Senin, 18 Juli 2016

Malam Idul Fitri (1)


Masjid Central Songkhla
Sore itu, takbir sudah berkumandang menggemakan langit Thailand. Pengumuman dari Syaikhul Islam sudah di terima oleh masyarakat muslim Thailand. Walaupun 1 ramadhan tidak bebarengan dengan Indonesia, tetapi 1 syawal jatuh pada hari yang sama dengan Indonesia. Sebelumnya, saya sudah memberi kabar keluarga dan teman-teman di Indonesia bahwa hari raya di Thailand masih belum ditentukan.  Walaupun begitu, saya sudah melaksanakan zakat fitrah karena ada barengannya, mas Ridlo. Untuk warga Indonesia, bisa juga memberikan zakat ke konsulat untuk selanjutnya disalurkan kepada yang berhak.

Momen lebaran adalah momen yang selalu saya dan berjuta-juta umat muslim tunggu. Bagi anak-anak di desa, momen lebaran adalah momen ketika bisa mendapatkan sangu atau bahasa populernya angpao. Juga momen ketika mereka bisa memakan jajan sebanyak-banyaknya dengan Cuma-Cuma. Pada saat malam lebaran, bermacam cara merayakannya. Ada yang takbir keliling desa dengan meyalakan oncor atau obor, ada yang mengumandangkan takbir di musholla dan masjid, ada yang menyalakan petasan dan meriam karbit, ada juga yang berkeliling jalan besar menggunakan roda empat sambil memutar kaset takbir berirama koplo. Dan sebagai anak desa, saya pernah melakukan semua hal di atas tersebut.

Tentunya, tradisi lebaran di setiap tempat berbeda.  Pun juga di Thailand. Lagi-lagi, kemeriahan perayaan keagamaan tidak semeriah Indonesia. Itu yang saya tahu ketika berada di Songkhla. Sesekali, terdengar suara kembang api. Entah bagaimana di Pattani yang mayoritas muslim. Lagipula, idul fitri bukanlah tentang perayaan-perayaan saja. Idul fitri adalah tentang penyucian diri, kembali kepada fitrah, menjadi pribadi yang suci setelah mampu mengekang hawa nafsu. Tentunya penyucian bukan hanya dari dosa-dosa yang kita perbuat karena melanggar larangan-Nya, tetapi juga dosa-dosa yang kita perbuat ketika kita bergaul dengan sesama manusia. Oleh karena itu, dalam idul fitri terdapat tradisi saling bersilaturrahim dan saling memaafkan.

Saya masih bersama dengan mas Ridlo, berada di masjid agung songkhla, untuk menghadiri sidang isbat dan buka bersama para petinggi Thailand Selatan dan juga pemuka agama di sekitar wilayah tersebut. Ada juga perwakilan dari negara tetangga. Dari Indonesia, ada pak Triyogo, kepala konsulat Republik Indonesia Songkhla. Saya sendiri, jelas bukan undangan. Mas Ridlo mengajak saya untuk menghadirinya karena sebelumnya diberitahu bapak konsulat, juga mendapat undangan via whatsapp.

Saya penasaran, bagaimana jalannya sidang isbat, apakah sama dengan Indonesia atau tidak. Tetapi harapan saya sia-sia. Saya datang terlambat, bahkan untuk buka bersama. Semua jamaah sudah menyelesaikan buka bersamanya. Mereka masih bercengkerama, sebelum melaksanakan sholat maghrib berjamaah. Beberapa meja sudah terlihat ditinggal penghuninya, ada yang sudah mengambil air wudlu, ada yang sudah siap melaksanakan sholat didalam masjid. 

Kru TV yang menyiarkan pengumuman sidang isbat

Masjid Songkhla sangatlah besar, sepertinya terdiri tiga tingkat. Saya kurang yakin karena tidak sempat menjelajah seluruh isi masjid. Tangga dari depan langsung mengarah ke lantai paling atas. Lantai untuk sholat. Ada tangga menuju ke bawah. Tepat lantai di bawahnya itulah ada ruangan aula, untuk sidang isbat dan buka bersama. Di sekelilingnya ada beberapa kantor pengurus. Juga ada tempat wudlu. Karena sudah terlambat, kami mengambil air wudlu saja terlebih dahulu, langsung ikut sholat Jamaah.

Dibawahnya, seperti masih ada ruangan lagi. Entah untuk apa. Masjid songkhla memiliki empat menara disisi kanan dan kiri sebelah depan dan belakang. Di depan masjid terhampar kolam yang luas, bukan halaman. Ada lagi kolam yang lebih panjang entah berapa puluh meter hingga mendekati jalan raya. Antara kolam yang ada di halaman dan kolam yang panjang, dipisahkan jalan masuk yang melintang dari selatan ke utara.

Setelah selesai sholat, baru kami turun lagi untuk berbuka puasa. Walaupun yang lain sudah selesai, tapi ada beberapa jamaah yang juga meneruskan buka puasanya. Nggak ngisin-ngisisni lah. Jika tidak di Thailand, jika tidak bertemu dengan mas ridlo, belum tentu saya bisa berbuka puasa dalam acar sidang isbat yang hasilnya dinantikan seluruh umat muslim Thailand. Ada seorang anak melayani kami. Seumuran anak smp. Ternyata dia fasih bahasa Indonesia. Dilihat dari gaya berpakaian, model potongan rambut dan bahkan cara berjalannya, saya sangat mengenal karakteristik seperti itu. Dan ternyata benar ketika kami tanya, dia mondok di gontor. Pantas saja fasih bahasa Indonesia.

Sudah empat hari saya terus bersama mas Ridlo, tidak berada di konsulat. Padahal teman-teman sudah banyak yang berada di konsulat. Teman kamupus juga sudah berkumpul di konsulat semuanya, kecuali saya. Dari kemarin, teman-teman terus saja mengirim pesan kepada saya. Intinya, cepet kesini, kangen. Walaupun dengan bahasa yang saru dan khas konco kenthel anak jawa timuran. Saya balas dengan bahasa yang sama, dan juga memiliki inti yang sama. Saya ke konsulat, malam itu juga. Tentunya, setelah sepulang dari masjid songkhla, setelah mengumandangkan takbir memuji kebesaran Tuhan. Allaahu Akbar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sing Nulis

authorMahmud Rofi'i. I'm no body.
Learn More ?