarahkan ke menara pantau. Untuk menuju kesana, cukup mengikuti penunjuk arah tersebut. Jalur untuk kesana juga dibuatkan tangga. 

Tak perlu berlama-lama, kami langsung bergegas mengendarai sepeda motor. Udara siang ini tidak terlalu panas. Kami mengendarai sepeda menuju ke pantai bama, pantainya TN Baluran. Sebenarnya kami ingin berfoto di depan barisan kepala banteng. Tapi pada saat itu masih ada rombongan yang berfoto disitu. Tak apalah bisa berfoto sepulang dari pantai nanti. Jalan menuju pantai membelah tengah-tengah savana. Kami melihat kawanan kijang berlarian di arah kanan kami. Tapi sayang agak jauh. Kamera saya tidak bisa mengambil pemandangan tersebut. Sepertinya kawanan kijang tersebut sedang kehausan. Mereka berlari menuju kubangan air. Ada banyak jejak kawanan kijang disini. Jika dilihat dari atas menara pantaupun jejak tersebut kelihatan jelas. Mungkin tekstur tanah yang kali ini basah karena musim penghujan.

Walaupun musim penghujan, saya berharap hari ini tidak kehujanan disini. Sembari melihat pemandangan, kami mendapati beberapa anak yang juga terlihat sangat menikmati momen-momen ini. Mereka sepertinya anak kuliahan semester awal. Mereka sepertinya juga akan ke pantai. Tetapi mereka tidak mengendarai sepeda, mereka memilih untuk berjalan kaki. Sebenarnya jarak dari pondokan ke pantai hanya 3 KM. Tetapi kami juga mengejar waktu. Maksimal jam 15.30 sudah bergegas pulang. Sebenarnya, pemandangan di pantai tak seindah pantai-pantai lain di daerah Banyuwangi selatan. Tetapi pemandangan di jalan menuju pantai ini yang benar-benar subhanallah. Pemandangan hamparan savana yang sangat luas. Kawanan hewan-hewan yang saling bercengkerama di kejauhan. Benar-benar seperti di afrika yang di siarkan dalam acara hewan-hewan di televisi itu. Saya menyebutnya acara hewan-hewan. karena saya suka melihat acara tersebut di waktu kecil. Pada saat itu saya tidak tahu nama acaranya. Bersama kawan-kawan  dan juga masyarakat kami, menyebutnya acara hewan-hewan begitu saja.



Di tengah perjalanan kami berhenti sejenak untuk sekedar mengagumi ciptaan-Nya. Kami berhenti di depan papan bertuliskan Taman Nasional Baluran. Di situ adalah salah satu tempat wajib sebagai objek foto ketika mengunjungi Baluran. Sepertinya memang tepat sekali memasang papan tersebut di situ. Hamparan savana dan gunung Baluran yang menjulang tinggi sebagai background, menjadi satu hal yang tak boleh terlewat dari bingkai kamera. Papan nama tersebut berada di kanan jalan jika dari arah pondokan. Ada beberapa tempat duduk di samping-sampingnya. mungkin memang dipasang di situ untuk berfoto. Di sebelah kiri ada tempat duduk juga yang dipasang di bwah pohon. Dari sini pemandangan terindah Baluran memanjakan mata.

Kaawanan Rusa
Pesona Baluran


Setelah puas mengambil gambar, kami melanjutkan perjalanan. Pantai sudah sangat dekat dari sini. Sebelum memasuki daerah pantai, banyak sekali hewan-hewan yang lalu lalang. Terlihat satu burung merak dengan bulu-bulu indahnya berlenggak lenggok . Kawan kijang juga terlihat tidak terlalu jauh dari jalan. Tapi mereka sangat pemalu. Entah malu atau takut.Tidak lama,  akhirnya kami sampai di pantai bama. Di kawasan pantai ini terdapat kantor untuk perhutani, ada juga warung makan yang jarang buka. Baru pertama kali ini saya melihat warungnya buka .Mungkin memang musim jalan-jalan, jadi si pemilik warung membukanya. Ada juga Musholla kecil yang lebih kecil dari musholla di pondokan. Walaupun sepertinya lebih terawat. Kami langsung menuju bibir pantai. Di sana ada beberapa meja dan tempat duduk dari batang pohon besar. Kami memilih duduk di situ sambil melihat hasil jepretan saya. Ya walaupun tak seindah hasil karya fotografer yang masih amatir sekalipun, saya sudah cukup puas. 

Pantai ini dikelilingi oleh pohon mangrove. Tak jauh dari pantai ini pula ada pohon mangrove terbesar se-Asia. Kami tidak mendatanginya, karena saya dulu sudah pernah melihatnya. Tak lama kami menikmati sepoi-sepoi angin pantai, kami bergegas menuju mangrove trail (jembatan mangrove), 200 meteran dari pantai. Mangrove trail ini menjulur hingga ke laut. Kami melewati mangrove trail ini sambil tak lupa mengabadikan gambar. Di bawah mangrove trail ada air payau campuran air laut dan tawar. Terlihat beberapa ikan berenang kesana kemari mengelilingi akar pohon mangrove. Tetapi, disini sangat banyak nyamuk. Kami berjalan agak cepat ke ujung mangrove trail di tepi laut.

Di tepi laut ini jembatan mangrove berakhir. Terakhir kali saya kesini, ada tangga ke bawah sampi permukaan air. Tetapi sekarang sudah rusak. Di sini kami bertemu dengan sepasang suami istri yang sedang memancing. Si suami memancing, si istri yang membawa bekal untuk suami. Benar benar membuat iri para perjaka. Kami agak berbincang-bincang sedikit dengan mereka. "Disini dulu banyak ikannya mas," kata si suami. "Tetapi setelah nelayan-nelayan suka ngebom ikan jadi sulit untuk mancing," lanjutnya bercerita. Sayapun bercerita di perjalanan kesini mendapati ikan yang berenang di sekeliling mangrove. "owh ikan itu tidak mau dipancing, percuma kalau mancing disitu." Agak jauh dari mangrove trail ini ada dua perahu yang berhenti. Si bapak melanjutkan ceritanya, "mereka itu sedang ngebom ikan, tadi saya dengar ledakannya, kalau ketahuan polisi ditangkap mereka, merusak alam saja." Sebenarnya tidak semua nelayan melakukan hal tersebut. Hanya sebagian nelayan saja yang memang tidak peduli dengan alam ini. 

 
Mangrove Trail


Perjalanan ini memberi saya banyak pelajaran. Bagi saya, hasil akhir perjalanan ini bukanlah yang utama, tetapi perjalanan mencapai hasil inilah yang utama.Waktu berjalan begitu cepat. Padahal saya merasa tadi berhenti hanya sebentar-sebentar saja. sayapun bergegas untuk kembali. Sebelum pulang, kami mampir dulu ke penangkaran banteng jawa. Setelah itu langsung segera pulang, karena bau hujan sudah mulai tercium.

Cerita Tentang Monyet

Entah kenapa setiap memasuki kawasan Taman Nasional selalu saja ada monyet. Di TN alas purwo banyak, Di TN meru betiri juga banyak. Padahal ikon hewan di TN Baluran adalah banteng jawa, kenapa yang banyak justru monyet. Mungkin memang populasi monyet disini termasuk terbesar dibanding dengan hewan-hewan yang lain. monyet memang termasuk dalam kategori omnivora, doyan apa saja. Hal itu bisa dilihat dari dua sisi. Disatu sisi, monyet bisa dikatakan narimo ing pandum, menerima apa adanya. Ada buah ya di terima, ada daging ya diterima. Tidak ada daging, tidak ada buah ya bisa makan yang ada saja. Oleh karena itu mereka jauh dari ancaman kepunahan. Di sisi lain, mereka ini juga serakah. Sudahlah tidak usah diceritakan keserakahan mereka. La wong tidak beda jauh dengan kita.

Ready for race

Untuk monyet di TN Baluran sendiri antara yang berada jauh dari pantai berbeda dengan yang berada dekat pantai. Yang jauh dari pantai rata-rata monyet takut dengan manusia. Tetapi ketika tas diletakkan, dan ditinggal agak jauh, jangan harap tas anda selamat dari tangan-tangan monyet. Berbeda dengan yang berada di dekat pantai, lebih parah. selain menjarah isi tas, terkadang mereka juga berani dengan manusia. Mungkin mereka sudah terbiasa di beri makan oleh pengunjung. Ini salah satu kebiasaan yang sebenarnya ditinggalkan saja. Karena kalau monyet-monyet tersebut terbiasa diberi makanan oleh pengunjung, mereka akan meminta kepada pengunjung lain yang datang di esok hari. Tetapi ada yang unik dari monyet-monyet ini. Jika monyet-monyet yang lain takut air, mereka malah terbiasa berenang dilaut. Mereka memanjat mangrove, loncat dan byurrrr . . . . . .
0

Kamis, 25 Februari 2016

Taman Nasional Baluran, Afrikanya Pulau Jawa
Pagi-pagi sekali saya berangkat bersama kawan saya untuk rapat operator sekolah di salah satu SMA swasta di ujung utara Banyuwangi. Biasanya saya berangkat tidak sepagi ini. Berhubung jarak yang sangat jauh dari tempat saya (60 KM lebih) untuk ukuran dalam satu kabupaten. Maklum, Banyuwangi termasuk salah satu kabupaten terluas di Provinsi Jawa Timur. SMA tersebut adalah SMA Ibrahimy Wongsorejo. Yang mana 1 KM lagi ke utara sudah masuk wilayah Situbondo, yaitu Taman Nasional Baluran atau yang terkenal dengan sebutan Africa Van Java, afrikanya Pulau Jawa.

Bagi saya yang sangat gandrung dengan dolan-dolan, ini menjadi kesempatan emas yang tak boleh dilewatkan. Bagaimana tidak, tugas dari sekolahan yang menumpuk tak pernah memberi saya ampun. Dan teman saya, Wahid pun sepakat seolah sudah mengerti sebelum saya mengutarakan rencana saya. Kami sepakat bahwa setelah rapat operator langsung meluncur ke baluran.

Sebenarnya kali ini bukan pertama kali saya ke baluran. Wahidpun juga bukan pertama kali. Sebelum ini saya pernah dua kali kesini. Pertama kali tahun 2013. Waktu itu saya bersama seorang teman namanya Mahfud, setelah mengirim data sekolahan di dinas pendidikan langsung meluncur ke baluran, tanpa rencana. Pada saat itu juga musim hujan. Awan bergelayut di atas gunung yang menjadi ikon baluran. Walaupun mendung bergelayut, tak mampu mengurangi kekaguman saya pada alam ini. Bayangkan saja, di pulau yang terkenal hutan tropisnya, terbentang luas savana kering bak daratan afrika. Beberapa pohon akasia berdiri gagah di tengah-tegah savana. Kawanan kijang berteduh di bawahnya. Beberapa merak juga terlihat malu-malu di ujung savana.

Mahfud di atas menara pantau


Kali kedua saya ke baluran pada saat bulan ramadlan. Entah apa yang ada di pikiran saya waktu itu. Bulan puasa pergi ke afrika. Hausnya minta ampun. Ini masih padang savana, bagaimana jika di padang mahsyar nanti. Mau membatalkan puasa, perjalanan ini tidak memenuhi syarat untuk diperbolehkan membatalkan puasa. Kali ini saya bersama teman saya yang lain. Teman yang satu ini adalah partner saya dalam urusan per-dolan-an sejak kecil. Dia biasa kami panggil Hamam. Saya rasa kami berdua memang agak kurang waras. Di saat orang lain terbuai dalam mimpinya di sang bolong dalam bulan suci ramadlan, kami berdua pergi ke tempat paling kering se-tanah jawa. menuju tengah-tengah savana yang alhamdulillah, panas. Benar-benar berdua, kijang dan merak juga tak kelihatan walaupun ekornya saja. Tapi itu semua terbayar lunas setelah mendapati pemandangan yang saya akui sangat indah. Mendung sudah tidak lagi bergelayut di langit baluran. Savana yang luas, ditambah gunung yang megah sebagai background, bak landscape lukisan alam yang lebih indah dari mimpi. Dan akasia yang masih kesepian tetap tegar berdiri.

Hamam Di Depan Akasia


Dan saya kembali lagi ke baluran untuk yang ketiga kalinya. Jam menunjukkan pukul 11.35. Perjalanan ke pintu gerbang hanya membutuhkan waktu 5 menit. Ketika saya akan masuk ke dalam, ditegur oleh penjaga, "Pintunya sebelah barat mas," katanya. Masuk ke wilayah baluran, ada dua penjaga loket dari anak-anak SMK. "Satu motor dua orang mbak," lapor saya pada mbak penjaga. "Tiga pulul lima ribu mas," katanya sambil merobek karcis lantas diserahkan kepada saya. "Tiga puluh lima ribu?" dalam pikiran saya. "Pertama saya kesini Dua belas ribu, kedua kali tidak mebayar karena bulan puasa, tidak ada yang menjaga," lanjut saya dalam lamunan. Ternyata ada lima karcis yang diserahkan. Dua untuk Wahid, satu untuk sepeda dan dua lagi untuk saya.

Pertama kali masuk wilayah baluran disambut oleh hutan kering. Lalu masuk ke wilayah evergreen, atau daerah hijau sepanjang tahun. Daerah ini seperti hutan-hutan tropis pada umumnya. Jalur untuk mencapai savana lumayan membuat pantat serasa diatas tungku. Setelah menempuh jarak 9 KM dengan jalan aspal rusak, akhirnya sampailah kami di primadonanya baluran, Savana Bekol. Kali ini banyak pengunjung yang menikmati pesona afrika di ujung timur pulau jawa ini. Sedangkan kami, memilih untuk menuju musholla mendirikan sholat dluhur terlebih dahulu.



Banyak pengunjung yang berfoto-foto di tempat-tempat strategis. Seperti disekitaran pohon akasia yang masih kesepian.Yang ditinggal mbak Raisa setelah shooting video klip. Saya berfikir, sungguh beruntung pohon tersebut diajak bercengkerama dengan mbak Raisa. Tapi juga kasihan sekali, hanya ditinggal begitu saja tanpa memperdulikan perasaan si pohon tersebut. Yang saya dengar, banyak pohon akasia yang ditumbangkan karena dianggap sebagai biang kerok penurunan populasi banteng jawa di baluran. Padahal saya kira semua adalah ulah para tangan-tangan jahil yang serakah. Tak usahlah dijelaskan kenapa.

Mbak Raisa Jatuh Hati
 Ada juga yang mengambil foto di depan barisan tengkorak kepala banteng yang dipajang di pinggir jalan. Saya juga tidak tahu ini tengkorak dari tahun berapa. Yang jelas ini salah satu bukti bahwa baluran adalah habitat dari banteng jawa yang sudah terancam keberadaanya. Kepala-kepala tersebut ada yang kelihatan sudah sangat lama, ada juga yang kelihatan belum terlalu lama. Mungkin para ahli purbakala dengan mudah mengetahui tahun berapa kepala tersebut hidup. Lha wong jutaan tahun yang lalu saja bisa diperkirakan apalagi yang hanya puluhan tahun. 

Tengkorak Banteng


Setelah sholat dluhur, kami keatas untuk naik ke menara pantau. Menara ini kelihatan sudah tua tetapi masih kokoh. Sebenarnya ada sedikit perasaan kalau-kalau menaranya roboh. Karena diatas sudah ada satu rombongan pengunjung yang tengah menikmati pemandangan. Dari menara pantau bisa dilihat betapa luasnya baluran. Savana hijau bagai lapangan sepak bola raksasa membentang didepan mata kami. Di belakang, terbentang barisan pepohan rimbun hingga garis langit dan bumi bertemu. Kawanan kijang juga berlarian menuju tempat genangan air. Kami berada diatas menara tidak terlalu lama. Setelah puas menikmati karya Tuhan, dan juga sudah puas mengambil gambar, kami turun untuk melanjutkan ke pantai bama di timur savana sembari menikmati pemandangan dari bawah.


--Bersambung
0

Taman Nasional Alas Purwo terletak di ujung timur Pulau Jawa. Taman nasional ini masuk ke dalam dua kecamatan sekaligus yaitu Kecamatan Tegaldlimo dan Kecamatan Purwoharjo. Satu hal yang pasti, taman nasional tersebut berada di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

Geliat ekowisata pun terlihat di Taman Nasional Alas Purwo. Sebuah harapkan, akan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan ke kawasan konservasi ini, dapat membantu pemerintah daerah mengelola kawasan yang dilindungi tersebut.



Untuk mencapai kawasan seluas 43.420 hektar ini, Anda bisa memilih rute Banyuwangi kota  mengarah ke Kecamatan Muncar. Lalu melewati Kecamatan Pasar Anyar dan sampailah di Kecamatan Tegaldlimo.


Sekitar sepuluh kilometer dari Kecamatan Tegaldlimo melalui Jalan Makadam, Anda akan menemukan Pos Rawabendo. Pos ini merupakan gerbang utama Taman Nasional Alas Purwo.

Petualangan Dimulai



Menyambut kedatangan atau lebih tepatnya kunjungan teman saya dari Ponorogo, kami mengadakan petualangan di alas purwo. Tepatnya hari kamis sehari sebelum Idul Adha kemarin, kami ber-empat,  dengan seragam pramuka lengkap (maklum pecinta pramuka)kami mulai petualangan tersebut. Perjalanan dimulai dari pondok tercinta Pondok Fullday Sunan Ampel Bangorejo Banyuwangi pada pukul 08.30 WIB. dengan penuh rasa penasaran kami meluncur ke Taman Nasional Alas Purwo menggunakan sepeda motor dan memakan waktu dua jam lebih. Sepanjang perjalanan, sebagai seorang yang cinta tanah air kami kibarkan bendera Merah Putih, mungkin bagi orang yang melihat kami, kami disebut sebagai orang yang kurang gaeyan atau sekedar orang yang cari sensasi. Tak apalah orang berkata apa, karena memang tidak ada salahnya juga.



Setelah sampai pinggiran desa kalipait akhirnya sampai juga kami di pintu masuk TN Alas Purwo. Disini petualangan baru dimulai. Alam alas purwo yang masih sangat asri dan terkenal kemistikannya membawa hawa yang khas. Bisa dikatakan, alas  purwo inilah hutan yang paling alami di tanah Jawa. Membuat petualangan kali ini menjadi semakin spesial. di tengah perjalanan di dalam TN Alas Purwo kami sempat mampir ke pura Giri Selaka dan tanya-tanya sedikit mengenai alas purwo.

Perjalanan dengan dikelilingi berbagai jenis Flora, membuat kami tidak merasa bosan ataupun capek. tak berapa lama akhirnya kami sampai di tujuan pertama, pantai Triangulasi. disini kami tidak berlama-lama, hanya mengambil gambar sebentar dan melanjutkan perjalanan selanjutnya menuju pantai plengkung atau lebih di kenal dengan G-Land. kamipun bergegas dan menempuh perjalanan 15 KM untuk sampai di Pos Pancur. karena perjalanan ke plengkung tidak diperbolehkan menggunakan sepeda motor, kami menumpang truk yang secara kebetulan lewat mengangkut pasir ke plengkung.
Triangulasi

Pantai Triangulasi

Triangulasi

Dalam perjalanan tersebut, lebih banyak lagi bermacam-macam flora dan fauna, dari mahoni, jati, bambu sampai pohon jambu pun ada. dari berbagai jenis burung-burung dan monyet bergelantunganpun banyak. Jalanan yang lumayan mengocok isi perut(maklum hutan) yang sama sekali tidak mulus membuat kami lumayan kecapekan. di tambah lagi faktor waktu puasa. sesampainya di plengkungpun kami tidak langsung ke pantai tetapi sholat dluhur dulu dan langsung terlelap. :D

Pantai Plengkung
Tak terasa kami tertidur selama 2 jam yang memaksa kami untuk tidak berlama-lama di plengkung :(, wktu yang singkat tersebut kami manfaatkan sebaik-baiknya untuk sekedar mengambil gambar. perjalanan
 pulangpun harus ditempuh jalan kaki karena tidak adanya kendaraan.

G-Land


Setelah dirasa cukup, kami kembali ke resort pancur dengan berjalan kaki. perlu diketahui, perjalanan plengkung-pancur berjarak 9 KM. walaupun lumayan capek, tapi dengan berjalan kaki bisa lebih merasakan indahnya hutan alas purwo. ada suatu kenangan tersendiri pada perjalanan pulang kali ini, hawa senja di dalam hutan yang masih sangat alami, sempat membuat nyali kami agak ciut.

Pada malam harinya, kami bertemu dengan seorang petapa asal ponorogo dan mengajak kami untuk bermalam di gua istana. Bau menyan pada gua itu lumayan membuat kami merinding, karena suasana tersebut pada malam hari dan pertama bagi kami. pada pagi harinya kami berpamitan untuk pulang kepondok.


*Artikel ini diambil dari blog saya  yang sebelumnya, http://angkringbambu.blogspot.co.id/




0

Pantai parang kursi atau disebut juga karang kursi merupakan salah satu pantai indah berpasir putih yang masih sangat jarang terjamah oleh wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Sama dengan pantai Wedi Ireng yang masih sangat perawan yang bahkan lebih perawan dari pantai teluk hijau atau green bay. Mungkin banyak para traveller yang belum pernah mendengar nama pantai ini. Bahkan di google pun tidak terlalu banyak informasi tetang Pantai Parang Kursi, karena jelas kalah tenar dari pantai semacam Pulau Merah, Sukamade, Teluk Hijau ataupun Plengkung. Tapi soal keindahannya, tidak perlu diragukan lagi. Pantai dengan air yang sangat jernih, pemandangan hijau disekitar bibir pantai, karang-karang yang tersusun rapi, semuanya terpadu menjadi surga lain banyuwangi yang tersembunyi di balik rerimbunan pohon.

Pantai Parang Kursi terletak di Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi, lebih tepatnya berada diantara Pantai Lampon dan Pantai Pulau Merah. Akses jalan dari arah Jember Jika memakai kendaraan umum atau bus ambil arah Banyuwangi berhenti di terminal Jajag, dari terminal Jajag bisa memakai bus damri atau minto ke arah Pesanggaran atau Sarongan, dari perempatan Pesanggaran ke arah selatan ke pantai Lampon, tepat di ujung Pantai Lampon sebelah barat (InsyaAllah, karena kurang tau arah, hehe) terdapat penitipan sepeda motor dan juga perahu untuk menyeberang sungai, dari sana bisa Jalan Kaki kurang lebih 1 KM mengikuti petunjuk.


TRIP TO PARANGKURSI BEACH

 

Hanya berawal dari candaan setelah bangun tidur di asrama untuk menghilangkan kepenatan dari keseharian, kami  berencana travelling ke Pantai Parangkursi yang tak jauh dari tempat kami  (Bangorejo). Dipilihnya pantai ini karena mengingat kami sendiri belum pernah kesana bahkan baru dengar dari teman-teman Komunitas Pecinta Pariwisata Banyuwangi, menimbang Pantai ini tergolong pantai paling dekat dibanding yang lain, memutuskan berangkat ke pantai setelah sarapan pagi.

Singkat cerita tibalah kami di Pantai Lampon, menyeberangi sungai dan melewati bakau-bakau yang menghalang-halangi deburan ombak sampai daratan. Saya pribadi hanya berpikir -dengan sedikit ragu-, benarkah Pantai Parangkursi adalah pantai yang indah yang dapat membayar semua lelah perjalanan? Karena banyaknya pantai di Banyuwangi sehingga -agak- merasa bosan juga dengan pantai.





Menyeberangi sungai dengan kapal

Menyusuri -hutan- bakau


Masih 900 meter lagi, walau bayak nyamuk, tetap lanjuttt


 Setelah berjalan agak jauh, kami melewati hutan-hutan, semak belukar dan rerimbunan pohon yang masih sangat alami. nyamuk yang berkeliaran, panas yang lumayan menyengat tak menjadikan halangan untuk tetap lanjut. Mungkin untuk para petualang dan pecinta alam, jalur menuju pantai parang kursi bukanlah apa-apa, malah itulah yang mereka cari, tapi untuk anak-anak rumahan, kami sarankan untuk menahan segala keluh kesah, karena ada secuil surga yang diturunkan di bumi menanti.




Menyusuri rimbunnya hutan


600 Meter lagi, masih setengah, semangat
Melanjutkan perjalanan



Tinggal 400 Meter lagi, jangan menyerah!


Secuil surga sudah di depan mata

 And Finally, setelah menempuh perjalanan ke Lampon, tanya-tanya orang, nyeberang sungai, menyusuri hutan bakau, digigit nyamuk di rerimbunan hutan, butiran keringat yang jatuh, and this is Parangkursi Beach





















*Artikel ini diambil dari blog saya  yang sebelumnya, http://angkringbambu.blogspot.co.id/



0



Kawah Ijen atau Ijen Crater merupakan salah satu destinasi wisata unggulan kabupaten Banyuwangi. Kawah Ijen juga merupakan destinasi wisata favorit dan wajib dikunjungi bagi para wisatawan asing ataupun lokal. umumnya mereka ingin melihat kecantikan hijaunya air danau kawah yang luas terpadu dengan kokohnya kaldera yang mengelilingi danau.

Tidak hanya itu saja, anda juga bisa melihat indahnya blue fire pada malam hari. Blue fire adalah api biru yang keluar secara alami dari belerangnya. Konon di dunia hanya ada dua blue fire, salah satunya adalah di Kawah Ijen ini .Tentu saja untuk melihat blue fire memerlukan perjuangan dan timing yang tepat. mendaki pada tengah malam atau jam satu-nan. Tetapi perjuangan tersebut akan terbayar lunas saat anda dapat melihat blue fire dan tentu saja sun rise ketika fajar menyingsing dari puncak gunung ijen.






Kawah Ijen pun juga akan terlihat sangat indah walaupun suasana berkabut. Dingin yang menusk tulang, pemandangan sekeliling jalan menuju kawah yang hijau, Pohon cemara dan rerumputan yang berebut meanjakan mata, serta gunung sebelah bak lapangan golf atau bukit teletubbies membuat suasana seperti di Eropa.























*Artikel ini diambil dari blog saya  yang sebelumnya, http://angkringbambu.blogspot.co.id/

0

Pada dasarnya, peraturan adalah hal yang diharapkan untuk kebaikan bagi orang yang diatur. Bukanlah alat untuk mengeruk keuntungan dari orang yang diatur. Sementara fenomena umum yang sering terjadi adalah, peraturan dibuat oleh penguasa ataupun orang yang diberi kuasa untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok guna mengeruk keuntungan-keuntungan tertentu.

Dalam hal ini, para pengayom masyarakat atau petugas yang dibayar oleh masyarakat untuk memberikan rasa aman dan tentram, malah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Bahkan mereka menjadi momok yang ditakuti dan juga dibenci oleh masyarakat karena sudah tak lagi mengayomi dan memberi rasa aman. Bahkan tak jarang, mereka mengambil dan merampas hak-hak rakyat dengan dalih menegakkan peraturan. 




Seperti yang sudah sangat lazim terjadi dan juga telah menjadi rahasia umum, ketika mereka melakukan operasi lalu lintas, setiap pengendara yang tidak dapat menunjukkan surat-suratnya, akan diberi penawaran untuk dilanjutkan proses hukum atau dikenai denda Rp. 50.000,-. Bukankah ini adalah pungutan liar? Dalam kasus diatas, masih beruntung ada penawaran, bahkan tak jarang pula mereka langsung meminta Rp. 50.000,- kepada pengendara layaknya begal jalanan.

Memang, dalam hal ini pengendara akan lebih memilih memberikan Rp. 50.000,- nya ketimbang repot-repot melanjutkan ke proses hukum. Lagi pula, dengan keadaan pemerintahan seperti sekarang ini, kepercayaan masyarakat kepada orang-orang yang diamanahi untuk mengurusi urusan rakyat sudah berkurang. Sehingga, akan banyak keraguan dan pertanyaan dalam hati rakyat, kemana dan untuk apa uang denda tersebut? Apakah benar-benar untuk pembangunan negeri atau masuk ke kantong-kantong oknum tak bertanggung jaawab?



 
Selain itu, jikalaupun mereka yang melakukan operasi benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik, dengan kata lain, tidak melakukan pungutan liar dan memproses kesalahan pengendara (tidak bisa menunjukkan surat-surat kendaraan) dengan hukum, akan tetap ada keganjilan. Bukankah untuk mendapatkan SIM, pengendara harus membeli terlebih dahulu? Sebagai contoh saja, untuk mendapatkan SIM, seorang pengendara harus melewati tes teori dan tes praktek. Ketika si pengendara sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan tes teori dengan baik dan benar, secara ajaib muncul nilai yang menunjukkan tidak lulus dan jawaban yang tertera pada hasil tersebut tidak sesuai dengan jawaban yang telah dia jawab. Di lain hari, dia kembali lagi dengan membayar kepada oknum terntentu terlebih dahulu. Alhasil dengan tes yang asal-asalan, dia mendapat SIM pada hari itu juga. Dan ajaibnya, beratus-ratus pengendara yang mendapatkan SIM pada hari itu, melakukan hal yang sama. Dalam hatinya berkata, “pantas walaupun sudah menjawab benar tetap tidak lulus, ternyata semua memakai uang.”

Bukankah ini namanya membeli SIM? Bahkan, bukankah ini pemaksaan untuk mebeli SIM? Ketika manusia sudah tak lagi peduli dengan halal dan haram, ini adalah bisnis yang sangat menyenangkan. Perampok berseragam. Wallahu a’lam.


*Artikel ini diambil dari blog saya  yang sebelumnya, http://angkringbambu.blogspot.co.id/

0



Ponorogo yang merupakan sebuah kabupaten kecil di pulau padat penduduk, Pulau Jawa, dimana berbagai kalangan masyarakat berpadu di dalamnya. Mungkin setiap orang di Indonesia ketika mendengar kata “ponorogo”, akan terlintas di benaknya tentang reog. Sebuah seni tari dengan sajian utama barong raksasa terbuat dari dadak merak yang diangkat menggunakan gigi.

Memang, kata “reog” hampir tidak bisa dipisahkan dengan kata “ponorogo”. Setiap Reog pasti dinisbatkan dengan Ponorogo. Walaupun Reog tersebut merupakan kelompok tari dari daerah lain. Karena, Ponorogo adalah asal mula seni tari ini.



Begitu juga dengan kata “Ponorogo” yang identik dengan “Reog”. Ketika saya ditanya, “dari mana mas?”  “dari Ponorogo”, “owh yang ada reognya ya?” atau sekedar bergumam “owh kota reog”, bahkan tidak jarang jika sudah akrab akan berkata, “pantas kayak reog” sambil cengengesan. Yang pasti tidak jauh dengan kata-kata itu. Memang, Ponorogo sudah terlanjur populer dengan reognya, tetapi jika menelusuri lebih jauh kabupaten yang satu ini, kita akan mengetahui, Ponorogo bukan “hanya” reog.

Ponorogo, sebenarnya  bukan kota dengan kemajemukan tinggi baik dari segi sosial, budaya, ras, maupun agama. Rata-rata penghasilan masyarakat Ponorogo seperti umumnya masyarakat desa yaitu dari hasil bercocok tanam. Karena 99 % masyarakat Ponorogo adalah orang jawa, tak ayal budaya Jawa masih sangat melekat di masyarakat. Juga dari segi agama, 99 % KTP orang Ponorogo tertulis beragama Islam.



Hal ini selaras dengan banyak dan besarnya pendidikan-pendidikan berbasis pesantren. Sebut saja, Pondok Modern Darussalam Gontor, Pondok Pesantren Al-Islam Joresan dan Pondok Pesantren Walisongo Ngabar. Tiga pondok besar yang berjajar jika dilihat dari segi geografisnya terletak di tengah-tengah wilayah Ponorogo. Jika di kota (wilayah utara) ada Pondok Pesantren Darul Huda Mayak, Pondok Pesantren Al-Iman Babadan, jika di selatan ada Pondok Modern Ar Risalah Slahung. Begitu juga dengan pendidikan-pendidikan tingginya. Dari Universitas Muhamadiyah (UNMUH) Ponorogo, Universitas Darussalam (UNIDA), IAIN Ponorogo dan Juga Institut Sunan Giri (INSURI) Ponorogo. Secara garis besar, bisa ditarik kesimpulan bahwa Ponorogo adalah kabupaten yang islami dan berpendidikan.

Ponorogo, -selain reognya-  masih ada banyak hal lain yang perlu diketahui. Salah satu diantaranya yaitu tentang tata kotanya yang khas. Sebagai kota yang didirikan oleh salah satu punggawa kerajaan Majapahit lebih dari lima abad yang lalu yaitu Bathoro Katong, tata kota Ponorogo menggunakan sistem tata letak kota orang jawa dulu yang dikenal dengan sistem mocopat. Aloon-aloon kota berada di tengah-tengah, disini biasa menjadi tempat perhelatan acara-acar besar kabupaten atau sekedartempat nongkrong anak muda, di utaranya sebagai pusat pemerintahan, di sebelah barat sebagai pusat peribadahan, sebelah selatan adalah perbelanjaan dan di sebelah timur adalah kebudayaan.

Sebagai kabupaten yang syarat akan budaya dan terletak tidak jauh dari pusat pemerintahan kerajaan Mataram, tak ayal, tradisinyapun tak jauh berbeda. Seperti, peringatan tahun baru jawa. Di Ponorogo biasanya peringatan tahun baru jawa diperingati dengan diadakannya event-event yang sudah ada sejak zaman dahulu, diantaranya, Festival Reog Nasional, sebuah festival berupa perlombaan kelompok-kelompok seni reog yang mewakili daerahnya dari seluruh nusantara, Grebeg Suro, yaitu arak-arakan pusaka dari kota lama ke pendodpo kabupaten dan Larung Risalah Doa, yaitu melarungkan tumpeng ke Telaga Ngebel diiringi dengan doa.


Itulah sebagian kecil dari Ponorogo yang jarang diangkat. Ponorogo itu, Indah, Ponorogo itu, Awesome, Ponorogo itu, kota tercinta . . . .


*Artikel ini diambil dari blog saya  yang sebelumnya, http://angkringbambu.blogspot.co.id/

0

Sing Nulis

authorMahmud Rofi'i. I'm no body.
Learn More ?