Kamis, 30 Juni 2016


Salah satu rangkaian acara di Hotel


Adzan subuh sayup-sayup berkumandang terdengar melewati celah jendela yang sudah dibuka teman sekamarku, Dairobi, anak asli kendal, sejak sebelum subuh. Kamar kami menghadap barat laut kearah pantai. Deburan ombak terdengar sampai sini saat fajar menyingsing. Entah apa yang dilakukan dairobi. Sejak sebelum subuh teriak-teriak keluar jendela. Juga tidak tahu apa yang diteriakkan. Saya terlalu mengantuk untuk memperhatikan. Antara tidur dan bangun terdengar sekilas seperti sholawat.

Hari ini adalah hari ketika kami diberangkatkan menuju lokasi penempatan kami masing-masing. Ada yang bilang, lokasi perjuangan, ada yang bilang lokasi pengabdian, tetapi sampai saat ini, bagi saya masih tidak lebih dari sekedar lokasi pelarian. Dan itu artinya, hari ini adalah hari ketika kami berpisah dengan teman-teman sekampus. Ada yang satu sekolah dua orang, juga ada yang satu orang. Kami ditempatkan di 8 daerah atau provinsi. Diantaranya, provinsi pattani, yala dan narathiwat, tiga provinsi yang masih banyak menggunakan bahasa melayu. Juga mahasiswa yang ditempatkan disana tergolong banyak. Provinsi songkhla, phatthalung, krabi, trang dan pangnga, daerah yang menggunakan bahasa Thailand.

Saya sendiri bakal ditempatkan di Provinsi Phatthalung. Daerah yang katanya 100%  berbahasa Thailand dan saya tidak tahu sama sekali tentang bahasa Thailand. Menurut kabar yang beredar, masyarakat tidak ubahnya seperti masyarakat Indonesia kebanyakan, tidak bisa berbahasa asing. Yang mereka bisa hanya bahasa siam atau bahasa thailand. Waduh kapok koe... Saya sendiri walaupun tidak mahir bahasa Inggris ya paling nggak apa yang dinyanyikan Avril Lavigne, sedikit-sedikit tau lah. Selain itu, di Phathhalung tersebut, hanya dua mashasiswa saja yang ditempatkan. Saya, dan seorang lagi teteh dari UPI Bandung.

Ketika kami memasuki aula, terlihat beberapa pimpinan sekolah sudah berada di sana siap menjemput kami. Tiba-tiba, buya amran memarahi saya, “apa ini, topi haram di sini”. Saya kaget, juga malu, tetapi lebih banyak mangkel-nya. Kalau kata Gus Mus, “wong ora weruh kuwi ojo diseneni, tapi dudohono seh bener,” “orang tidak tahu itu jangan dimarahi, tapi beri tahulah yang benar”. Saya teriak dala hati, “sayakan tidak tahu buyaaa”. Tetapi saya juga memaklumi, memang karakter beliau seperti itu. Untuk pengalaman saja, juga untuk pelajaran teman-teman yang akan ke Thailand Selatan, bahwa topi haram dipakai disini.

Acara sudah akan dimulai. Beberapa perwakilan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi menyampaikan kesan-kesannya, ada juga yang menunjukkan kebolehannya. Menyanyikan lagu daerah, berpuisi, mempraktekkan cara mengajar yang kreatif dsb. Saya sendiri merasa tidak punya kebolehan apa-apa, memilih duduk saja dipojokan sambil wifi-an. Dan jujur, saya hanya ingin acara ini cepat selesai, terus tidur. Memang tidur itu nuikmat lo.

Rangkaian acara demi acara sambung menyambung tak kunjung selesai. Ada sambutan dari ketua badan alumni, dari gubernur, dari konsulat RI dan entah dari siapa lagi. Saya hanya sedikit ingat dari sambutan bapak penanggung jawab keamanan daerah Thailand selatan. Dengan bahasa melayu yang sedikit berbeda dangan melayunya sumatera ataupun malaysia, beliau menerangkan tentang kebudayaan masyarakat setempat. Bahasa melayu sudah mulai luntur, beliau sendiri mengatakan tidak bisa berbahasa melayu dengan baik. Sedangkan, bahasa Indonesia, yang beliau samakan dengan bahasa melayu, menjadi bahasa resmi ASEAN.

Masyarakat pattani, tidak bisa menggunakan bahasa melayu dengan baik. Pun dengan bahasa Thailand. Jika saya sendiri mengatakan dalam istilah jawa, melayu ora thailand yo ora, bahasa melayu tidak, bahasa thailandpun bukan. Beliau juga menyampaikan, kalau sudah waktunya pulang ke Indonesia ya pulang. Jangan menetap disini. Juga jangan membawa orang sini. Kalau mau menetap ataupun membawa orang sini, besok saja setelah kembali ke Indonesia. Dengan membawa visa munakahat. Sontak, semua mahasiswapun tertawa. Ada yang mengamini, mungkin mereka jomblo tingkat akut. Saya sendiri, walaupun jomblo tidak usah sajalah. Harus menjaga wibawa sebagai jomblo bermartabat. Selain itu kasihan si mbok kalau mau menjenguk cucunya terlalu jauh.

Juga sedikit ingat sambutan dari bapak konsulat RI, pak triyogo. Beliau menegaskan, Mahasiswa Indonesia ke Thailand bukan untuk mengajar. Tetapi sebagai duta mahasiswa Indonesia yang membawa nama Indonesia di tengah masyarakat Thailand. . . . . kembali terngiang dibenak, ke Thailand, apa yang kau cari?

Dan akhirnya, sampailah kami pada puncak acara. Penjemputan mahasiswa oleh pimpinan masing-masing sekolah. Aula yang tenang mendadak heboh oleh keriuhan mahasiswa. Kebetulan, baboh (panggilan untuk pimpinan sebuah lembaga pendidikan semacam pesantren, jika di Indonesia seperti kyai atau abah) yang menjemput saya sudah datang. Saya bertanya, beliau tidak bisa bahasa melayu. Saya mencoba menggunakan bahasa Inggris dan arab, apalagi. Waduh lha iki. Pikir nanti sajalah. Saya pamitan kepada teman-teman sebentar, mengemasi barang-barang, dan langsung berangkat. Saya tahu, dari sini, semua tidak akan sama lagi.


0





Panas terik matahari begitu terasa ketika kami turun dari bus. Sudah menyambut kami di hotel ini, mas Irzam. Keponakan Gus Lilur, rektor kami, yang titip rokok. Dia menmpuh studi di salah satu perguruan tinggi disini dengan beasiswa. “maaf mas ngrepotin’, katanya kepada kami. Memang kami orang jawa, kami balas dengan basa-basi, “nggak kok mas, nggak apa-apa”. Padahal sebelum berangkat, ketika masih di kampus baru dititipin, kami sempat rasan-rasan. Belum sempat memberikan barang titipan, kami sudah dipanggil untuk berkumpul di Aula hotel. Acara seremonial pembukaan sudah akan dimulai.

Perlahan tapi pasti, waktu terus berputar. Tanpa perduli kepada orang-orang yang masih tertidur di dalam mimpinya. Saya ingat kata-kata mutiara yang sering terpampang di Pondok dulu. Mengadopsi kata mutiara dari pondok tetangga, yang juga pondoknya ustadz-ustadz saya dulu, Pondok Modern Darussalam Gontor, “Lambat tertinggal, Malas Tertindas, Berhenti Mati”. Dan sekarang di sinilah saya. Di lantai lima hotel berbintang lima di Thailand selatan, tepatnya di Provinsi Pattani. Masuk hotel berbintang lima seperti anak nggunung pergi ke kota, utun. Tapi ya gayane dibuat seperti sudah biasa.

Ingatan saya terus berloncat-loncat bagaimana saya terus menerus dikejar waktu sebelum saya kesini. Bagi teman-teman yang melaksanankan program ini mungkin bisa fokus untuk mempersiapkan diri. Belajar budaya dan bahasa Thailand, mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan dan lain sebagainya. Tapi jangan harap dengan saya. Tugas di pondok tempat pengabdian yang begitu banyak ditambah tuntutan untuk segera mempersiapkan ini itu guna pemberangkatan benar-benar membuat saya lelah. Dalam hati Cuma bisa teriak, “Ya Allaaaaah aku pengen turu”.

Karena bertepatan pada saat itu acara di pondok sedang banyak-banyaknya. Harus mempersiapkan khotaman wada’, acara wisuda untuk kelas akhir. Juga persiapan ujuan semester 2. Yang ujiannya tidak seperti ujian di sekolah-sekolah lain. Di Pondok, ujian untuk SMP dan SMA, selain ujian tuliis, juga ada ujian lisan atau ujian syafahi. Ujian yang biasanya hanya satu minggu untuk sekolah biasa, di pondok bisa sampai tiga minggu karena banyaknya pelajaran. Maka jangan heran jika anak-anak pondok tetap tahan banting walaupun banyak ujian menimpa. Karena sudah terlatih menghadapi kesulitan. Bahasa kasarnya, sudah terlatih sengsara.

Selain itu harus juga mempersiapkan akreditasi untuk SMA. Tidak tanggung-tanggung, sekolah menargetkan akreditasi “A”. Di tengah banyaknya acara seperti ini, masih harus mempersiapkan instrumen-instrumen untuk akreditasi. Belum lagi tugas-tugas mengurusi administrasi sekolah yang tidak kunjung habis. Seperti tidak peduli dan memang tidak tahu keadaan mahasiswanya, dosen juga terus saja memberikan PR ini itu. Kembali saya hanya bisa mengeluh, kepada siapa lagi saya bisa mengeluh selain kepada Tuhan? “Ya Allah, kuatkanlah hambamu ini.....”. Saya benar-benar ingin cepat segera berangkat ke Thailand, untuk melarikan diri.

Tetapi aku kembali merenung, ke Thailand, apa yang kucari? Pertanyaan yang sama ketika pertama kali menginjakkan kaki di ponpes Al-Islam Joresan –walaupun saya sendiri tidak mondok disana, hanya sekolah di pondok- yang terpampang membentang di atas jalan. Ke Al-Islam, Apa yang kau cari? What do you look for?

Apakah hanya melarikan diri dari tugas yang sudah begitu menumpuk? Seperti mahasiswa yang memegang teguh idealisme, hati nurani terus menerus demo. Apakah mencari uang? Memang dalam perjanjian ada kesepakatan mahasiswa akan ddiberi 4000 baht atau setara Rp. 1.500.000. Jika hanya mencari uang dengan jumlah yang sama perbulan, di Indonesia juga banyak. Mencari gengsi? Itu hanya akan menjadi riya’. Mencari pengalaman? Di Indonesia pun masih banyak pengalaman yang belum ku cari. Semuanya memang menggoda, dan semua pertanyaan itu terus bergaung hingga menemani mimpi malamku. Sampai detik ini, saya belum benar-benar yakin dengan apa yang kucari.


0

Rabu, 29 Juni 2016


Daeng di Pattani

Bus perlahan beranjak meninggalkan perbatasan. Landscape yang sangat jauh berbeda terpampang di depan kami. Jalanan dengan rumut dan penataan rapi sudah tidak nampak lagi. Kami sudah memasuki wilayah Thailand. Kami memasuki Thailand melalui bagian negara kedah di Malaysia, menempuh perjalanan melalui Songkhla, salah satu provinsi di Thailand bagian selatan yang berbatasan langsung dengan wilayah Kedah.  Kami seperti memasuki ruang dan waktu yang berbeda, setidaknya, itu yang saya rasakan. Bangunan-bangunan tercecer di pinggir jalan bertuliskan aksara yang tidak saya mengerti sama sekali. Seperti tulisan pallawa yang tertera di prasasti-prasasti yang fotonya biasa ada di buku sejarah tetapi bukan tulisan pallawa. Seperti aksara jawa tetapi jauh lebih rumit daripada aksara Jawa.

Bus dengan atribut berbahasa melayu kami tetap tangguh melaju walaupun tidak istirahat dengan nyenyak semenjak menjemput kami dari Bandara. Jalanan disini besar-besar dan lengang. Dibandingkan Indonesia, untuk ukuran jalan provinsi, jalan di Thailand lebih besar. Oleh karena itu, mobil-mobil dikendarai ngebut-ngebut. Jalur kanan dan kiri dipisahkan oleh tanah cekung yang mungkin dulunya memang dikeruk. Jalanan yang kami lewati sebenarnya juga halus, lagi-lagi lebih halus jika dibandingkan dengan Indonesia, tidak tampak lobang disana sini.

Sekitar setengah jam kami berjalan, nampak memasuki wilayah perkebunan karet. Ada beberapa bangunan entah pabrik atau apa. Entah masih dipakai atau tidak. Mengingatkan saya pada film aksi mancanegara dengan setting negara konflik. Tidak jauh dari situ, ada beberapa tentara yang nampak berjaga di jalanan. Memeriksa setiap kendaraan yang lewat. Bukan tanpa alasan, karena wilayah Thailand selatan ini memang rawan konflik. Mungkin ini salah satu sebabnya kenapa daerah sini seperti kurang penataan. Pembangunan terfokus pada Thailand bagian utara. Seperti di Indonesia, pembangunan masih belum merata sampai daerah terluar.

Keluar dari daerah perkebunan, kami memasuki Hat yai, salah satu kota di provinsi Songkhla. Bangunan dan infrastruktur disini lebih mendingan, walaupun tidak seramai Jawa. Photo raja terpampang dimana-mana. Jika di Indonesia, di tengah jalan ada banner rokok, disini ada banner Raja dan keluarganya. Kami berhenti di pinggir jalan. Saya kira kami sudah sampai di tujuan. Ternyata kami di-ampir-kan (sekali lagi, saya tidak tahu Bahasa Indonesia dari kata tersebut) di rumah makan untuk makan siang. Makan siang pertama kali kami di Thailand. Saya harap saya menemukan sayur bening. Walaupun saya tahu harapan saya tersebut hampir mustahil. Hampir karena tidak ada yang tidak mungkin. Apalah daya manusia tanpa harapan.

Jam menunjukkan pukul 12.00. Jam disini sama dengan Waktu Indonesia Barat, GMT +7. Tetapi matahari terbit jam setengah tujuh pagi. Berbeda dengan Jawa yang terbit jam enam kurang. Cuaca sangat panas. Oleh karena itu saya berharap ada sayur bening. Untuk memesan menu, kami harus mengantri terlebih dahulu. Maklum, 93 Mahasiswa ditambah dosen pembimbing dan juga pengurus badan alumni dalam satu rumah makan. Setelah mendekat saya melihat menu apa saja yang disajikan. Dan alhamdulillah, sayur bening tidak ada. Saya sudah benar-benar di Thailand, bukan Indonesia.

Di rumah makan itu saya sempat berkenalan dengan beberapa orang. Ternyata dari Ponorogo, kota asal saya ada lagi selain saya dan Fina. Ada tiga mahasiswa dari Universitas Muhamadiyah Ponorogo. Bertemu tetangga sendiri di negara orang lain itu rasanya something. Ada kebanggan tersendiri mendapati Duta Perguruan Tinggi Indonesia dari kota sendiri tidak hanya satu dua orang, melainkan lima orang. Lima orang dari tiga perguruan tinggi yang berbeda. Dan kesemuanya perempuan, kecuali saya. Makan siang pertama di negeri gajah putih, ditemani cewek-cewek.

Selesai makan siang, kami bergegas melanjutkan perjalanan, menuju Pattani. Sampai daerah Pattani, jalanan masih saja lengang. Aura konflik masih terasa. Cuaca masih juga panas. Beberapa area pertokoan berjejer di pinggir-pinggir jalan. Sopir bus membelokkan kami disuatu tempat
0


Selamat datang di Thailand


Antrian panjang pada pemeriksaan paspor dan visa ketika keluar perbatasan Malaysia telah menunggu. Antrian tersebut adalah antrian sesama mahasiswa yang mengikuti program yang sama dengan kami. Mereka dari bus satu dan dua, seangkan kami, rombongan dari Banyuwangi berada di bus tiga. Bus nya jika di Indonesia sekelas bus patas. Tetapi sayang, sopirnya terlalu sering main rem sehingga busnya menjadi –dalam bahasa jawa- ancut-ancut. Dengan kata lain, suatu keadaan yang membuat perut mual-mual ingin menegeluarkan isinya. Tolak angin persediaan dari Indonesia pun sudah habis untuk meredam mual saya.

Pemeriksaan ini tidak lama, juga tidak rumit. Dilihat petugas, stempel, selesai. Kami naik bus lagi, dan akhirnya melewati perbatasan Malaysia – Thailand. Perbatasan ini memiliki atap yang sama. Tempat pemeriksaan paspor dan visa untuk masuk Thailandpun hanya berada tidak jauh dari milik Malaysia. Sebenarya, tanpa naik bus kami juga bisa jalan kaki saja. Ternyata, walaupun hanya beberapa meter saja, hawa dan rasa sudah sangat jauh berbeda dengan ketika masih berada di Malaysia. Disini, banyak pedagang asongan berkeliaran. Kebanyakan mereka menjajakan makanan ringan. Dari gorengan hingga manisan buah. Ada beberapa remaja berjilbab yang menjajakan gorengannya, juga ada ada beberapa biksu yang terlihat mondar-mandir.

Antrean disini lebih panjang. Jauh lebih ramai. Kami yang mengantre terlalu dibelakang disuruh pindah ke petugas yang masih kosong. Ada juga teman-teman dari kendari yang mengantre bersama saya. “twenty baht”, kata petugas kepada teman kendari yang berada didepan saya. Dia bingung mencari uang 20 baht. Karena ketika menukarkan uang kebanyakan hanya uang utuh 100-1000 baht. Selain itu, kemarin-kemarin ketika di Malaysia juga tidak dipungut seringgitpun. Saya sendiri tidak tahu apa-apa ya rela saja ketika diminta menyerahkan 20 baht. 20 baht kalau dirupiahkan sebenarnya juga tidak terlalu mahal, kurang lebih setara Rp. 7000 ,- .

Feeling kami benar, memang seharusnya tidak dipungut biaya sama sekali. Ketika teman-teman saya yang mengantri di petugas lain saya tanya, mereka mengatakan tidak ditarik uang sama sekali. Apes. Dan ketika Buya Amran, orang yang menjemput kami sejak di Malaysia mengetahuinya, beliau langsung protes kepada petugas tersebut. Cepat-cepat saja mereka mengelak dan tidak menarik uang lagi. Cerita tersebut menjadi penyambut selamat datang saya di Thailand ini. Dan tentunya, Memberikan kesan bahwa Thailand sepertinya tidak jauh dari hal-hal seperti itu. Welcome to Thailand.


0


Putra jaya (gambar dari google image)


Kami memasuki Malaysia yang sangat panas. Bus perlahan beranjak menuju Putra jaya, pusat pemerintahan Malaysia. Jalanan sangat lebar. Bahkan ada empat lajur untuk satu jalur. Sangat kontras dengan di Indonesia, setidaknya untuk jalan yang pernah saya lalui. Mungkin hanya jalur ini saja saya juga kurang faham, tetapi yang jelas, Malaysia benar-benar menunjukkan perkembangan pesatya sebagai salah satu negara dengan perekonomian yang bagus di Asia Tenggara. Kendaraan pun tertata rapi, tidak seperti di Indonesia yang semrawut. Sambil membanding-bandingkan keadaan antara kedua negara, sayapun tertidur.

Sampai di suatu temppat, tiba-tiba bus berhenti. Kami turun dari bus dan melihat langsung pusat pemerintahan Malaysia, Putra Jaya. Mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia mengira, Kuala Lumpur adalah pusat pemerintahan Malaysia, seperti saya sendiri. Saya sendiri baru tahu bahwa Pusat Admnistrasi pemerintahan Malaysia dipindah dari Kuala Lumpur ke Putra Jaya. Sedangkan Kuala Lumpur tetap menjadi pusat perekonomian Malaysia. Sama dengan Amerika Serikat yang menjadikan Washington D.C. sebagai pusat pemerintahan sedangkan New York sebagai pusat perekonomian. Itu yang saya tahu setelah saya bertanya kepada dosen Universitas Negeri Malang yang duduk dibelakang saya. Padahal saya juga belum tahu mana itu New York dan mana itu washington D.C.. Yah semoga kapan-kapan bisa mampir kesana.

Setelah kami turun dari bis, kami menuju Masjid Putra, salah satu masjid indah di Putrajaya. Masjid ini berdiri di atas danau buatan dan berada di seberang jalan tidak terlalu jauh dari gedung Perdana Menteri. Masjid ini tidak saja berfungsi sebagai tempat ibadah tetapi juga sebagai salah satu destinasi wisata menarik di Putrajaya. Walaupun begitu, pemerintah Malaysia tidak ingin mengotori kesucian masjid ini dari turis-turis yang memperlihatkan auratnya ketika memasuki area masjid. Oleh karena itu, mereka menyediakan semacam jilbab lebar yang menutupi seluruh lekuk tubuh para turis. Masjid ini juga sangat luas, walaupun sepertinya tidak seluas masjid Akbar di Surabaya. Yah saya sedikit tahu karena pernah sekali Sholat disana ketika diajak abah yai ziaroh wali jawa timur bersama santri-santri yang baru lulus. Lha wong saya ini jarang bepergian jauh, jadi yang saya tahu ya hanya sekitaran kota eh kabupaten tempat saya tinggal. Ketika tahu masjid yang besar gini ya nggumun.

Masjid putra (juga dari google image)

Di dalam area masjid, terdapat halaman yang lumayan luas dan sangat bersih, mungkin juga berfungsi untuk menampung Jamaah ketika sholat Id atau sholat hari raya. Saya sendiri juga kurang begitu paham kenapa ketika shalat Id, jamaah akan membludak mengalahkan ketika solat jum’at. Sedangkan ketika sholat lima waktu, bahkan dua baris pun sudah tergolong banyak. Padahal, sholat Id adalah sunnah, sedangkan sholat Jum’at dan sholat lima waktu, itu wajib. Di Halaman juga dibangun taman-taman yang menambah indah pemandangan. Di sebelah kanan masjid terdapat menara yang tinggi entah berapa meter, saya juga tidak kober menghitungnya. Bukannya langsung sholat jama’ dluhur dan ashar, kami malah asik berfoto disana. Tak lupa saya berfoto dengan mantan dari teman saya tersebut, si Fina, untuk nantinya saya pamerkan. Maafkan saya yaa :D

Menyadari kami sudah terlalu asik mengabadikan momen sampai kami lupa waktu, kami bergegas untuk solat terlebih dahulu. Tetapi, masjid sebesar ini, mana tempat wudlunya?. Setelah tanya-tanya, kami ditunjukkan sebuah ruangan di kiri masjid yang terdapat tangga menuju ke bawah. Di bawah masjid tersebut, kami masih harus tanya lagi tempat wudlunya. Akhirnya kami sampai juga di tempat wudlu tersebut. Di sana juga terdapat kamar mandi dan juga toilet. Ya memang harus ada, lha masak masjid sebesar ini tidak ada kamar mandi dan toiletnya, lak yo ngisin-ngisini. Dalam cuaca yang panas seperti ini, memang pas kalau kami mandi terlebih dahulu. Tapi ya yang pasti kami mandi sendiri-sendiri, tidak bareng-bareng. Dan byurrrr, loh kok aneh airnya, persis seperti air di koolam renang, penuh kaporit. Sudahlah tidak usah saya ceritakan kegiatan saya di kamar mandi setelahnya, yang jelas, bukan hal yang negatif.Singkat cerita, kami kembali keatas untuk menunaikan sholat. Lha kok ketika keatas saya sudah berada di tangga yang jauh dari tangga yang pertama. Malah lebih dekat ke pintu masuk masjid. Kamipun harus berjalan agak jauh lagi untuk sholat diteras masjid.

Siluet Masjid Putra


Waktu sudah beranjak semakin sore, teman-teman yang lain juga sudah beranjak meninggalkan masjid menuju bus masing-masing. Tak ingin ketinggalan, kamipun bergegas mengikuti. Perlahan bus meninggalkan area masjid. Ada pemandangan unik sebelum kami meninggalkan tempat tersebut. Tampak berbondon-bondong klub vespa mulai membanjiri sekitaran alun-alun depan masjid yang juga depan gedung kementerian. Yang berbeda dari klub vespa disini, mereka cenderung lebih rapi dan lebih bersih, dari gaya berpakaian, modifan vespa hingga cara memarkir vespa. Berbeda ketika saya menjumpai klub vespa yang berada di tempat saya tinggal yang cenderung terlihat jarang mandi.

Kami kembali melewati jalan raya yang besar dan rapi ini. Sepanjang pinggir jalan ada banyak gedung megah milik pemerintahan. Di tengah jalan juga terdapat taman-taman yang luas yang memisahkan antar lajur. Juga banyak ruang terbuka hijau yang tertata rapi. Putrajaya sendiri merupakan kota yang indah dan futuristik. Dari cerita yang saya dapat dari penjaga Masjid Putra, Kota ini dibangun sejak 1993. Awalnya, wilayah ini adalah perkebunan kelapa sawit yang sangat luas. Jika ingin tahu lebih lanjut, coba tanya saja sama mbah gugel. Yang pasti, Indonesia harusnya tak malu untuk belajar kepada Malaysia jika ingin memindahkan Ibukotanya.
Entah ini memang jalan Tol  yang kami lewati saja atau semua jalan memang seperti ini saya tidak tahu. Semua terkesan lebar dan rapi. Tidak ada kemacetan disana sini. Tanaman dan rumput di sepanjang pinggir jalan juga di pangkas rapi turut menghiasi keindahan Malaysia. Dan sampai perbatasan Thailand, Malaysia tetap istiqomah memanjakan para tamunya. Sebelum melewati perbatasan, kami di-ampir-kan (saya tidak tahu bahasa indonesianya atau ini memang sudah bahasa Indonesia) di tempat penukaran uang. Sebenarnya tempat tersebut hanyalah rest area saja. Tetapi memang mereka menawarkan jasa untuk menukarkan uang juga. Sebenarnya kami juga sudah menukarkan uang ketika di Indonesia, tetapi kami menukarkan uang juga disini. Untuk jaga-jaga.

Belum sampai setengah jam kami meninggalkan rest area tersebut, sudah terpampang di depan kami, “welcome to Thailand”. Ucapan selamat datang terpampang jelas dengan tulisan warna hitam dan background merah putih biru bergaris-garis seperti bendera Thailand. Saya meyakinkan diri sendiri dengan bertanya kepada Anam yang duduk bersandingan dengan saya, “Awake dewe nyang Thailand tenanan iki?”. Pertanyaan yang terus berulang sejak seminggu sebelum kami berangkat. Sebenarnya, bagi saya ini bukan sesuatu yang wah juga, hanya untuk menggoda teman-teman saya saja. “Tak kueprok ndhasmu lo ngko, opo muleh ae”, jawab Anam sambil Ngguya-ngguyu. Saya bayangkan, Thailand adalah negara maju dengan tingkat perekonomian tinggi di asia tenggara.Dan sebentar lagi, bayang-bayang tersebut akan terjawab setelah kami melewati garis perbatasan dua negara tersebut.
Gedung kementerian




0

Senin, 06 Juni 2016

Pemandangan dari atas awan

Setelah detik-detik yang melelahkan bagi saya, kami siap untuk berangkat. Tak lama sebelum berangkat, ada rombongan yang sepertinya juga mahasiswa. Mungkin mereka sama dengan kami. Kalau tidak salah, ada lima orang, dan semuanya perempuan. Kelihatan sekalai jikalau mereka kebingungan karena baru pertama kali kebandara. Saya amati kok sepertinya tidak asing. Yah sebagai sesama orang yang kelihatan belum pernah mencium bau bandara, kami pun mendekat dan berkenalan. Ealah ternyata salah satu dari mereka bolo dewe. Adik kelas ketika saya masih berada di MTs Al-Islam Joresan. Dan bukan hanya adik kelas, dia adalah mantan dari sahabat saya sendiri yang pernah sebangku di MTs. Tetangga dari sahabat seasrama saya di  PP. Sunan Ampel Banyuwangi, Fina Fastaqima. Dia anak Joresan asli yang mondok di Tebuireng. Kelima mahasiswi tersebut dari Universitas Hasyim Asy’ari Jombang.

Kami berangkat menggunakan Air Asia. Ini benar-benar pertama kali kami terbang, kec uali Santi dan Hadi yang sebelumnya pernah naik pesawat. Ketika pesawat naik, rasanya serrrrrrr. Doa terus kami panjatkan sambl tidak lupa memasang wajah sedatar mungkin biar tidak kelihatan katrok dan ndeso. Lha yo siapa yang bisa menjamin keseamatan kami. Kalau katanya cak nun, bisa saja hanya gara-gara kabel 1 yang sangat kecil putus sampai membuat sistem pesawat error. Ndak yo nggak jadi ke luar negeri. Sekali lagi, siapa yang bisa menjamin. Dan ketika pesawat masih terus naik, rasanya seperti dilempar menuju lantai delapan tetaapi tidak sampai. Dan sekali lagi, serrrrrr.

Perjalanan tidak bisa dibilang mulus. Karena ketika telah memasuki wilayah udara Malaysia, cuaca sangat mendung. Saya tahu bahwa saat itu berada di atas wilayah udara Malaysia karena memang kapten pesawat yang mengumumkannya. Dan tak lupa sang kapten memohon maaf begini, “mohon maaf penerbangan anda kurang nyaman karena cuaca sedikit mendung”. Kurang nyaman mbah e, ini bukan kurang nyaman lagi, lebih ke menakutkan. Tidak usah mohon maaf wong saya tidak menyalahkanmu, lha wong cuaca seperti ini kan di luar kuasamu. Mendung yang awalnya terlihat menggumpal indah berbentuk seperti rumah, hati, bintang, boneka kini menjadi sosok menakutkan seperti monster yang siap menelan pesawat kami (terlalu sering nonton kartun). Tetapi sepertinya hanya saya dan santi dari kami yang membuka mata, semua sudah terlelap dalam mimpi indah mereka. Mungkin mereka mimpi selfie bareng Nattasha Nauljam, atau mimpi makan bareng askar –pasukan kemerdekaan Thailand selatan- di sebuah gubuk yang masih kokoh di pinggiran desa.
awan hitam yang bergelayut

Setelah 4 jam berada di atas awan, akhirnya kami mendarat dengan selamat dan sehat wal afiat. Kami sudah disambut oleh Buya Amran dan para perwakilan badan Alumni yang lain. Badan Alumni adalah sebuah organisasi Sosial yang terdiri dari orang-orang Thailand Selatan yang menjadi alumi perguruan tinggi luar negeri. Termasuk Buya Amran yang merupakan alumni dari salah satu perguruan tinggi di Bandung. Tujuan mereka adalah untuk memajukan pendidikan di Thailand Selatan. Salah satunya dengan cara bekerja sama dengan berbagai Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta di Indonesia dalam program Student exchange atau pertukaran pelajar. Para mahasiswa diharapkan mampu untuk memajukan pendidikan di Thailand selatan, suatu tugas yang berat.

Setelah sampai di Bandara tersebut, ternyata kami adalah rombongan terakhir. Semua perwakilan dari berbagai Perguruan Tinggi se-Indonesia telah hadir berikut Dosen-dosen yang mengantarnya. Kami langsung dipersilahkan makan, makanan luar negeri pertama saya. Jangan harap kami makan di rumah maan mewah, malahan kami makan nasi kotak  di pojok  bandara.  Entah makanan apa itu. Untungnya masih nasi. Rasanya tidak bisa saya deskripsikan. Mengingat itu adalah makanan luar negeri pertama saya, saya habiskan gitu aja.Tidak sembarang orang bisa makan makanan ini, dalam hati saya. Perlu seleksi, mengurus passpor, visa, tiket hingga akhirnya sampai disini.

Di jadwal harusnya kami sudah meninggalkan bandara, menuju masjid putra, Putra jaya Malaysia. Entah kenapa memilih masjid itu untuk jama’ sholat, mungkin masjidnya bagus. Tetapi bis yang akan mengangngkut kami ke Thailand tidak kunjung datang. Saya kira, di Indonesia saja ada kata terlambat. Eh ternyata Harapan Baru lebih tepat waktu daripada bis yang kami tunggu. Ngomong-ngomong soal bis, jelas bis di Indonesia, khususnya di Jawa –yang pernah saya rasaan- jauh lebih garang daripada bis di sini. Jika di Jawa, bis adalah raja jalanan yang sesungghnya.

Lama kami mennunggu sampai terkantuk-kantuk. Udara di luar bandara sangat panas. Dan kami sekarang berada di luar bandara kurang lebih sudah satu jam. Udaranya tidak beda jauh dengan kaponan atau suren, tetangga desa saya ketika panas terik. Juga tidak beda jauh dengan Surabaya. Tetapi jangan bandingkan dengan Jakarta, karena saya tidak tahu rasanya berada di Jakarta, walaupun tiga puluh detik saja seperti pertemuan saya dengan bulek Zarrina ketika di Juanda. Sampai akhirnya bis yang kami tunggu tiba. Kami melanjutkan perjalanan lagi.

0

Di Bandara Juanda
Perjalanan dari banyuwangi ke bandara Juanda membutuhkan waktu kurang lebih 6 jam. Malam itu kami berangkat jam 8 lebih. Ketika sampai di Probolinggo kami mampir dulu ke rumah makan. Lha kok ndilalah kami ketemu sama dosen Ibrahimy. Entah beliau mau kemana. Kalau tidak salah mau menjenguk keluarganya. Dan ketika akan Meneruskan perjalan kami ketemu dengan dosen IAIDA. Kata Fikri, beliau adalah suami dari ning nik (Ning Nihayatul Wafiroh), yang jadi DPR RI itu. Beliau sendiri perjalanan pulang dari mengajar di Semarang.

Tepat adzan subuh berkumandang ketika kami sampai di depan masjid bandara juanda. Setelah Sholat subuh, kami bergegas mencari sarapan dan langsung ke bandara. Singkat cerita, kami sudah siap untuk terbang.Hanya saja ada sedikit masalah yang mengganjal pada saya.

Kala itu, saya sudah janjian sama sahabat saya yang berada di surabaya, sekaligus bulek saya, sekaligus tempat curhat saya –dulu- yang sekarang nggak lagi, Zarrina. Yah namanya juga sahabat sekalgus keluarga, saya juga ingin mengucapkan sepatah dua patah tiga path empat patah sampai berpatah-patah kata. Selain itu saya ingin titp HP agar diberikan kepada adik saya. Lah kok sampai 45 menitan sebelum berangkat belum kelihatan juga baunya.

Ping berkali-kali tidak di read. WA juga diabaikan, telpon juga tidak diangkat. Pikiran saya berkecamuk karena banyak hal. Maklum, gini inih susahnya jadi orang overthinking, gampang kepikiran. Jangan-jangan dia gini, atau gitu, atau sengaja, atau apa?.Sampai akhirnya pasrah saja jika memang dia tidak datang.

Akhirnya saya ikut saja dengan teman-teman menuju ruang tunggu bandara. Tas teman saya, Anam, ketika diperiksa petugas, terindikasi membawa sesuatu yang mencurigakan. Hingga akhirnya disuruh membuka tasnya. Kami sih tenang-tenang saja, palingan ya bawa rokok yang banyak gitu aja. Nggak mungkin membawa parfum mahal atau shampoonya christiano ronaldo yang merknya cl*ar itu. Wong Anam kok, lak yo udah pintar kalau barang-barang seperti itu tidak boleh dibawa di dalam pesawat.

Ketika dibuka tasnya lha kok beneran, rokok 2 press. Ini mau jualan atau mau bagi-bagi rokok gratis.mungkin seperti itu dalam hatinya si petugas tadi. Tebakan saya salah, ternyata petugas sudah paham betul dengan orang yang modelnya seperti teman saya itu, “pondokan ya mas? Ya udah rokoknya yang 1 press dititipkan saja ke temenmu”. Dan rokokpun lolos. Tak kan ada bibir sepet ketika di Thailand nanti. Selamat bro. Setelah tiket kami diperiksa, Kami pun melenggang,  dan hanya saya sendiri yang masih gelisah.

Sebelum ruang tunggu, ada sederet barang-barang yang dijual. Kata pak dosen yang akan menemani kami ke Thailand, harga disini tidak mahal karena belum kena pajak. Yo saya lihat-lihat mbok menowo ada yang cocok sambil menghilangkan kegelisahan saya. Ketika tanya harga sebuah tas  ke petugas disitu, dengan santainya bilang “dua juta mas itu”. What? Dua juta? Murah karena belum kena pajak? Itu sama dengan gaji guru honorer 4-5 bulan je. Walaupun dengan hati yang berkecamuk saya tetap memasang wajah sedatar mungkin. Biar tidak kelihatan kaget, ya gengsi to. Sambil berlalu mengamati barang-barang yang lain. Melipir.

Sampai akhirnya ada telepon masuk, ketika itu 25an menit sebelum terbang. Dar zarrina! Saya angkat malah dia matikan teleponnya. Saya telpon balik, katanya dia ada diluar. Saya bergegas lari kesana, walaupun saya tidak tau luar yang mana yang dimaksudkan. Sampai dipemeriksaan tiket, saya dicegat, “ya gak bisa mas, itu ya sama saja dengan membatalkan tiket”. Sayapun memohon semelas-melasnya. Dalam pikiran saya, selain kasihan dengan zarrina yang sudah jauh-jauh ke bandara, juga karena jika tidak ada HP yang saya berikan ke adik saya itu, saya akan sulit menghubungi keluarga. Lha wong dirumah nggak ada telepon pinter.

Akhirnya petugas terebut mengizinkan, tapi dengan syarat dia menahan passpor saya dan membatasi waktu 5 menit saja, karena dia akan ganti shift katanya. Klau tdak ketemu dengan dia berarti passpor saya tidak diberikan. Walaupun saya tahu itu hanya ancaman belaka, tapi bagaimana jika memang itu beneran. Dalam hato saya hanya misuh-misuh sambil membaynagkan ketika membuat passpor harus pura-pura akan umroh karena kami melalui agen haji. Akhirnya saya iyakan saja.  Walaupun saat itu saya juga belum tahu si zarrina ini sedang berada dimana.

Tanpa pikir panjang, saya lari sekencang-kencangnya, Walaupun semua mata tertuju pada saya. kok kayak di film saja ini, Batin saya. Akhirnya dengan lokasi yang dideskripsikan zarrina sambil mengingat-ingat tempat-tempat yang saya lalui saya bisa menyimpulkan, dia sedang diluar, benar-benar diluar, lebih tepatnya dipinggir jalan, didepan pintu masuk.  Saya kencangkan lagi laju lari saya. Saya tidak peduli lagi dengan tatapan aneh mata orang-orang yang ada disana.

Pertemuan itu adalah perteuan singkat, ya sangat singkat. Hanya bertemu, ngomong sedikit, nyerahin titipan, dan tak lupa dia nyerahin sesuatu juga. Saya wes nggak peduli lagi, hanya tak iyani saja tersu pamitan. Walaupun nantinya barang tersebut sangat berguna bagi saya. Mungkin tidak ada 20 detik dan wessss, saya lari sekencang-kencangnya, lagi. Mungkin jika dihitung wakunya tidak beda jauh dengan capaian ussain bolt. Itu yang saya rasakan saja, bukan realita, apalagi fakta. Alhamdulillah passpor masih bisa diambil dan bisa berangkat dengan tenang.

0

Dari kiri: Hadi, saya, santi, daeng, anam
Malam itu kami berlima sudah berkumpul di pesantren milik rektor, Gus Ilur. Pesantrennya bernama Bustanul Falah, taman para pemenang. Yang pertama kali datang adalah hadi. Nama lengkapnya Khoirul Hadi. Asli putra Banyuwangi. Dia adalah ketua racana IAI Ibrahimy. Dia orang yang semangat. Dia juga yang sering kesana kemari mengurus berkas dan keperluan kami. Sepertinya dia yang paling tidak sabar untuk segera ke Thailand.

Selanjutnya Anam. Nama lengkapnya Mukhtar anam Aziz. Dia asli santri salaf. Dia juga asli putra Banyuwangi. Setiap hari mulutnya tak bisa lepas dari rokok. Juga tidak bisa untuk tidak ngopi. Bahkan, saat itu Anam membawa 2 press rokok yang nantinya menjadi sedikit masalah di bandara. Dia ini yang selalu dicari bu dosen bahasa Inggris karena jarang masuk.

Ada lagi Imam Dairobi atau yang biasa kami panggil daeng. Dia adalah anak kendal yang selalu mengaku dari Semarang. “Sama saja, lha wong deket aja kok antasara semarang dan kendal. Orang-orang fahamnya semarang”. Itu jawabannya jika saya komentar tentang kabupaten asalnya. Mungkin tidak beda jauh dengan saya ketika ditanya apakah saya alumni Gontor? Tidak jarang saya mengiyakan saja. Lha wong Al-Islam –Pondok Pesantren saya dulu- tidak beda jauh dengan Gontor. Hanya saja, lebih banyak orang yang lebih mengenal gontor.

Yang terakhir, santi. Dia satu-satunya perempuan dalam kontingen kami. Tak ayal, dia selalu mendapatkan bullyan dari kami. Terutama saya dan daeng. Katanya, dia sudah pernah mondok di Blokagung (pesantren paling besar seantero Banyuwangi saat ini) selama sembilan tahun. Yaitu sejak SD. Dan menjadi pengurus ketika sebelum boyong (keluar) dari pesantren. Tapi kok saya kurang yakin. Apakah sembilan tahun tersebut benar-benar mondok atau hanya pindah tidur saja. Tetapi memang, dia satu-satunya dari kami yang pernah ke luar negeri. Ke Spanyol menjenguk saudaranya dan ke Suriname diajak oleh saudaranya yang di Spanyol tersebut.

Saat itu Hadi diantar oleh keluarganya. Ayah, Ibu dan kakaknya ikut mengantar. Begitu juga Anam, dia juga diantar oleh keluarganya. Santi, satu-satunya perempuan yang ikut ke Thailand, diantar oleh  satu-satunya pamannya. Karena orang tuanya berada di sumatera. Dairobi sendiri, yang bukan asli Banyuwangi, diantar oleh sahabat karibnya dan juga, ehm, ceweknya. Sedangkan saya yang juga bukan asli Banyuwangi diantar oleh sahabat seperjuangan dalam susah dan senang yang sudah saya anggap keluarga sendiri, teman sepengabdian di Pondok Sunan ampel.

Kami berada di pesantren ini untuk terlebih dahulu ramah tamah dengan bapak rektor dan juga menunggu mobil dari IAIDA Blokagung yang akan mengantarkan kami ke Juanda. IAIDA Blokagung  mengirim mahasiswanya dua orang. Yang pertama, Kanzul Fikri. Biasa kami panggil fikri. Dia adalah tetangga Hadi dan juga teman sekelas ketika di SD. Yang saya tahu, dia adalah sopir dari kelaurga ndalem pesantren Blokagung.

Satu lagi kang Abror. Orangnya pendiem. Tapi sekali ngomong langsung mak jleb. Orangnya asli Lampung. Dia murah senyum. Ketika kami bully pun Cuma senyum-senyum penuh makna. Tetapi kalau sudah pegang HP dan internet, dia jadi lupa dunia. Yang saya tahu juga, dia pernah mewakili IAIDA Blokagung sebagai Qori di tingkat nasional dalam acara MTQ Mahasiswa se-Indonesia.

Jadi, dari Banyuwangi mengirimkan tujuh mahasiswa. Enam laki-laki dan satu perempuan. Lima dari IAI Ibrahimy Genteng dan dua dari IAIDA Blokagung. Malam itu kami mulai melangkahkan kaki menorehkan sejarah dalam lembaran kehidupan kami.

0

Minggu, 05 Juni 2016

Walaupun jauh dari negeri harus tetap ingat dengan Panca Jiwa dan Panca Tujuan


Pattani, 29 Mei 2016

Hari ini dalah hari pertama saya menginjakkan kaki di tanah Thailand, negeri gajah putih. Saya kesini bukan untuk jalan-jalan atau bahasa anak sekarang ngetrip. Jelas budget saya tidak  mencukupi untuk sekedar jalan-jalan ke luar negeri. Hari ini, saya bersama 93 mahasiswa beruntung se-Indonesia mendapatkan kesempatan dalam program pertukaran pelajar yang diwujudkan dengan KKN-PPL di Thailand.

Saat tulisan ini dibuat, saya berada di lantai 5 kamar 10 hotel CS pattani. Pikiran saya melayang mengingatkan bagaimana saya berada disini.

Entah hari itu hari apa. Di kampus saya, Ibrahimy, ada pengumuman seleksi KKN-PPL di Thailand. Saya yang dari dulu sangat ingin ke luar negeri dalam program pendidikan, langsung saja mendaftarkan diri. Entah bagaimana caranya, pokoknya daftar saja dulu. Dalam pikiran saya, “sing penting yakin”. Sebenarnya dalam hati, saya agak sombong. “kalau hanya Ibrahimy saya yain dengan kemampuan saya, saya bisa lolos”.

Lha kok ternyata dari kuota yang ditentukan lima orang yang daftar hanya enam orang saja. Entah dari ribuan mahasiswa lain karena ragu, pesimis atau masalah izin sehingga tiidak mendaftarkan diri.  Kasihan yang satu orang ini jika tidak bisa masuk seleksi, saya kok juga jadi pesimis. Jika dari background para pendaftar, kelihatannya termasuk orang-orang yang berkualitas. Saya sendiripun belum memiliki modal keuangan untuk biaya KKN ini. FYI, di kampus saya, biaya pengurusan passport, visa dan transport ditanggung sendiri oleh mahasiswa. Berbeda dengan kampus lain yang menyediakan seluruh biaya keperluan mahasiswa yang berangkat ke Thaland. Saya sendiripn memahami keadaan kampus. Otak saya yang sudah terdoktrin oleh trilogi novelnya mas Ahmad Fuadi, Negeri 5 Menara, sudah tidak peduli lagi jalan yang harus ditempuh (tentunya jalan yang halal). Ngutang ya ngutang.

Contoh lain ketiaka salah satu persyaratannya adala mengumpulkan KHS. Sedangkan KHS saya belum saya perbaiaki untuk mata kuliah yang gagal (gitu kok percaya diri). Dan kebijakan kampus menentukan bagi yang mata kuliahnya gagal, diharap untuk mengambil semester pendek. Gek makhluk yang namanya semester pendek itu, sudah sejak satu semester atau bahkan satu tahun sebelumnya tidak juga muncul hidungnya. Setiapsaya tanyakan, jawabannya sama, “tunggu”.

Dalam hati saya terus berkecamuk, saya harus ngomong langsung ke pembant rektor sebagai pembuat kebijakan. Selepas sholat ashar, saya fatihahi (saya bacakan surat al-fatihah) terlebih dahulu agar jalan saya dimudahkan.Ndilalah kersane ngalah, ketika saya ngomong, pak pembantu rektor telah mengubah kebijakannya tersebut, alhamdulillaaah . . . .

Hari demi hari berganti. Tibalah saatnya untuk melakukan tes. Tes dilaksanakan pada jam 14.00 WIB. Kala itu sudah datang lima mahasiswa. Tes pertama, tes tulis bahasa inggris dan bahasa arab. Teman-teman peserta tes, terus saja berdo’a agar orang keenam tidak datang. Dengan begtu, otomatis kami yang berjumlah lima orang ini sudah memenuhi kuota dan bisa lolos seleksi. Tes kedua tes lisan. Juga bahasa arab dan bahasa inggris. Disini saya agak merasa grogi. Bukan karena apa-apa, hanya saja bu dosennya itu lo yang bikin kerinat dingin bercucuran. Senyumnya itu lo, ehm.

Sampai tes berakhir, si orang keenam tidak datang. Tak pelak, kawan-kawan pun bersorak. Di tengah kegembiraan kawan-kawan, Gus Endy, Ketua LPPM bilang, walaupun hanya lima orang, akan tetap kami seleksi. Kami tdak mau mengirimkan mahasiswa yang tidak memenuhi kriteia kami. Alaaaahhhh . . . . .

Hari demi hari berganti. Akhirnya pengumuman tes keluar. Daaaan

Alhamdulillah kami lolos semua.

0

Sing Nulis

authorMahmud Rofi'i. I'm no body.
Learn More ?