Rabu, 20 April 2016


Pertemuan ini bukanlah pertemuan yang disengaja. Saya tidak mengenal beliau. Yang saya tahu, beliau adalah seorang ayah dari salah satu santriwati di Pondok tempat pengabdian saya. Berawal dari silaturohim di rumah seorang kawan, saya bertemu beliau di depan rumahnya. Pada saat itu saya bersama seorang teman seperjuangan, akhirnya berhenti untuk sekedar bersilaturohim.

Kami diajak masuk ke rumahnya yang sederhana. Dibanding dengan rumah-rumah tetangganya, rumah beliau termasuk rumah yang paling sederhana. Tidak terlalu besar, tetapi sudah cukup membuat kenyamanan keluarga. Karena, kenyamanan keluarga tidak hanya dari bangunan yang megah, tetapi juga suasana yang dibina antar anggota keluarga tersebut.

Orangnya bersahaja, maklum memang keluarganya adalah keluarga kyai. Sorot matanya tajam seperti pemikirannya yang tajam pula. Ini tercermin dari kata-kata yang dikeluarkannya. Dari obrolan-obrolan yang kami bahas, beliau lebih banyak berbicara daripada kami. Kami hanya mengangguk mengiyakan apa yang beliau utarakan. Setiap tutur katanya mencerminkan pribadi beliau yang terpelajar.

Beliau mencereitakan tentang pendidikan anaknya, "sebenarnya dia (anaknya) bercerita kalau ingin mencari beasiswa untuk meneruskan ke perguruan tinggi." Saya sendiri berpikir, anaknya tersebut akan sangat mampu untuk meraih beasiswa, tetapi beliau melanjutkan, "tetapi kalau saya menyekolahkan anak, maaf lo mas, ini hanya pendirian saya sendiri, kalau bisa dengan biaya sendiri. Sekali lagi, ini bukan masalah apa-apa, hanya pendirian saya sendiri. Saya merasakan, mencari ilmu itu syaratnya memang biaya, dan biayanya harus jelas. Sedangkan jika beasiswa, itu kan uang negara. Sedangkan uang negara kurang begitu jelas asalnya dari mana."

Saya langsung terpana mendengar ucapan beliau. Di zaman yang menuhankan uang seperti sekarang ini, masih ada orang-orang seperti beliau yang berpikir sampai begitu dalamnya. Bahkan uang beasiswa pun beliau tidak mau mengambilnya. Beliau bukanlah orang kaya yang serba berkecukupan. Bahkan rumahnya pun masih bertembok gedek atau anyaman bambu. Tetapi beliau menanamkan kepada keluarganya, bahwa apa yang dimakan dan apa yang didapatkan haruslah benar-benar dari harta yang halal.

Sangat berlawanan dengan apa yang terjadi dewasa ini. Orang-orang terus memperebutkan harta bagaimanapun caranya. Di segala sendi kehidupan, uang adalah raja. Kata-kata tersebut juga menohok diri saya. Saya sendiri yang mengharapkan beasiswa tetapi tidak pernah dapat. Tetapi saya sendiri masih berkeyakinan bahwa beasiswa bukanlah harta yang haram. Mungkin memang tingkatan saya masih jauh di bawah beliau.

"Oleh karena itu, ketika saya menyerahkan anak saya kepada kyai untuk dipondokkan, saya berkata kepada kyai," lanjut beliau. "Anak saya saya pondokkan disini, saya mohon keikhlasannya untuk dididik. Jika waktunya membayar syahriyah bulanan, insyaallah akan saya cukupi dan saya usahakan untuk tidak terlambat. Kalaupun terlambat sehari dua hari, saya mohon kehalalannya." 

Pikiran saya terus berjalan merenungi kata-kata beliau. Banyak wal-wali santri yang dengan santainya tidak membayar biaya bulanan anak-anaknya. Padahal setiap hari anaknya diberi fasilitas pendidikan, dididik, sampai makanpun juga berada di pondok. Bahkan banyak juga yang sudah lulus tetapi masih menangguhkan pembayarannya. Begitu pula teman-teman kampus. Banyak dari teman-teman yang sampai lulus masih memiliki tanggungan pembayaran. Padahal, mereka bukan anak orang miskin, gawai mereka pun mewah-mewah. Kendaraan untuk ke kampus, juga lebih dari layak. Ini suatu yang paradoks bagi saya.

Lalu saya membanding-bandingkan antara anak yang dibiayai sungguh-sungguh oleh keluarganya, dengan anak-anak yang tidak terlalu dibiayai sungguh-sungguh oleh keluarganya. Entah rumus dari mana, tetapi saya mendapati fakta bahwa anak-anak yang dibiayai sungguh-sungguh oleh keluarganya, akan menjadi anak yang bersungguh-sungguh dalam pendidikannya. Dan hal tersebut berlaku pula untuk kebalikannya. Tetapi, memang bukan hanya hal tersebut saja yang menjadi pengaruh kesungguh-sungguhan seorang anak.

Karena ada pula seorang wali santri yang memiliki pendirian yang penting membayarkan kewajiban kepada pondok, memberikan uang saku kepada anaknya selama satu bulan, sudah. Yang penting kebutuhan anaknya dipenuhi, hal-hal lain tidak terlalu dipikirkan. Biasanya tipe-tipe wali santri seperti ini adalah wali santri yang bekerja sebagai TKI. Jadi, anak tersebut menjadi anak yang manja, kurang kasih sayang dan tidak bersungguh-sungguh dalam pendidikannya. Wallahu a'lam.
0

Jumat, 15 April 2016


Oemar Bakri... Oemar Bakri pegawai negeri
Oemar Bakri... Oemar Bakri 40 tahun mengabdi 
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati
Oemar Bakri... Oemar Bakri banyak ciptakan menteri
Oemar Bakri... Profesor dokter insinyur pun jadi 
Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri

Salah satu lagu favorit para penggemar bang Iwan termasuk saya sendiri ini menggambarkan betapa pak guru yang bernama Oemar Bakrie yang telah mengabdi selama 40 tahun, dengan segala kesederhanaannya mendidik murid-muridnya menjadi profesor, dokter dan juga insinyur. Tapi miris, dengan jasa yang sebesar itu gaji pak guru tidak sepadan dengan apa yang telah diberikan.

Sudah lah pak guru, walaupun ciptakan menteri tapi kalau menterinya tidak perhatian sama panjenengan mbok ya jadi penjaga toilet saja, batin saya. Ups.
Lha yo gimana lo, di Indonesia sangat banyak sekali guru yang harus nyambi kerja lain karena gaji sebagai guru tidak mencukupi kebutuhan hidupnya. Bayangkan saja, mereka adalah yang mengarahkan anak bangsa ini agar terdidik, tidak melenceng bahkan membantu menapaki karir mereka sendiri-sendiri sehingga dapat membangun peradaban bangsa ini. Kita semua tahu, pak Anies Baswedan tidak akan bisa menjadi rektor sampai menteri pendidikan jika sejak kecil tidak ada yang mendidiknya. 

Memang di sekolah-sekolah bonafid gaji guru melambung tinggi. Tapi bandingkanlah antara sekolah bonafid  dengan sekolah-sekolah biasa di negeri ini. selain itu, berapalah jumlah sekolah bonafid di negeri ini. Gaji guru berkisar kurang lebih antara Rp. 150.000 hingga Rp. 5.000.000.  Bayangkan, Rp. 150.000 saja. sangat jauh dari UMR buruh. Di daerah saya saja (Banyuwangi), UMR sebesar Rp. 1.200.000. Dan ketika saya bertanya kepada teman-teman di beberapa lembaga pendidikan setingkat SMP dan SMA, gaji mereka berkisar antara Rp. 300.000 hingga Rp. 500.000. Itu di tingkat menengah, bagaimana jika di tingkat pendidikan dasar. 

Pemerintahpun tak tinggal diam. Demi membalas jasa para oemar bakri, mereka menyediakan tunjangan profesi yang cair setiap tiga sampai empat bulan sekali. Tunjangan tersebut ditujukan kepada guru-guru yang telah memenuhi kualifikasi. Tetapi permasalahan tidak berhenti disitu. ketika jadwal pencairan tunjangan, para guru berharap-harap cemas karena tunjangan mereka tak kunjung cair. Bahkan ada guru-guru yang mendapatkan cairan tunjangan setelah menunggu satu tahun atau lebih. Selain itu, demi mengurus tunjangan yang tak kunjung cair, banyak guru-guru yang bolak-balik ke dinas pendidikan ataupun kemenag, sehingga mengganggu aktivitas belajar mengajar. 

Memang makhuk yang bernama uang tersebut mampu menggetarkan setiap sendi kehidupan. dalam puisi gus mus dikatakan bahwa uang bisa mengatur hal yang tak terartur, bisa mengganjal dan melicinkan bahkan bisa menguasai penguasa. Sehingga jika tunjangan para guru tidak cair, akan sangat mengancam kehidupan mereka. Walaupun seperti itu, akan ada yang banyak mengatakan, "dulu sebelum sertifikasi nasib guru ya baik-baik saja." Eits, mereka mungkin belum pernah terjun langsung ke lapangan. Bagaimana perjuangan guru untuk menghidupi keluarga dengan cara mengambil kerja sambilan. Dan sekarang, ketika ada tunjangan sertifikasi, sialnya beberapa sekolah tidak memahami perbedaan antara gaji dan tunjangan. Beberapa sekolah menganggap, tunjangan sama dengan gaji, jadi mereka tidak menggaji guru karena sudah digaji oleh pemerintah. 

Dalam hal ini, guru menjadi serba salah. Sebagai seorang guru, tidak sepantasnya menuntut gaji. Karena saya sendiri percaya, bahwa pendidikan tidak hanya pada taraf ilmu pengetahuan saja, tetapi juga spiritual. Jiwa keikhlasan yang dimiliki oleh guru, kasih sayangnya kepada murid-muridnya serta kesungguhan guru dalam mengabdikan hidupnya untuk bangsa akan sangat berpengaruh bagi keberhasilan murid. Walaupun toh mungkin metode mengajarnya ketinggalan zaman tetapi jika energi spiritual guru yang kuat, sangat mampu untuk mempengaruhi masa depan murid. Hanya saja, lebih tidak pantas dari pihak sekolah, yayasan dan juga pemerintah untuk tidak memenuhi kebutuhan guru.

Bandingkan dengan penghasilan penjaga toilet. Ibu saya adalah seorang pedagang di salah satu pasar besar di kabupaten kelahiran saya. Di pasar tersebut ada dua toilet, satu di lantai bawah dan satu lagi di lantai atas. Dalam satu pasar tersebut ada banyak sekali pedagang, pembeli, pegawai pasar dan juga kuli angkut para pedagang besar. ketika para pedagang kecil mengeluhkan pasar yang dikuasai oleh pedagang besar dan mengeluhkan pembeli yang lebih sedikit  jumlahnya dari pedagang, tidak demikian halnya dengan penjaga toilet. Entah pedagang besar, kecil, pembeli atau siapapun yang yang lebih banyak, mereka semua tetaplah konsumen bagi si penjaga toilet.

Katakanlah keseluruhan manusia dalam satu pasar tersebut mencapai sepuluh ribu orang. Diantara sepuluh ribu tersebut, rata-rata ada 5% orang perhari yang datang untuk sekedar menunaikan hajat atau mandi. Jika sekali masuk tarifnya adalah Rp. 1000,- maka dalam sehari bisa mendapatkan uang Rp. 500.000,-. Bahkan kebanyakan penjaga toilet akan memasang tari Rp. 2000,- untuk mandi. Itu hanya hitungan dalam sehari. Bandingkan dengan gaji guru yang berkisar antara 150 sampai 500an ribu perbulan. Oleh karena itu, mbok ya jadi penjaga toilet saja. Atau, menjadi tukang semprit pinggir jalanyang juga menjanjikan itu.


0

Rabu, 13 April 2016


Saat kholifah Umar ibn Khattab menjadi kholifah kedua menggantikan sayyiduna Abu Bakar as-siddiq, kekuasan islam terbentang luas sampai wilayah Mesir. kala itu wilayah mesir dipimpin oleh gubernur 'Amr bin Ash RA. Kala itu ada seorang yahudi tua dan miskin memiliki rumah hanya berupa gubuk reot yang tak layak huni serta mengganggu pandangan yang berada di samping istana gubernur. Banyak orang-orang dekat gubernur 'Amr bin Ash menyarankan untuk menggusur gubuk tersebut. Gayungpun bersambut, 'Amr bin Ash mengabulkan niat para elite politik tersebut. Dengan dalih membangun masjid di dekat istana, sang Gubernur memanggil si yahudi tua. Niat disampaikan, peringatan diberikan, ganti rugi disodorkan. Yahudi menolak, lantas berangkat ke ibukota pemerintahan di Madinah untuk menuntut keadilan kepada sang kholifah, Umar bin khattab. Jika zaman sekarang ada orang-orang menuntut keadilan yang berjalan kaki dari rumahnya ke Jakarta, mungkin terinspirasi dari si yahudi tua ini. yang melakukan perjalan dari Mesir ke Madinah.

Dia membayangkan, akan memasuki istana besar yang mewah. karena istana gubernur saja semewah itu, apalagi istana khalifah. Ternyata apa yang dia dapatkan? Hanya rumah sederhana layaknya rumah penduduk biasa. Dia menemui sang kholifah yang sedang tidur di bawah pohon kurma, tanpa ada pengawal kekholifahan layaknya presiden masa kini. Tampaknya sayyiduna Umar bin Khattab tidak takut kalau-kalau ada sniper yang mengancam atau begal yang tiba-tiba merampoknya. Di bawah pohon kurma itu si yahudi tua mencurahkan isi hatinya, mengadukan permasalahannya dan menuntut keadilan kepada kholifah Umar bin Khattab. Lagi-lagi tanpa disangkanya, Umar bin khattab sambil marah-marah mengambil tulang didekatnya, lalu menghunuskan pedangnya. Dia gores tulang tersebut dengan pedangnya dengan goresan yang lurus selurus jembatan Shirathal mustaqim. Dia berikan ke pak tua yahudi dan menyuruhnya untuk memberikan tulang tersebut ke gubernur 'Amr bin Ash.

Dengan perasaan antara galau, gundah dan kebingungan tidak tahu maksud sang kholifah, si yahudi tua ikut saja perintahnya. Setelah melalui jarak yang sangat jauh, dia menyerahkan tulang dari kholifah kepada gubernur 'Amr bin Ash. Tak disangka, sang Gubernur langsung bercucuran keringat dingin dan gemetar. Tak lama setelah itu 'Amr bin ash memerintahkan kepada prajuritnya untuk membatalkan pembangunan masjid dan membongkar pondasi dan tembok yang sudah terlanjur dibangun. Tambah bingunglah si yahudi tua itu. Dia tidak paham apa maksud kholifah memberikan tulang yang telah digores oleh pedangnya tersebut dan apa yang sebenarnya terjadi hingga membatalkan niat gubernur membangun masjid. 

Dia bertanya kepada 'Amr bin Ash tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sang Gubernur menjelaskan bahwa Tulang ini merupakan peringatan keras terhadap dirinya dan tulang ini merupakan ancaman dari Khalifah Umar bin Khattab. Artinya, apa pun pangkat dan kekuasaannya suatu saat dia akan bernasib sama seperti tulang ini, karena itu bertindak adillah seperti huruf alif yang lurus. Adil di atas dan adil di bawah. Sebab kalau tidak bertindak adil dan lurus seperti goresan tulang ini, maka Khalifah tidak segan-segan untuk memenggal kepalanya. Barulah si yahudi tua memahaminya. Dia kagum atas keadilan yang diberikan dan kagum atas ajaran agama islam. Lantas dia bersaksi dan mengucapkan kalimat syahadat. Dia ikhlaskan tanah tersebut untuk pembangunan masjid yang sampai sekarang masjid tersebut masih berdiri kokoh, dikenal dengan masjid 'Amr bin Ash.

Itu adalah kisah ratusan tahun yang lalu. Tetapi kini, acapkali pembangunan tidak pernah memihak kepada rakyat. Akhir-akhir ini, gubernur ibukota Indonesia, gencar melakukan reklamasi ataupun relokasi. Banyak rakyat kecil yang menolak. Tetapi, persis seperti dalam tulisannya cak nun, bahwa pembangunan senantiasa harus disertai oleh sejumlah orang yang "ngalah", misalnya harus merelakan tempat tinggal mereka digusur untuk pendirian bangunan ruang terbuka hijau, real estate, hotel sampai tempat pariwisata. Ganti rugi yang mereka terimapun sering tidak sepadan karena ditentukan secara sepihak oleh penguasa. Husnudzon saja, mungkin gubernur itu memang benar-benar berniat demi kebaikan wilayah yang dipimpinnya. Hanya saja, mbok yao caranya yang lebih manusiawi. 

Dalam tulisan cak nun beliau juga  menceritakan ketika sedang nyantri di Pondok Gontor. Kebetulan saya sendiri lahir dan besar di desa tidak jauh dari Pondok Gontor, sekitar 3 KM. Ketika pak yai bermaksud melebarkan wilayah pondok, beliau melakukan pendekatan kepada penduduk. Tidak hanya menyediakan ganti rugi, tetapi juga menyediakan bonus dan ganti rugi yang berlipat. Tetapi toh penduduk tidak mau beranjak sejengkal pun. Akhirnya, pak yai mengerahan ribuan santri bukan untuk merobohkan bangunan penduduk. Tetapi justru untuk bermunajat kepada Allah dan mengirim fatihah setiap selesai sholat fardlu agar dibukakan hati penduduk. Setelah beberapa bulan, Allah membukakan hati penduduk tersebut dan penduduk tersebut merelakan kerja samanya demi pembangunan jangka panjang.

Ada juga cerita lain yang juga tentang Pondok gontor. Kali ini dari teman saya yang alumni pondok tersebut dan juga pernah mengabdikan dirinya sebagai ustadz selama beberapa tahun. Ketika pak yai juga bermaksud meluaskan wilayah karena sudah tidak cukup lagi untuk menampung kebutuhan pondok. Kebetulan ada lahan kosong disebelah pondok milik penduduk. Beliau melakukan pendekatan kepada penduduk dengan cara yang sama. Tetapi lagi-lagi salah seorang penduduk tersebut tidak merelakan tanahnya. Akhirnya, pak yai tahu bahwa penduduk tersebut memliki anak gadis. Startegi berjalan, dan beliau merencanakan untuk menjodohkannya dengan salah seorang santrinya. Gayungpun bersambut, si gadis memendam rasa kepada salah seorang santri gontor. Perjodohanpun berjalan dengan mulus dan tanahpun diwakafkan ke pondok.
0

Senin, 04 April 2016



Suatu hari seorang bos percetakan yang tak tahu menahu sama sekali tentang design grafis memarahi designernnya, "kamu membuat ini gimana sih, warna tidak pernah benar, gambar ini tidak perlu, sudah sering mendesign kok masih tetap salah?." Ketika itu si designer disuruh membuat banner  peringatan yang dipesan oleh sebuah lembaga pendidikan. Dia membuat sesuai dengan instingnya sebagai designer. Bagaimana pemilihan warna, jenis font, dan elemen-elemen lain yang membuat banner tersebut pantas sebagai banner peringatan. Dengan perkataan si bos tersebut, apakah benar si designer membuat suatu hal yang salah? Apakah dia melakukan sebuah kesalahan yang fatal sehingga membuat perusahaan gulung tikar? Apakah juga akan menyebabkan customer mempermasalahkannya?.

Di tempat lain, ada seorang guru mengajar di sebuah sekolah dasar. Pada hari itu pelajaran melukis. Si guru menyuruh murid-murid melukis buah-buahan. Dia menyuruh melukis sesuai imajinansi masing-masing. Tiba-tiba kepala sekolah datang untuk melihat kinerja guru tersebut. Kepala sekolah memberi peringatan kepada guru, "bukan seperti ini caranya mengajar murid-murid. Mereka tidak boleh melukis seenaknya sendiri. Harus kamu arahkan, harus kamu beri peraturan yang tegas biar mereka terbiasa disiplin." Sekilas apa yang dikatakan kepala sekolah memang benar. Tapi apakah yang dilakukan guru tersebut tidak bisa dibenarkan? Padahal dia lebih tahu apa yang dibutuhkan murid.

Jika kita tarik lebih keatas, seorang anggota DPR memiliki sebuah pendapat dan berpegang teguh pada pendapatnya. Dia menyatakan yang tidak sesuai dengan pendapatnya itu salah. Seorang pemimpin menyukai sesuatu dan menyatakan hal-hal yang tidak disukainya tersebut adalah kesalahan. Dia memberi arahan dengan apa yang disukainya. Apalagi jika seorang anak buahnya tidak sesuai dengan arahannya, marah besarlah pemimpin tersebut. Sekelompok orang menyatakan apa yang dikerjakannya adalah hal yang benar, jika kelompok lain tidak sama dengan mereka, mereka menganggap kelompok yang berseberangan tersebut salah.

Banyak contoh yang lain lagi. Seperti dalam sebuah pertemanan ketika merencanakan suatu kegiatan. Salah seorang teman datang pada suatu acara tersebut dengan menggunakan pakaian yang tidak biasa. Lantas teman yang lain membodoh-bodohkannya hanya karena memakai pakaian yang tidak lazim. Lantas kebenaran itu milik siapa?

Apakah milik bos, kepala sekolah, anggota DPR, atau seorang pemimpin? Ataukah kebenaran milik sekelompok orang, atau milik pendapat umum?

Tetapi dalam kehidupan sehari-hari, terkadang atau bahkan sering kita membenarkan apa yang kita lakukan dan menyalahkan apa yang dilakukan orang lain yang berbeda dengan kita. Kita juga menilai orang lain menurut standar penilaian kita sendiri. Apakah kebenaran tersebut
0

Hari itu hari yang istimewa. Seorang sahabat istimewa datang menyambangi tempat pengabdian di Banyuwangi. Namanya Zarrina, sahabat sekaligus bulek jika dilihat dari hubungan keluarga. Dia teman satu kelas semasa SMA di salah satu ponpes ternama di Ponorogo. Entah ada angin apa sehingga mendaratkannya di bumi blambangan. Dia bersama dua orang teman sekampusnya meminta untuk diajak keliling Banyuwangi. Setelah saya berikan pilihan destinasi-destinasi andalan kota gandrung ini, mereka memilih untuk ke pantai saja. Saya bawa mereka ke Teluk Hijau atau yang lebih populer dengan sebutan Green Bay.

Teluk Hijau


Teluk Hijau berada di ujung pojok selatan Kabupaten Banyuwangi, tepatnya di kecamatan Pesanggaran desa Sarongan. Untuk sampai kesana membutuhkan kurang lebih 2-3 jam perjalanan dari Banyuwangi kota. Selain jarak yang jauh, akses yang masih alami (jika tidak ingin dikatan jalan yang masih hancur) ketika akan memasuki desa Sarongan yang membuat perjalanan terasa kian lama. Tetapi akhir-akhir ini sudah lumayan bagus karena dilakukan pengaspalan jalan yang lumayan panjang. Dulu, ketika saya pertama kali kesana, harus benar-benar bersabar melewati jalur yang masih alami tersebut.

Desa Sarongan sendiri menyimpan berbagai pantai yang elok dan menawan yang dapat memanjakan mata. Seperti, teluk hijau sendiri, pantai rajegwesi, pantai pandan sari, pantai sukamade yang terkenal dengan penyunya dan pantai-pantai lain di pesisir Taman Nasional Meru Betiri. Untuk mencapai Desa Sarongan bisa menggunakan bus jurusan Sarongan. Jika dari Surabaya bisa menggunakan bus jurusan Banyuwangi lalu berhenti di terminal Jajag. Dari terminal Jajag bisa naik bus Damri jurusan sarongan. Biasanya berangkat dari terminal jajag jam 9 atau jam 10 dan jam 1 siang.

Sedangkan saya dan kawan-kawan, berangkat dari pondok cukup menggunakan sepeda motor dan memakan waktu 1 jam. Kali ini saya berangkat bersama 6 orang teman. Sebelum memasuki Desa Sarongan kami disuguhi pemandangan perkebunan yang sejuk. Perkebunan sungai lembu namanya. Di pinggir-pinggir jalan ditanami bunga-bunga sehingga menambah indah pemandangan. Setiap saya melewati perkebunan ini, tak ingin rasanya segera bergegas dan mencampakkan keindahan ini. Jika melewati perkebunan ini pelan-pelan, maka kita akan merasakan keindahan dan kesejukan menerpa wajah bersama angin sepoi yang lewat.
Pemandangan Desa sarongan

Tetapi jangan terlalu berharap banyak terlebih dahulu, daripada sakit hati karena harapan palsu. Tak lama setelah perjalanan indah tersebut perjalanan terjal untuk menguji kesabaran baru dimulai. Sebenarnya, jalan ini adalah jalan yang cukup lebar, bahkan jalan ini adalah jalur bus Damri yang menuju Sarongan. Tetapi bebatuan yang menonjol ditambah beberapa aspal yang masih tersisa bebatuannya saja membuat jalan ini sangat cocok untuk para crosser. Jika pada musim hujan, jalan ini tidak akan terlalu licin karena bebatuan yang ada, hanya saja ada beberapa genangan air yang tidak banyak. Jika tidak menginginkan tulang-tulang rontok, lebih baik kecepatan kendaran tidak lebih dari 20 km per jam.


Perjalanan seperti ini sampai pada tempat parkir wisata Teluk Hijau. Tetapi sekarang sudah ada sebagian jalan yang di aspal ketika memasuki Desa Sarongan. Setelah memarkirkan sepeda, kami melanjutkan perjalanan ke pantai dengan jalan kaki. Perjalanan tidak terlalu jauh, hanya kurang lebih 3 KM. Ditambah keadaan sekeliling masih asri, menambah sejuk pemandangan. Jalan yang dilalui adalah jalan setapak. Memang jalannya naik turun, dan ketika musim penghujan sangat licin, jadi disarankan untuk berhati-hati. Melihat keadaan tersebut, masyarakat menyediakan tambang untuk pegangan ketika menuruni bukit. Yang pasti, banyak orang mengeluh melalui jalan ini. Tetapi bagi saya, justru inilah tantangannya. Sebuah perjalanan tak akan berkesan jika hanya melalui aspal halus nan landai dan ketika turun kendaraan langsung sampai ke tempat tujuan. Karena tempat tujuan akan jauh lebih indah jika dilalui dengan perjuangan.

Ketika telah sampai bawah, kita akan disambut pantai dengan hamparan batu yang sangat banyak. maka dari itu pantai ini dinamakan pantai batu. Entah bagaimana bisa ada batu-batu yang sangat banyak sekali di pantai ini. Konon, batu-batu ini mulai ada ketika pantai selatan Banyuwangi di landa tsunami pada zaman orde baru. Kita bisa istirahat sejenak di pantai ini untuk sekedar berfoto dan mengambil nafas terlebih dahulu. Bagi kami, momen seperti ini jelas tidak akan luput dari bidikan kamera. Disebelah ujung pantai batu juga disediakan ayunan yang biasa dipakai para wisatawan untuk bermain-main. Juga ada bukit kecil yang menjulang disana. Di balik bukit inilah terdapat pantai eksotis yang disembunyikan Banyuwangi tersebut.

Pantai Batu


Pantai Batu


Ayunan
Kita tidak akan mendaki bukit lagi. Cukup berjalan melewati samping bukit beberapa meter dan here we go....

WELCOME TO TELUK HIJAU

Pantai teluk hijau dengan hamparan pasir putih halusnya, laut berwarna kehijau-hijauannya dan segala pesona yang menarik wisatawan dari banyuwangi maupun luar Banyuwangi. Teluk hijau tidak hanya pantai saja. Di sebelah ujung, terdapat air terjun ketika musim penghujan. Air terjun tersebut hanya mengalir ketika musim penghujan tiba. Jika beruntung, kita akan mendapati air yang mengguyur deras. Kami sendiri kemarin tidak mendapatinya. Pertama kali saya kesini, bersama dengan tiga teman yang lain. Sampai di pantai ini kami merasa benar-benar memiliki pantai ini sendiri. pada saat itu tahun 2013. Bagaimana tidak, hanya kami berempat saja yang berada disini.  Dan dua tahun sesudahnya, pantai ini sudah sangat ramai wisatawan. Surga yang sudah tak lagi perawan.



Sekarang, sudah disediakan musholla di dekat pantai. Ada juga tempat untuk menaruh barang-barang. Hanya saja, tempat sampah yang tersedia, sepertinya belum mencukupi. Karena wisatawan semakin hari semakin bertambah banyak. Jika wisatawan tidak menjaga keeksotisan teluk hijau, bisa jadi pantai ini akan rusak oleh ulah jahil tangan manusia.

memang teluk hijau benar-benar pantai yang wah. Benar-benar memanjakan mata. Selain Pasir putih dan air laut yang hijau kebiru-biruan serta air terjun di ujung pantai, di sebelah timur juga ada bukit batu karang yang terpisahkan oleh air laut. entah bagaimana menggambarkannya. monggo dilihat saja foto-foto dari beberapa kesempatan saya datang kesana atau datangi langsung saja tempatnya.

 








0

Sing Nulis

authorMahmud Rofi'i. I'm no body.
Learn More ?