Rabu, 31 Agustus 2016

Prince of Sogkhla University


Yang kedua, ketika pulang dari konsulat juga. Kali ini sehabis acara agustusan. Sebagai warga negara yang baik dan cinta tanah air, saya mengikuti acara 17 agustus di konsulat. Pada saat yang sama, sekolah saya menghadiri acara di Prince of Songkhla University, salah satu kampus prestisius di Thailand Selatan. Untuk selanjutnya, saya sebut saja dengan PSU. Kampus tersebut, satu jam perjalanan dari Konsulat. Dan juga sejalur jika akan oulang ke Kongra yang sekitar 3 jam dari Konsulat. Oleh karena itu, saya berniat ke PSU, biar bisa pulang bareng.

Disaat yang sama juga, rombongan kelas 3-6 matayum (SMP-SMA) sedang study tour ke Pracuap. Entah nnama apa itu. Nama kota, provinsi atau nama tempat wisata saya kurang tahu. Bersama mereka juga baboh dan kedua teman pattani saya. Otomatis tidak ada yang menjemput saya jika memakai rodtu. Oleh karena itu, saya berniat ke PSU, biar bisa pulang bareng.  Kali ini, saya ke PSU bersama Dairobi yang dari kendal tersebut. Sekolahnya juga menghadiri acara yang sama. Kami ke PSU memikih menggunakan songteo yang lebih murah.Ternyata si sopir tidak tahu PSU. Waduh lha ini. Setelah menjelaskan dengan bahasa seadanya , pak sopir mengangguk memberi isyarat bahwa dia paham. Walaupun begitu, saya masih ragu.

Kendaraan berjalan lambat mencari penumpang. Satu jam baru sampai hatyai, tempat PSU berada. Tetapi ketika berhenti, saya tidak melihat ada hawa-hawa kampus. Hati saya jadi bertanya-tanya, diturunkan dimana ini. Saya tanyakan kepada sopir, dia bicara sambil memberi isyarat turun disini dan menyuruh memakai ojek yang ada di situ. Wah benarkan, dia tidak menghantarkan saya sampai tempat.

Ternyata penduduk setempat menyebut Prince of Songkhla University dengan sebutan “mo’o”. Dan mungkin saja mereka tidak bisa membaca tulisan inggris “Prince of Songkhla University” yang terpampang didepan kampus. Jadi mereka tidak tahu apa itu Prince of Songkhla University. Setrlah negosiasi yang cukup alot, kami harus mengalah membayar 100 baht dua orang untuk perjalanan 1 KM. Untuk informasi, 1 baht sekitar 375 rupiah. Jadi 100 baht sekitar 37.500 rupiah. Lak yo what fa fuk tenan.

Ketika telah sampai PSU, nasib tak juga kunjung beruntung. Ternyata, area universitas sangat luas ditambah ratusan rombongan sekolah yang mengikuti acara tersebut, membuat saya kesulitan mencari rombongan sekolah saya. Berbeda dengan teman saya, Dairobi. Masuk sedikit,, langsung bertemu rombongan cewek-cewek centil murid-muridnya. Tidak kurang dari satu jam saya berkeliling mencari. Rombongan sekolah saya belum juga ketemu. Ndilalah kersane ngalah, hp saya juga sedang eror. Tidak bisa menghubungi orang lain via apapun. Padahal sudah beli pulsa. Memaketkan internet juga tidak berhasil. Otomatis semua yang berhubungan dengan hp saya baik yang keluar ataupun masuk terputus. Berputar-putar selama satu jam lumayan membuat kaki lunglai. Dalam hati hanya membatin “apakah saya harus pulang sendiri, sedangkan baboh tidak di rumah, tidak akan ada yang menjemput dari jalan raya.”

Tetapi entah bagaimana, tba-tiba secara ajaib ada pesan masuk di messenger. Teman saya yang pergi ke Pracuap bersama baboh dan murid-murid, mengirimi saya pesan lewat messenger. Sayapun mencoba menghubunginya, hasilnya, tidak bisa lagi. Saya restart saya menciba menghubungi lagi, masih tidak bisa. Ok, kalau memang hp yang eror, SIM Cardnya saya pindahkan ke hpnya Dairobi yang SIM cardnya sudah kadaluarsa itu. Dan yup, ternyata SIM Card saya bisa, berarti benar hp yang ror. Saya hubungi lagi dan meminta nomor guru yang pergi ke PSU. Setelah dapat nomornya, tanpa pikir panjang saya hubungi dia. La kok ternyata rombongan sekolah saya sudah pulang. Kok apesmen. Untuk menenangkan fikiran saya yang masih belum tahu pulangnya nanti bagaimana, Dairobi mengajak saya makan siang bersama mutid-muridnya. Tanpa ba bi bu, 5 bungkus nasi di campur jadi satu, tak sampai 10 menit sudah habis dilahap perut lapar, termasuk perut saya. Lalu saya meminta tolong kepada muridnya Dairobi yang bisa bahasa Thailand untuk menghubungi guru tadi. Setelah dihubungi, katanya saya disuruh pergi ke BIG C, salah satu mall besar di hatyai dan bertemu disana, sekalian sholat dluhur.

Cuaca Hatyai siang itu sangat panas. Perjalanan muter-muter satu jam ditambah cuaca yang sangat panas cukup membuat saya lumayan pening. Perjalanan ke mall tersebut harus menggunakan tuk tuk. Kendaraan khas Thailand. Itu informasi yang saya dapat setelah tanya sana sini. Saya meminta Dairobi untuk menemani saya ke mall. Selain masih membutuhkan hpnya untuk menghubungi guru, saya juga masih khawatir belum ketemu mereka. Setelah berunding dengan sopir tuk tuk, saya masih ragu apakah diantarkan ke mall yang dimaksud atau tidak. Karena ada dua mall dengan nama yang sama. Kami harus membayar 150 baht atau sekitar 55.000 rupiah. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. 

Sampai di mall, saya cari-cari belum juga ketemu. Akhirnya saya mengajak Dairobi untuk sholat dluhur terlebih dahulu. Ditunggu saja di musholla, karena katanya akan sholat dluhur di Mall. Sampai detik ini, saya masih khawatir bukan mall ini yang dimaksud. Tetapi kekhawatiran saya tersebut sirna ketika rombongan sekolah saya muncul dari pintu masuk musholla. AlKhirnya saya bisa bertrmu dan pulang dengan mereka dengan sehat selamat sentosa. Cuman, uang saya kok menipiiis. Resiko orang asing.

Selang beberapa hari, saya harus mengurus visa di Malaysia. Karena keberangkatan sudah diatur badan alumni, jadi tidak ada masalah sama sekali. Berbeda ketika sepulang dari Malaysia. Kami pulang dari perbatasan Thailand-Malaysia menggunakan kereta api. Setelah menempuh perjalanan 5 jam, rombongan Mahasiswa KKN-PPL harus berpisah di stasiun Hatyai. Banyak teman-teman yang langsung dijemput babohnya masing-masing. Tetapi ada juga yang tidak dijemput. Mereka ini golangan tidak beruntung. Dari sedikit mahasiswa yaang masuk golongan tidak beruntung itu, termasuk saya. Dan saya yang paling jauh tempatnya dari stasiun. Apes.

Tetapi kali ini bersama teh Aulya.
Bersambung . . .


0


View kota songkhla dari atas bukit
Berada di negeri orang, bukanlah suatu hal yang mudah. Selain tidak ada orang yang kita kenal,ataupun sedikit orang yang kita kenal, juga tempat yang sangat asing bagi kita. Kita sama sekali tidak tahu bagaimana caranya pergi ke suatu tempat. Apalagi jika kita tidak menguasai bahasa yang dipakai di negara tersebut. Siap-siap saja mengalami petualangan yang paling seru seumur hidup. Hal tersebut yang pernah saya alami, setidaknya tiga kali. Entah kalau nanti nambah lagi.

Berada di negeri Thailand, negeri yang bahasanya harus pakai nada itu, seperti China, membuat saya harus belajar keras secara otodidak memahami bahasa penduduk setempat. Karena alasan belum mahir bahasa Thai, sering saya masih takut untuk keluar dari zona nyaman, sekolah penempatan PPL-KKN saya. Tetapi pada suatu hari, mengharuskan saya keluar untuk bepergian jauh.

Bulan kedua berada di Thailand, sudah memasuki idul fitri. Ini artinya, kesempatan berkumpul dengan teman-teman Indonesia. Alasan agenda idul fitri dan rindu teman seindonesia, mengharuskan saya pergi ke Konsulat Republik Indonesia di Songkhla. Sekitar tiga jam perjalanan dari tempat saya. Hal ini sudah pernah saya ceritakan sebelumnya. Tidak ada permasalahan yang berarti ketika pemberangkatan, karena saya bersama teh Aulya, teman Indonesia yang ditempatkan tak jauh dari sekolah penempatan saya. Juga bersama dengan teman mengajar satu sekolahnya teh Aulya yang bisa baahasa melayu dan bahasa Thailand, karena asli orang Narathiwat, provinsi paling selatan Thailand yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Dia juga mengenal daerah-daerah setempat. Dengan bantuannya, kami bisa sampai tujuan dengan sehat, selamat, sentosa dan tanpa aral apapun.

Tetapi hal ini tidak berlaku untuk kepulangan kembali ke zona nyaman. Keadaan mengharuskan saya pulang sendirian. Mendengar kata ‘sendirian’ saja sudah menjadi momok yang menakutkan. “sendirian” itu seperti kata yang menggambarkan keadaan dimana tidak ada seorangpun teman yang menemani apalagi kekasih yang mendampingi. Walaupun begitu, saya sadar saya harus setrong, laki-laki tidak boleh cengeng, -Walaupun sebenarnya terkadang mbrebes mili ketika teringat mbok’e- saya harus tetap maju.

Saya pergi ke terminal untuk mencari kendaraan pulang. “Ada rodtu* ke kongra tidak?” tanya saya ke petugas terminal dengan bahasa Thailand yang masih sangat minim. Dengan sigap dia menjelaskan dengan bahasa Thailand yang tidak bisa saya pahami. Intinya, tidak ada kendaraan. Petugas tersebut tau bahwa saya tidak bisa bahasa Thailand. Akhirnya dia memanggil perempuan yang bisa bahasa melayu. Dia menjelaskan bahwa yang ada adalah rodtu ke Mueang Phatthalung. Sedangkan daerah saya adalah kongra, pinggiran Provinsi Phatthalung. Sangat jauh dari ibukota provinsi, Mueang Phatthalung. Dia juga menjelaskan, bisa ke Kongra, tetapi turun di Pabon. Dari Pabon bisa televon rodtu yang menuji Kongra. Dia juga menjelaskan ke supir bahwa nantinya saya akan diturunkan di Pabon.

Perjalanan yang melelahkan membuat saya mengantuk. Apapun yang terjadi, saya pasrahkan saja. Saya tertidur. Tiba-tiba, saya merasa ada yang menggoyang-goyangkan tubuh saya.  Ternyata supir memberi isyarat bahwa sudah sampai. Celakabya, saya lupa nama tempat ini tadi. Kali ini saya diturunkan di pertigaan yang saya tidak tahu namanya.

Di tempat yang sangat jauh dari tempat yang saya kenal, juga sangat jauh dari orang-orang yang saya kenal. Saya menyadari bahwa saya benar-benar sendirian. Untung saja sebelum pulang saya sudah membeli pulsa untuk menghubungi baboh.  Tetapi tempat tersebut masih sangat jauh dari sekolah. Jadi saya berinisiatif menunggu rodtu saja. 

Setelah saya tunggu-tunggu,rodtu tak juga kunjung datang. Setengah jam berlalu, dan rodtu pun belum nampak sama sekali. Saya mulai gelisah. Akhirnya saya menghubungi baboh. Baboh hanya bisa bahasa Thailand, sangat sulit bagi kami untuk gkomunikasi. Saya kirimkan foto jalan dan tempat umum lain, baboh tak mengenal tempat-tempat tersebut. Perasaan saya tambah nggak enak.


Akhirnya saya cari orang yang bisa saya tanya. “ini dimana?” tanya saya. Sepertinya dia agak bingung, mungkin bahasanya kurang benar, atau logatnya yang membingungkan. Tapi akhirnya dia paham, “Pabon”, katanya. Langsung saya beritahukan ke baboh. Baboh memberi isyarat untuk menunggu kurang lebih satu jam. Wah lumayan lama ini. Jauh juga ternyata, jadi nggak enak sendiri.

Saya tunggu lama, tengok kanan kiri depan belakang dan Akhirnya, “bang!” Safid, anak baboh, memanggil saya. Saya bisa pulang dijemput baboh.

Yang kedua, ketika pulang dari konsulat juga. Kali ini sehabis acara agustusan. Sebagai warga negara yang baik dan cinta tanah air, saya mengikuti upacara 17 agstus di Konsulat. Pada saat yang sama, sekolah saya menghadiri acara di Prince of Songkhla University. Satu jam perjalanan dari konsulat. Dan juga satu jalur jika akan pulang ke Kongra yang sekitar tiga jam perjalanan.

Bersambung . . . .
*rodtu:  kendaraan umum Thailand roda empat sejenis van atau seperti mobil travel jika di Indonesia

0

Kamis, 04 Agustus 2016



“saya besok ingin pergi ke Indonesia,” begitu kata bang adil suatu ketika. Bang adil, seorang pemuda dari Pattani. Menjalankan program semacam pengabdian masyarakat, untuk memenuhi syarat kelulusan dari sekolah tempatnya menuntut ilmu di wilayah Yala, salah satu dari tiga wilayah yang  ingin memerdekakan diri.  Dia berada satu sekolah dengan saya. Dia adalah salah satu dari sekian banyak pelajar Thailand yang ingin meneruskan studinya di Indonesia.

Saat ini, ada ribuan pelajar Thailand, khususnya Thailand selatan yang menempuh pendidikan di Indonesia. Umumnya mereka mendalami ilmu agama. Mereka tersebar di berbagai lembaga pendidikan baik itu pondok pesantren ataupun universitas di Indonesia, khususnya di Jawa. Indonesia adalah salah satu tujuan utama mereka menuntut ilmu, disamping timur tengah.

Rata-rata, pelajar Thailand selatan yang ingin meneruskan studinya di luar negeri, mereka diberi dua pilihan, Indonesia atau timur tengah. Timur tengah sendiri ada berbagai negara, yang populer di sini yaitu Mesir, Arab Saudi dan Yordania. Teman saya, Hadi, pernah bercerita. Ketika dia bertanya kepada salah satu murid di sekolahan tempatnya KKN-PPL tentang kenapa memilih di Indonesia, muridnya menjawab, “Karena ustadz saya pernah berkata, jika ingin mempelajari syari’at islam, belajarlah di timur tengah, jika ingin mempelajari tarbiyah islam, belajarlah ke Indonesia.”

Saya juga pernah bertanya kepada bang Adil, teman saya tersebut, “kenapa tidak memilih di di Timur tengah?” “Karena di Indonesia bahasanya sama, selain itu di Indonesia lebih murah.” Saya mengejarnya dengan pertanyaan yang lain, “kenapa tidak di Malaysia saja, yang lebih dekat?” Dia hanya menjawab dengan singkat, “karena di Indonesia lebih murah.” Alasan yang sama ketika ditanyakan kepada pelajar-pelajar yang lain. Tetapi ada salah satu pelajar yang menjawab dengan berbeda, “karena perempuan Indonesia cantik dan sholehah”.  Wah ini, jawaban yang paling jujur, batin saya. Mungkin dia belum pernah nonto konser dangdut koplo.

Sebenarnya, hal ini tak lepas dari kiprah para pelajar Thailand alumni berbagai lembaga pendidikan di Indonesia. Lewat sepak terjangnya, masyarakat menilai bahwa mereka telah berhasil mengamalkan ilmunya. Selain itu, tak jarang dari mereka yang menjadi pemuka agama, tokoh masyarakat dan juga pendiri sekolah-sekolah besar di daerah Thailand Selatan ini. Lewat mereka, tanpa mereka berkata sedikitpun tentang Indonesia, sudah menggiring opini masyarakat bahwa pendidikan Islam di Indonesia adalah baik.

Selain itu, tentunya, ehm, para pelajar Indonesia yang berada di Thailand. Baik itu yang sudah menjadi guru tetap, yang menjalankan program KKN-PPL ataupun yang memang menempuh studi di sini. Merekalah (baca:kamilah) orang Indonesia yang terjun langsung bersinggungan dengan pelajar-pelajar maupun masyarakat Thailand. Tidak sedikit dari pelajar-pelajar Thailand yang terinspirasi ingin melanjutkan studinya ke Indonesia karena mereka (baca:kami).  Ada yang terinspirasi karena kepandaiannya, skillnya, penguasaan ilmunya, pribadinya yang menyenangkan, mengajarnya yang asik hingga karena ketampanan atau kecantikannya.





 

Ketika baboh* , pergi ke Indonesia, ada semangat tersendiri dari beliau untuk menyekolahkan anak-anaknya di Indonesia. Beliau berada di Indonesia selama satu minggu bersama badan alumni, badan yang beranggotakan orang-orang Thailand selatan alumni berbagai perguruan tinggi di berbagai negara.  Kala itu badan alumni -yang juga memfasilitasi dan mendorong pelajar-pelajar Thailand untuk melanjutkan studi di Indonesia- mengantarkan pelajar-pelajar pilihan untuk melanjutkan studi di Indonesia. Di samping juga kunjungan-kunjungan ke berbagai perguruan tinggi.

Sampai di Thailand, beliau mengatakan bahwa sekolah kita mendapat jatah untuk mengirimkan pelajar ke Indonesia. Sontak para pelajar langsung berbinar matanya. Beliau menceritakan kunjungannya di Indonesia. Sepertinya beliau terkesan pada Universitas Hasyim Asy’ari Jombang. Beliau juga menceritakan  tentang presiden RI ke-empat, Gus dur atau KH Abdurrahman Wahid, cucu dari Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari. Juga perjuangan pesantren Tebuireng ketika masa penjajahan. Beliau berkata langsung akan mengirimkan anak-anaknya kesana. Sedangkan anaknya yang pertama sudah berada di Tulungagung. Sedang menempuh studi di IAIN Tulungagung.

Besoknya, anaknya baboh yang perempuan, yang tinggi, yang cantik, yang sebelumnya saya kira bukan anaknya, yang namanya Kalima, ngomong pada saya, “Bang, besok saya pergi ke Indonesia”. Saya hanya menjawab singkat, “Iyakah, kapan?”. “Pulang ikut kamu, makan di rumah kamu, tidur di rumah kamu.” Wah lha iki.

Di tengah menteri pendidikan yang dibongkar pasang, di tengah degradasi moral yang dialami pendidikan Indonesia, ditengah berbagai kasus yang dilakukan oleh oknum guru, ditengah berbagai pelanggaran dan kerusakan moral para pelajar Indonesia dan juga di tengah bertubi-tubinya masalah menyerang dunia pendidikan Indonesia, ada harapan dari masyarakat Thailand Selatan untuk menuntut ilmu di Indonesia. Mencicipi pahit manis dunia pendidikan Indonesia, guna mengamalkan ilmu dan membangun Thailand selatan tanah tumpah darah mereka.

*Sebutan untuk pimpinan lembaga pendidikan islam, pemuka agama, kyai jika di Indonesia
0

Sing Nulis

authorMahmud Rofi'i. I'm no body.
Learn More ?