Sabtu, 08 Oktober 2016

Pulang Itu Rasanya . . .

Datang akan pergi
Lewat kan berlalu
Ada kan tiada
Bertemu akan berpisah

Awal kan berakhir
Terbit kan tenggelam
Pasang akan surut
Bertemu akan berpisah

Hei, sampai jumpa di lain hari
Untuk kita bertemu lagi
Ku relakan dirimu pergi

Meskipun ku tak siap untuk merindu
Ku tak siap tanpa dirimu
Ku harap terbaik untukmu

Lagu sampai jumpa milik Endank Soekamti berkali-kali saya ulang-ulang. Tak terasa 139 hari jatah di Thailand hanya tinggal beberapa hari saja. 4 bulan yang lalu, teringat bagaimana harus beradaptasi menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Teringat juga perjalanan ke Phatthalung setelah berpisah dengan teman-teman. Saat itu saya merasa tidak siap untuk sendirian berada di negeri orang. Minggu-minggu awal yang berat, hingga masalah utama tidak paham bahasa Thailand sama sekali, benar-benar membuat saya harus menguat-nguatkan diri. 

Tetapi, lambat laun , hari-hari yang berat berubah menjadi hari-hari yang indah. Bisa mengenal orang-orang yang sama sekali baru, sedikit demi sedikit belajar bahasa mereka, kebiasaan mereka hingga kebudayaan mereka. Lambat laun mulai mengerti dan memahami hingga membuka mata saya sebagai warga ASEAN.

Tentunya, dalam kehidupan tidak selalu melewati jalanan aspal mulus rata nyaris tanpa cobaan. Juga tidak selalu menanjak naik ke atas tetapi sambil menikmakti pemandangan pegunungan yang indah. Tetapi dalam perjalanan kehidupan, selalu dinamis. Kadangkala melewati aspal mulus, kadangkala jalanan pedesaan, kadangkala pula jalalanan pegunungan yang ekstrim naik turun penuh bebatuan, atau malah jalanan berlumpur sedalam lutut. 

Tetapi diantara perjalanan itu, yang diumpamakan sebagai jalan mulus belum tentu selalu indah. Bisa saja membosankan karena panasnya jalan raya dan padatnya kendaraan. Memang seperti itulah kehidupan. Dan setiap perjalanan itu, -selama perjalanan tersebutasih di dunia- pastilah ada akhirnya.

Begitu juga di sini. Tidak selalu mengalami hal-hal indah dan juga tidak selalu mengalami hal-hal buruk. Memang kehidupan sangat hobi mempermainkan manusia. Kadangkala manusia diterbangkan setinggi-tingginya, sedetik kemudian dihempaskan hingga perut bumi. Kadangkala ingin di sini terus menerus, kadangkala pula ingin pulang saat itu juga. Dan hal-hal yang membuat merasa ingin pulang, terkadang hanyalah hal-hal sepele. 

Katakanlah seperti murid-murid yang terkadang mengabaikan saya letika diajar, ketika barang-barang sepele yang tiba-tiba hilang tak berbekas hingga ketika laptop rusak yang tidak kunjung diperbaiki oleh tukang servis. Atau ketika teringat tempe goreng saat akan sarapan pagi yang menunya selalu telur yang membuat kulit sangat gatal karena tidak tawar, hingga ketika jatuh sakit di negeri rantau. Ketika hal-hal sepele tersebut terjadi, selalu terbersit dalam hati, “jika saya di Indonesia, bla bla bla,” akhirnya ingin pulang saat itu juga.

Tetapi lebih banyak lagi hal indah yang tak terlupakan. Contoh kecil diantara yang banyak tersebut seperti saat berpetualang dan berbagi cerita dengan teman-teman, saat disambut dengan baik oleh keluarga-keluarga yang oernah saya datangi, saat bercanda bersama murid-murid, Orang-orang yang dulunya tidak saya kenal sama sekali menjadi orang yang dekat dengan saya dan lain sebagainya. 

Dan suatu hari saya diingatkan sesuatu, “bang, saya tidak mengijinkan kamu pulang ke Indonesia,” kata salah seorang murid. Tak lama setelah itu, banyak murid lain mengatakan hal serupa. 

Ada satu hal yang saya sadari, saya harus pulang ke Indonesia beberapa hari lagi. Ketika sudah merasa nyaman, kami harus berpisah. Mengingat segala hal yang pernah terjadi, baik itu yang indah maupun yang tidak indah, lalu tiba-tiba harus pulang, rasanya . . . . 





Biasa saja.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sing Nulis

authorMahmud Rofi'i. I'm no body.
Learn More ?