Sabtu, 08 Oktober 2016

Datang akan pergi
Lewat kan berlalu
Ada kan tiada
Bertemu akan berpisah

Awal kan berakhir
Terbit kan tenggelam
Pasang akan surut
Bertemu akan berpisah

Hei, sampai jumpa di lain hari
Untuk kita bertemu lagi
Ku relakan dirimu pergi

Meskipun ku tak siap untuk merindu
Ku tak siap tanpa dirimu
Ku harap terbaik untukmu

Lagu sampai jumpa milik Endank Soekamti berkali-kali saya ulang-ulang. Tak terasa 139 hari jatah di Thailand hanya tinggal beberapa hari saja. 4 bulan yang lalu, teringat bagaimana harus beradaptasi menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Teringat juga perjalanan ke Phatthalung setelah berpisah dengan teman-teman. Saat itu saya merasa tidak siap untuk sendirian berada di negeri orang. Minggu-minggu awal yang berat, hingga masalah utama tidak paham bahasa Thailand sama sekali, benar-benar membuat saya harus menguat-nguatkan diri. 

Tetapi, lambat laun , hari-hari yang berat berubah menjadi hari-hari yang indah. Bisa mengenal orang-orang yang sama sekali baru, sedikit demi sedikit belajar bahasa mereka, kebiasaan mereka hingga kebudayaan mereka. Lambat laun mulai mengerti dan memahami hingga membuka mata saya sebagai warga ASEAN.

Tentunya, dalam kehidupan tidak selalu melewati jalanan aspal mulus rata nyaris tanpa cobaan. Juga tidak selalu menanjak naik ke atas tetapi sambil menikmakti pemandangan pegunungan yang indah. Tetapi dalam perjalanan kehidupan, selalu dinamis. Kadangkala melewati aspal mulus, kadangkala jalanan pedesaan, kadangkala pula jalalanan pegunungan yang ekstrim naik turun penuh bebatuan, atau malah jalanan berlumpur sedalam lutut. 

Tetapi diantara perjalanan itu, yang diumpamakan sebagai jalan mulus belum tentu selalu indah. Bisa saja membosankan karena panasnya jalan raya dan padatnya kendaraan. Memang seperti itulah kehidupan. Dan setiap perjalanan itu, -selama perjalanan tersebutasih di dunia- pastilah ada akhirnya.

Begitu juga di sini. Tidak selalu mengalami hal-hal indah dan juga tidak selalu mengalami hal-hal buruk. Memang kehidupan sangat hobi mempermainkan manusia. Kadangkala manusia diterbangkan setinggi-tingginya, sedetik kemudian dihempaskan hingga perut bumi. Kadangkala ingin di sini terus menerus, kadangkala pula ingin pulang saat itu juga. Dan hal-hal yang membuat merasa ingin pulang, terkadang hanyalah hal-hal sepele. 

Katakanlah seperti murid-murid yang terkadang mengabaikan saya letika diajar, ketika barang-barang sepele yang tiba-tiba hilang tak berbekas hingga ketika laptop rusak yang tidak kunjung diperbaiki oleh tukang servis. Atau ketika teringat tempe goreng saat akan sarapan pagi yang menunya selalu telur yang membuat kulit sangat gatal karena tidak tawar, hingga ketika jatuh sakit di negeri rantau. Ketika hal-hal sepele tersebut terjadi, selalu terbersit dalam hati, “jika saya di Indonesia, bla bla bla,” akhirnya ingin pulang saat itu juga.

Tetapi lebih banyak lagi hal indah yang tak terlupakan. Contoh kecil diantara yang banyak tersebut seperti saat berpetualang dan berbagi cerita dengan teman-teman, saat disambut dengan baik oleh keluarga-keluarga yang oernah saya datangi, saat bercanda bersama murid-murid, Orang-orang yang dulunya tidak saya kenal sama sekali menjadi orang yang dekat dengan saya dan lain sebagainya. 

Dan suatu hari saya diingatkan sesuatu, “bang, saya tidak mengijinkan kamu pulang ke Indonesia,” kata salah seorang murid. Tak lama setelah itu, banyak murid lain mengatakan hal serupa. 

Ada satu hal yang saya sadari, saya harus pulang ke Indonesia beberapa hari lagi. Ketika sudah merasa nyaman, kami harus berpisah. Mengingat segala hal yang pernah terjadi, baik itu yang indah maupun yang tidak indah, lalu tiba-tiba harus pulang, rasanya . . . . 





Biasa saja.



0

Kamis, 08 September 2016




Seperti yang sudah kita ketahui bersama, tahun 2016 adalah tahun kebijakan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) diberlakukan. Banyak yang meragukan kesiapan Indonesia dalam mengahdapi kebijakan tersebut. Walaupun sebenarnya, saya pribadi sangat yakin bahwa Indonesia sangat siap menghadapinya. Tentu keyakinan saya tersebut sangat subyektif. Karena keyakinan saya tersebut bersasar dari pengalaman pribadi. Salah satu pengalaman tersebut, ketika saya berada di Thailand ini.

Dari 91 peserta KKN-PPL internasional di Thailand Selatan ini, banyak teman-teman yang mengeluhkan bahwa pendidikan di Indonesia jauh lebib baik daripada pendidikan di Thailand daerah selatan ini. Saya sendiri juga merasakan hal serupa. Entah apakah karena KKN-PPL kami berada di daerah pinggiran, berbatasan dengan Malaysia. Sehingga kami merasakan hal seperti ini. Ataukah sama saja dengan pendidikan di Thailand daerah tengaj dan utara, saya tidak tahu.

Tetapi ada satu hal yang sebenarnya mengganjal. Yaitu tentang kesadaran warga Indonesia. Seperti yang dituliskan Indy Hardono dalam artikelnya di Kompas, kita sebagai warga ASEAN seperti tidak merasakan bahwa kita adalah warga ASEAN. Dan saya sendiri, mulai sedikit merasakan sebagai warga ASEAN ketika berada di Thailand. Sebabnya sepele. Diantaranya, banyak sekolah-sekolah dan juga kantor-kantor pemerintahan di pasangi bendera ASEAN dan 10 bendera negara anggota ASEAN. Juga di buku-buku tulis. Dibalik sampul dicantumkan mara uang negara-negara ASEAN beserta konversinya dalam mata uang baht.

Sebelumnya,, saya pribadi merasakan, ttangga kita seperti Singapore,, Malaysia, Brunei, Thailand dan Filipina lebih asing daripada Arab, Mesir, Yaman bahkan Amerika dan Eropa. Apalagi tetangga yang lebih jauh seperti Myanmar, Laos, Vietnam dan Kamboja. Ora kenal blas. Mungkin Malaysia masih tidak terlalu asing. Tetapi karena alasan persaingan, gengsi dan statemen-statemen bung Karno tentang Malysia, menjadikan saya merasa asing dengan Malaysia. Bayangkan saja jika ada orang Vietnam tinba-tiba datang ke suatu sekolah di Banyuwangi lalu mengajar disana. Pastilah dikira turis nyasar.

Tetapi hal tersebut tidak saya rasakan di sini. Saya tidak merasakan sebagai turis asing. Saya merasaakan warga Thailand sadar bahwa mereka jugalah warga ASEAN. Sebagai contoh kecil, anak-anak Thailand, yang walaupun berada di Thailand daerah pinggiran, yang notabene pendidikannya dikeluhkan oleh teman-teman, mereka hafal di luar kepala bendera negara-negara ASEAN. Memang hal tersebut tidak bisa atau belum cukup untuk dijadikan tolak ukur . Tetapi saya yakin, banyak dari pelajar Indonesia yang bahkan tidak bisa membedakan antara bendera Myanmar dan bendera Laos.

Contoh kecil lain, ketika saya bercengkerama dengan pelajar-pelajar di sini. Pelajar yang masih kecil-kecil itu, sering kali bertanya tentang Indonesia. Ini di Indonesia ada atau tidak,, itu di Indonesia ada atau tidak, ini namanya apa jika di Indonesia. Sebenarnya pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang wajar. Tetapi tiba-tiba di suatu kesempata mereka minta diajari lagu Indonesia Raya. Bukan itu saja. Saat saya sedang sibuk dengan telepon pintar saya, mereka meminta untuk diputarkan lagu-lagu kebangsaan negara-negara ASEAN via youtube. Awalnya Indonesia, lalu menjalar ke lagu kebangsaan Malaysia, berturut-turut pula minta dimainkan lagu kebangsaan Myanmar, Laos, Vietnam, Kamboja, Filipina, Singapura dan Brunei. Mereka tidak meminta diputarkan lagu kebangsaan negara-negara selain ASEAN . Walaupun itu adalah negara maju ataupun negara yang terkenal dengam sepakbolanya.

Beberapa contoh kecil tersebut, bukankah sudah bisa membuktikan bahwa warga Thailand sadar bahwa mereka adalah warga ASEAN. Dan hal tersebut juga membuat saya sadar sebagai warga ASEAN. Jika ada pertanyaan, kenapa kita harus sadar? Jawabnya mudah saja, bagaimana kita bisa bermain bola jika kita sedang tidur?.


0

Sabtu, 03 September 2016



Seperti yang pernah saya ceritakan, banyak pelajar Thailand selatan yang ingin belajar di Indonesia. Dan juga banyak yang sudah berada di Indonesia. Konsulat Indonesia di Songkhla mencatat, rata-rata mereka mengeluarkan 1200 visa pelajar Thailand. Salah satunya, termasuk anak baboh. Hari itu baboh pulang dari Indonesia setelah mengikuti rombongan badan alumni yang mengantarkan oara pelajar Thailand ke tempat mereka studi. Tentunya ada banyak cerita yang baboh bawa untuk diceritakan ke murid-murid dan guru-guru tentang kesan beliau selama seminggu berada di Indonesia. Mulai dari cerita sekolah-sekolah yang dikunjungi, jalanan yang ramai (jauh lebih ramai dari Thailand, katanya), populasi yaang sangat banyak san tentunya, makanan khas.

Selain pulang membawa cerita, tentunya tak elok jika tidak membawa oleh-oleh. Seminggu ke luar negeri pulang tak membawa oleh-oleh, tentunya akan membuat semua orang memandang kita layaknya koruptor yang telah mencuri harta rakyat jelata. Pantas untuk dihukum seberat-beratnya. Sepertinya baboh tak ingin haal itu terjadi pada diri beliau.

Sehari setelah pulang dari Indonesia, baboh mengumpulkan semua guru untuk membahas hal-hal yang tidak saya pahami, blas. Mereka semua berbicara dengan bahasa Thailand yang sangat cepat sekali. Sedikitpun saya tidak tahu mereka berbicara apa. Rasanya seperti nomton film Thailand tanpa subtitle. Cuman bedanya, saya tidak berada di depan lapto (maklum pecinta film gratisan), tetapi langsung berada di tempat shoting, live.

Saya kira, setelah acara tersebut selesai, baboh mengeluarkan amplop untuk dibagi ke guru-guru, termasuk saya. Maklum saya belum pernah mendapat uang saku sejak pertama kali menginjakkan kaki ke Thailand. Berbeda dengan teman-teman, lancar jaya. Ternyata bukan, baboh tidak mengeluarkan amplop, tetapi bingkisan. Sedikit kata yang saya pahami, “bingkisan dari Indonesia” katanya. “Mahmud tidak dapat”, sahut makcik istri baboh sambil tertawa. Saya hanya tersenyum menanggapinya. Lalu baboh mengeluarkan bingkisan satu persatu. Dan, jeng jeng jeng, baju batik sekitar 40-60 ribuan.

Yang tidak saya sangka, ekspresi dari guru-guru. Guru-guru yang kebanyakan perempuan itu, dan diantara perempuan  tersebut, mayoritas emak-emak, menunjukkan ekspresi yang sangat menghebohkan. Ekspresi mereka seperti cewek-cewek bertemu dengan artis korea pujaan hati ataupun cewek-cewek yang bertemu dengan boy band idaman mereka. Histeris tak terkendali. Dalam batin saya, “howalah, kalau hanya seperti itu di pasar ya mumbruk.” Sedangkan yang bapak-bapak hanya senyum-senyum saja. Entah pengen histeris tapi malu atau senyum karena bingung mengekspresikan kebahagiannya. Yang jelas, semua suka dengan batik, produk asli Indonesia.

Dari yang saya ketahui, banyak produk-produk made in Indonesia yang digemari di sini. Seperti cerita teman-teman yang dipuji ketika mengenakan produk-produk Indonesia mulai dari songlok di atas kepala hingga sepatu di bawah kaki. Juga yang perempuan. Menurut cerita kakak angkatan saya, dia diminta mengirimkan kerudung-kerudung dari Indonesia. Mereka suka, katanya. Bahkan ketika saya mengenakan jas almamater, jasket BEM ataupun jaket made in Indonesia, semua memujinya. Dan dengan sedikit berharap, diberikan kepada mereka. Ini yang nggak enak.

Yang pernah saya ceritakan juga, Iqro’ dan kitab-kitab karya ulama’ Indonesia yang diajarkan di sini. Dan produk yang paling banyak dipakai dari Indonesia adalah sarung. Pakaian tradisional muslim nusantara yang tak lapuk oleh zaman ini, sangat banyak beredar disini. Bahkan banyak sekolajan, yang gurunya selalu mengenakan sarung setiap mengajar. Mungkin berawal dari pertalian sejarah yang sangat kuat dengan tradisi keislaman di Indonesia sejak kesultanan islam Pattani belum dikuasai oleh Siam. Dan tradisi tersebut masih terus hidup hingga sekarang. Banyak sekali produk-produk made in Indonesia yang beredar. Bahkan yang di Indonesia tidak populerpun di sini ada. Seperti sarung merk “beer ali” dan juga merk “robot”. Dua merk ini saya pribadi belum pernah melihat dan mendengar kiprahnya di Indonesia, khususnya di daerah saya sendiri, jawa timur. Entah jika di daerah lain. “sarung merk apa ini”, Saya cuma membatin.

Yang populer di sini dan juga populer di Indonesia diantaranya adalah sarung samarinda. Sarung yang sangat khas yang tidak usah melihat merknya saja sudah bisa dipastikan bahwa sarung tersebut adalah sarung samarinda. Adalagi sarung legendaris yang pernah sangat populer di Indonesia dan masih populer disini, yaitu sarung gajah duduk.

Orang Thailand aja sukabsarung Indonesia, masa kita tidak?



0

Kamis, 01 September 2016


Pintu masuk Thailand-Malaysia


Selang beberapa hari, saya harus mengurus visa di Malaysia. Karena keberangkatan sudah diatur badan alumni, jadi tidak ada masalah sama sekali. Berbeda ketika sepulang dari Malaysia. Kami pulang dari perbatasan Thailand-Malaysia menggunakan kereta api. Setelah menempuh perjalanan 5 jam, rombongan Mahasiswa KKN-PPL harus berpisah di stasiun Hatyai. Banyak teman-teman yang langsung dijemput babohnya masing-masing. Tetapi ada juga yang tidak dijemput. Mereka ini golangan tidak beruntung. Dari sedikit mahasiswa yaang masuk golongan tidak beruntung itu, termasuk saya. Dan saya yang paling jauh tempatnya dari stasiun. Apes.

Tetapi kali ini bersama teh Aulya. Jadi ya lebih tenang dan saya yakin bisa pulang dengan lancar. Pada awalnya semua berjalan biasa saja. Waalaupun langit Hat yai yang mendung tidak membuat saya berpikiran macam. Kami mencari kendaraan menuju terminal 2 yang memarkirkan rodtu jurusan kongra. Ketika sedang tengak tengok sana sini, tiba-tiba ada bapak-bapak datang sambil tersenyum entah senyum apa. Apakah senyum serigala yang menemukan mangsa atau senyum tulus seorang manusia seutuhnya saya tidak tahu. Tiba-tiba juga teh Aulya berdiskusi dengan bapak tersebut yang ternyata adalah tukang ojek. Saya masih ragu. Selain ojek itu mahal, juga masih ragu benar-benar dihantarkan ke tempat yang dimaksud atau tidak. Bukan tidak percaya, hanya takut jika dia tidak paham dengan apa yang kami jelaskan. Juga takut kami yang salah tompo.

Dan ternyata apa yang saya takutkan terjadi. Kami dihantarkan ke terminal 1. Tidak ada kendaraan menuju daerah kami di terminal 1 tersebut. Langit Hat yai yang mendung akhirnya menurunkan hujannya juga. Melengkapi nasib kami yang apes. Setelah berdiskusi dengan teh Aulya, kami memutuskan ke jalan raya mencari songteo yang lebih murah untuk pergi ke terminal 2. Saya sedikit khawatir dengan teh Aulya. Disasarkan oleh tukang ojek di negeri orang, ditambah hujan yang mengguyur. Tetapi sepertinya dia orang yang kuat. Tidak memperlihatkan kepanikan ataupun mengeluh membuat saya tidak khawatir dengan keadaan sama sekali. Bagi saya sendiri sih sudah pernah kesasar jadi ya tidak kaget.

Terminal 1 tidak berada di pinggir jalan raya, tetapi agak masuk dikelilingi pertokoan. Kami harus berjalan dua ratus meter untuk menuju jalan raya. Sebenarnya tidak terlalu jauh. Jalan diantara pertokoan khas kota yang tertata rapi sangat pas untuk dijadikan objek foto. Apalagi berjalan berdua dengan cewek cantik, seharusnya menjadi momen yang sangat menyenangkan. Hujan rintik-rintik juga menambah kesan bahwa momen tersebut harusnya menjadi momen indah. Seperti adegan film berdua saja ataupn adegan si cowok memberikan jaketnya kepada sang cewek biar tidak kehujanan. Tetapi sayangnya momen tersebut tidak datang datang pada saat yang tepat. Kami harus mengejar waktu agar tidak ketinggalan van/rodtu. Momen romantis? Ah lupakan saja.

Sampai di pinggir jalan raya, alhamdulilah kami masih melihat songteo berkeliaran mencari penumpang. Ada yang warna merah, hijau, juga biru. Setiap warna memiliki rute tersendiri. Dan kami tidak tahu harus mencegat songteo warna apa. Bahkan kami tidak tahu harus memilih songteo yang berjalan ke arah mana. Yang ke barat, atau yang ke timur. Saya melihat ada abang-abang penjaga toko yang sedang menganggur bermain hp. Saya tanyakan padanya tentang bagaimana caa pergi ke terminal 2. Dia mengarahkan untuk naik songteo yang warna biru.

Akhirnya kami menunggu songteo berwarna biru. Songteo adalah kendaraan umum dengan bak terbuka. Di bak tersebut dipasangi dua kursi memanjang  untuk penumpang. Makanya dinamakan songteo. Kata teman saya, song berarti dua. Sedangkan teo, saya lupa artinya. Mungkin tempat duduk. Terkadang ada tiga tempat duduk. Di atas bak diberi atap terpal untuk melindungi dari panas dan hujan. Jam menunjukkan pukul 15.45. Saya sedikit khawatir jika ketinggalan kendaraan. Baru saja kami rasani, muncul juga songteo dengan warna biru.

“pergi ke terminal dua rodtu Hatyai biru. Songteo adalah kendaraan umum dengan bak terbuka. Di bak tersebut dipasangi dua kursi memanjang  untuk penumpang. Makanya dinamakan songteo. Kata teman saya, song berarti dua. Sedangkan teo, saya lupa artinya. Mungkin tempat duduk. Terkadang ada tiga tempat duduk. Di atas bak diberi atap terpal untuk melindungi dari panas dan hujan. Jam menunjukkan pukul 15.45. Saya sedikit khawatir jika ketinggalan kendaraan. Baru saja kami rasani, muncul juga songteo dengan warna biru.

“pergi ke terminal dua rodtu Hatyai bisa tidak?” tanya saya.

"Bokosor?” dia balik bertanya.

Saya yang tidak paham maksudnya mengulangi pertanyaan saya.

"Owh, iya itu bokosor” kurang lebih dia bilang seperti itu. Mungkin itu sebutan penduduk setempat juga. Walaupun begitu, lagi-lagi saya masih belum bisa yakin 100%, masih trauma.

"Insyaallah benar kok.” Teh Aulya meyakinkan saya ketika sudah naik songteo.

Dan benar apa yang dikatakan teh Aulya. Songteo berhenti tepat di depan terminal 2. Pantas saja tukang ojek tidak mengantarkan ke terminal 2. Jaraknya lumayan jauh. Jam menunjukkan pukul 16.25. Benar-benar tepat waktu. Hampir saja kami ketinggalan kendaraan. Kami penumpang terakhir yang masuk dalam rodtu/van. Akhirnya kami bisa pulang hari itu.




0

Rabu, 31 Agustus 2016

Prince of Sogkhla University


Yang kedua, ketika pulang dari konsulat juga. Kali ini sehabis acara agustusan. Sebagai warga negara yang baik dan cinta tanah air, saya mengikuti acara 17 agustus di konsulat. Pada saat yang sama, sekolah saya menghadiri acara di Prince of Songkhla University, salah satu kampus prestisius di Thailand Selatan. Untuk selanjutnya, saya sebut saja dengan PSU. Kampus tersebut, satu jam perjalanan dari Konsulat. Dan juga sejalur jika akan oulang ke Kongra yang sekitar 3 jam dari Konsulat. Oleh karena itu, saya berniat ke PSU, biar bisa pulang bareng.

Disaat yang sama juga, rombongan kelas 3-6 matayum (SMP-SMA) sedang study tour ke Pracuap. Entah nnama apa itu. Nama kota, provinsi atau nama tempat wisata saya kurang tahu. Bersama mereka juga baboh dan kedua teman pattani saya. Otomatis tidak ada yang menjemput saya jika memakai rodtu. Oleh karena itu, saya berniat ke PSU, biar bisa pulang bareng.  Kali ini, saya ke PSU bersama Dairobi yang dari kendal tersebut. Sekolahnya juga menghadiri acara yang sama. Kami ke PSU memikih menggunakan songteo yang lebih murah.Ternyata si sopir tidak tahu PSU. Waduh lha ini. Setelah menjelaskan dengan bahasa seadanya , pak sopir mengangguk memberi isyarat bahwa dia paham. Walaupun begitu, saya masih ragu.

Kendaraan berjalan lambat mencari penumpang. Satu jam baru sampai hatyai, tempat PSU berada. Tetapi ketika berhenti, saya tidak melihat ada hawa-hawa kampus. Hati saya jadi bertanya-tanya, diturunkan dimana ini. Saya tanyakan kepada sopir, dia bicara sambil memberi isyarat turun disini dan menyuruh memakai ojek yang ada di situ. Wah benarkan, dia tidak menghantarkan saya sampai tempat.

Ternyata penduduk setempat menyebut Prince of Songkhla University dengan sebutan “mo’o”. Dan mungkin saja mereka tidak bisa membaca tulisan inggris “Prince of Songkhla University” yang terpampang didepan kampus. Jadi mereka tidak tahu apa itu Prince of Songkhla University. Setrlah negosiasi yang cukup alot, kami harus mengalah membayar 100 baht dua orang untuk perjalanan 1 KM. Untuk informasi, 1 baht sekitar 375 rupiah. Jadi 100 baht sekitar 37.500 rupiah. Lak yo what fa fuk tenan.

Ketika telah sampai PSU, nasib tak juga kunjung beruntung. Ternyata, area universitas sangat luas ditambah ratusan rombongan sekolah yang mengikuti acara tersebut, membuat saya kesulitan mencari rombongan sekolah saya. Berbeda dengan teman saya, Dairobi. Masuk sedikit,, langsung bertemu rombongan cewek-cewek centil murid-muridnya. Tidak kurang dari satu jam saya berkeliling mencari. Rombongan sekolah saya belum juga ketemu. Ndilalah kersane ngalah, hp saya juga sedang eror. Tidak bisa menghubungi orang lain via apapun. Padahal sudah beli pulsa. Memaketkan internet juga tidak berhasil. Otomatis semua yang berhubungan dengan hp saya baik yang keluar ataupun masuk terputus. Berputar-putar selama satu jam lumayan membuat kaki lunglai. Dalam hati hanya membatin “apakah saya harus pulang sendiri, sedangkan baboh tidak di rumah, tidak akan ada yang menjemput dari jalan raya.”

Tetapi entah bagaimana, tba-tiba secara ajaib ada pesan masuk di messenger. Teman saya yang pergi ke Pracuap bersama baboh dan murid-murid, mengirimi saya pesan lewat messenger. Sayapun mencoba menghubunginya, hasilnya, tidak bisa lagi. Saya restart saya menciba menghubungi lagi, masih tidak bisa. Ok, kalau memang hp yang eror, SIM Cardnya saya pindahkan ke hpnya Dairobi yang SIM cardnya sudah kadaluarsa itu. Dan yup, ternyata SIM Card saya bisa, berarti benar hp yang ror. Saya hubungi lagi dan meminta nomor guru yang pergi ke PSU. Setelah dapat nomornya, tanpa pikir panjang saya hubungi dia. La kok ternyata rombongan sekolah saya sudah pulang. Kok apesmen. Untuk menenangkan fikiran saya yang masih belum tahu pulangnya nanti bagaimana, Dairobi mengajak saya makan siang bersama mutid-muridnya. Tanpa ba bi bu, 5 bungkus nasi di campur jadi satu, tak sampai 10 menit sudah habis dilahap perut lapar, termasuk perut saya. Lalu saya meminta tolong kepada muridnya Dairobi yang bisa bahasa Thailand untuk menghubungi guru tadi. Setelah dihubungi, katanya saya disuruh pergi ke BIG C, salah satu mall besar di hatyai dan bertemu disana, sekalian sholat dluhur.

Cuaca Hatyai siang itu sangat panas. Perjalanan muter-muter satu jam ditambah cuaca yang sangat panas cukup membuat saya lumayan pening. Perjalanan ke mall tersebut harus menggunakan tuk tuk. Kendaraan khas Thailand. Itu informasi yang saya dapat setelah tanya sana sini. Saya meminta Dairobi untuk menemani saya ke mall. Selain masih membutuhkan hpnya untuk menghubungi guru, saya juga masih khawatir belum ketemu mereka. Setelah berunding dengan sopir tuk tuk, saya masih ragu apakah diantarkan ke mall yang dimaksud atau tidak. Karena ada dua mall dengan nama yang sama. Kami harus membayar 150 baht atau sekitar 55.000 rupiah. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. 

Sampai di mall, saya cari-cari belum juga ketemu. Akhirnya saya mengajak Dairobi untuk sholat dluhur terlebih dahulu. Ditunggu saja di musholla, karena katanya akan sholat dluhur di Mall. Sampai detik ini, saya masih khawatir bukan mall ini yang dimaksud. Tetapi kekhawatiran saya tersebut sirna ketika rombongan sekolah saya muncul dari pintu masuk musholla. AlKhirnya saya bisa bertrmu dan pulang dengan mereka dengan sehat selamat sentosa. Cuman, uang saya kok menipiiis. Resiko orang asing.

Selang beberapa hari, saya harus mengurus visa di Malaysia. Karena keberangkatan sudah diatur badan alumni, jadi tidak ada masalah sama sekali. Berbeda ketika sepulang dari Malaysia. Kami pulang dari perbatasan Thailand-Malaysia menggunakan kereta api. Setelah menempuh perjalanan 5 jam, rombongan Mahasiswa KKN-PPL harus berpisah di stasiun Hatyai. Banyak teman-teman yang langsung dijemput babohnya masing-masing. Tetapi ada juga yang tidak dijemput. Mereka ini golangan tidak beruntung. Dari sedikit mahasiswa yaang masuk golongan tidak beruntung itu, termasuk saya. Dan saya yang paling jauh tempatnya dari stasiun. Apes.

Tetapi kali ini bersama teh Aulya.
Bersambung . . .


0


View kota songkhla dari atas bukit
Berada di negeri orang, bukanlah suatu hal yang mudah. Selain tidak ada orang yang kita kenal,ataupun sedikit orang yang kita kenal, juga tempat yang sangat asing bagi kita. Kita sama sekali tidak tahu bagaimana caranya pergi ke suatu tempat. Apalagi jika kita tidak menguasai bahasa yang dipakai di negara tersebut. Siap-siap saja mengalami petualangan yang paling seru seumur hidup. Hal tersebut yang pernah saya alami, setidaknya tiga kali. Entah kalau nanti nambah lagi.

Berada di negeri Thailand, negeri yang bahasanya harus pakai nada itu, seperti China, membuat saya harus belajar keras secara otodidak memahami bahasa penduduk setempat. Karena alasan belum mahir bahasa Thai, sering saya masih takut untuk keluar dari zona nyaman, sekolah penempatan PPL-KKN saya. Tetapi pada suatu hari, mengharuskan saya keluar untuk bepergian jauh.

Bulan kedua berada di Thailand, sudah memasuki idul fitri. Ini artinya, kesempatan berkumpul dengan teman-teman Indonesia. Alasan agenda idul fitri dan rindu teman seindonesia, mengharuskan saya pergi ke Konsulat Republik Indonesia di Songkhla. Sekitar tiga jam perjalanan dari tempat saya. Hal ini sudah pernah saya ceritakan sebelumnya. Tidak ada permasalahan yang berarti ketika pemberangkatan, karena saya bersama teh Aulya, teman Indonesia yang ditempatkan tak jauh dari sekolah penempatan saya. Juga bersama dengan teman mengajar satu sekolahnya teh Aulya yang bisa baahasa melayu dan bahasa Thailand, karena asli orang Narathiwat, provinsi paling selatan Thailand yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Dia juga mengenal daerah-daerah setempat. Dengan bantuannya, kami bisa sampai tujuan dengan sehat, selamat, sentosa dan tanpa aral apapun.

Tetapi hal ini tidak berlaku untuk kepulangan kembali ke zona nyaman. Keadaan mengharuskan saya pulang sendirian. Mendengar kata ‘sendirian’ saja sudah menjadi momok yang menakutkan. “sendirian” itu seperti kata yang menggambarkan keadaan dimana tidak ada seorangpun teman yang menemani apalagi kekasih yang mendampingi. Walaupun begitu, saya sadar saya harus setrong, laki-laki tidak boleh cengeng, -Walaupun sebenarnya terkadang mbrebes mili ketika teringat mbok’e- saya harus tetap maju.

Saya pergi ke terminal untuk mencari kendaraan pulang. “Ada rodtu* ke kongra tidak?” tanya saya ke petugas terminal dengan bahasa Thailand yang masih sangat minim. Dengan sigap dia menjelaskan dengan bahasa Thailand yang tidak bisa saya pahami. Intinya, tidak ada kendaraan. Petugas tersebut tau bahwa saya tidak bisa bahasa Thailand. Akhirnya dia memanggil perempuan yang bisa bahasa melayu. Dia menjelaskan bahwa yang ada adalah rodtu ke Mueang Phatthalung. Sedangkan daerah saya adalah kongra, pinggiran Provinsi Phatthalung. Sangat jauh dari ibukota provinsi, Mueang Phatthalung. Dia juga menjelaskan, bisa ke Kongra, tetapi turun di Pabon. Dari Pabon bisa televon rodtu yang menuji Kongra. Dia juga menjelaskan ke supir bahwa nantinya saya akan diturunkan di Pabon.

Perjalanan yang melelahkan membuat saya mengantuk. Apapun yang terjadi, saya pasrahkan saja. Saya tertidur. Tiba-tiba, saya merasa ada yang menggoyang-goyangkan tubuh saya.  Ternyata supir memberi isyarat bahwa sudah sampai. Celakabya, saya lupa nama tempat ini tadi. Kali ini saya diturunkan di pertigaan yang saya tidak tahu namanya.

Di tempat yang sangat jauh dari tempat yang saya kenal, juga sangat jauh dari orang-orang yang saya kenal. Saya menyadari bahwa saya benar-benar sendirian. Untung saja sebelum pulang saya sudah membeli pulsa untuk menghubungi baboh.  Tetapi tempat tersebut masih sangat jauh dari sekolah. Jadi saya berinisiatif menunggu rodtu saja. 

Setelah saya tunggu-tunggu,rodtu tak juga kunjung datang. Setengah jam berlalu, dan rodtu pun belum nampak sama sekali. Saya mulai gelisah. Akhirnya saya menghubungi baboh. Baboh hanya bisa bahasa Thailand, sangat sulit bagi kami untuk gkomunikasi. Saya kirimkan foto jalan dan tempat umum lain, baboh tak mengenal tempat-tempat tersebut. Perasaan saya tambah nggak enak.


Akhirnya saya cari orang yang bisa saya tanya. “ini dimana?” tanya saya. Sepertinya dia agak bingung, mungkin bahasanya kurang benar, atau logatnya yang membingungkan. Tapi akhirnya dia paham, “Pabon”, katanya. Langsung saya beritahukan ke baboh. Baboh memberi isyarat untuk menunggu kurang lebih satu jam. Wah lumayan lama ini. Jauh juga ternyata, jadi nggak enak sendiri.

Saya tunggu lama, tengok kanan kiri depan belakang dan Akhirnya, “bang!” Safid, anak baboh, memanggil saya. Saya bisa pulang dijemput baboh.

Yang kedua, ketika pulang dari konsulat juga. Kali ini sehabis acara agustusan. Sebagai warga negara yang baik dan cinta tanah air, saya mengikuti upacara 17 agstus di Konsulat. Pada saat yang sama, sekolah saya menghadiri acara di Prince of Songkhla University. Satu jam perjalanan dari konsulat. Dan juga satu jalur jika akan pulang ke Kongra yang sekitar tiga jam perjalanan.

Bersambung . . . .
*rodtu:  kendaraan umum Thailand roda empat sejenis van atau seperti mobil travel jika di Indonesia

0

Kamis, 04 Agustus 2016



“saya besok ingin pergi ke Indonesia,” begitu kata bang adil suatu ketika. Bang adil, seorang pemuda dari Pattani. Menjalankan program semacam pengabdian masyarakat, untuk memenuhi syarat kelulusan dari sekolah tempatnya menuntut ilmu di wilayah Yala, salah satu dari tiga wilayah yang  ingin memerdekakan diri.  Dia berada satu sekolah dengan saya. Dia adalah salah satu dari sekian banyak pelajar Thailand yang ingin meneruskan studinya di Indonesia.

Saat ini, ada ribuan pelajar Thailand, khususnya Thailand selatan yang menempuh pendidikan di Indonesia. Umumnya mereka mendalami ilmu agama. Mereka tersebar di berbagai lembaga pendidikan baik itu pondok pesantren ataupun universitas di Indonesia, khususnya di Jawa. Indonesia adalah salah satu tujuan utama mereka menuntut ilmu, disamping timur tengah.

Rata-rata, pelajar Thailand selatan yang ingin meneruskan studinya di luar negeri, mereka diberi dua pilihan, Indonesia atau timur tengah. Timur tengah sendiri ada berbagai negara, yang populer di sini yaitu Mesir, Arab Saudi dan Yordania. Teman saya, Hadi, pernah bercerita. Ketika dia bertanya kepada salah satu murid di sekolahan tempatnya KKN-PPL tentang kenapa memilih di Indonesia, muridnya menjawab, “Karena ustadz saya pernah berkata, jika ingin mempelajari syari’at islam, belajarlah di timur tengah, jika ingin mempelajari tarbiyah islam, belajarlah ke Indonesia.”

Saya juga pernah bertanya kepada bang Adil, teman saya tersebut, “kenapa tidak memilih di di Timur tengah?” “Karena di Indonesia bahasanya sama, selain itu di Indonesia lebih murah.” Saya mengejarnya dengan pertanyaan yang lain, “kenapa tidak di Malaysia saja, yang lebih dekat?” Dia hanya menjawab dengan singkat, “karena di Indonesia lebih murah.” Alasan yang sama ketika ditanyakan kepada pelajar-pelajar yang lain. Tetapi ada salah satu pelajar yang menjawab dengan berbeda, “karena perempuan Indonesia cantik dan sholehah”.  Wah ini, jawaban yang paling jujur, batin saya. Mungkin dia belum pernah nonto konser dangdut koplo.

Sebenarnya, hal ini tak lepas dari kiprah para pelajar Thailand alumni berbagai lembaga pendidikan di Indonesia. Lewat sepak terjangnya, masyarakat menilai bahwa mereka telah berhasil mengamalkan ilmunya. Selain itu, tak jarang dari mereka yang menjadi pemuka agama, tokoh masyarakat dan juga pendiri sekolah-sekolah besar di daerah Thailand Selatan ini. Lewat mereka, tanpa mereka berkata sedikitpun tentang Indonesia, sudah menggiring opini masyarakat bahwa pendidikan Islam di Indonesia adalah baik.

Selain itu, tentunya, ehm, para pelajar Indonesia yang berada di Thailand. Baik itu yang sudah menjadi guru tetap, yang menjalankan program KKN-PPL ataupun yang memang menempuh studi di sini. Merekalah (baca:kamilah) orang Indonesia yang terjun langsung bersinggungan dengan pelajar-pelajar maupun masyarakat Thailand. Tidak sedikit dari pelajar-pelajar Thailand yang terinspirasi ingin melanjutkan studinya ke Indonesia karena mereka (baca:kami).  Ada yang terinspirasi karena kepandaiannya, skillnya, penguasaan ilmunya, pribadinya yang menyenangkan, mengajarnya yang asik hingga karena ketampanan atau kecantikannya.





 

Ketika baboh* , pergi ke Indonesia, ada semangat tersendiri dari beliau untuk menyekolahkan anak-anaknya di Indonesia. Beliau berada di Indonesia selama satu minggu bersama badan alumni, badan yang beranggotakan orang-orang Thailand selatan alumni berbagai perguruan tinggi di berbagai negara.  Kala itu badan alumni -yang juga memfasilitasi dan mendorong pelajar-pelajar Thailand untuk melanjutkan studi di Indonesia- mengantarkan pelajar-pelajar pilihan untuk melanjutkan studi di Indonesia. Di samping juga kunjungan-kunjungan ke berbagai perguruan tinggi.

Sampai di Thailand, beliau mengatakan bahwa sekolah kita mendapat jatah untuk mengirimkan pelajar ke Indonesia. Sontak para pelajar langsung berbinar matanya. Beliau menceritakan kunjungannya di Indonesia. Sepertinya beliau terkesan pada Universitas Hasyim Asy’ari Jombang. Beliau juga menceritakan  tentang presiden RI ke-empat, Gus dur atau KH Abdurrahman Wahid, cucu dari Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari. Juga perjuangan pesantren Tebuireng ketika masa penjajahan. Beliau berkata langsung akan mengirimkan anak-anaknya kesana. Sedangkan anaknya yang pertama sudah berada di Tulungagung. Sedang menempuh studi di IAIN Tulungagung.

Besoknya, anaknya baboh yang perempuan, yang tinggi, yang cantik, yang sebelumnya saya kira bukan anaknya, yang namanya Kalima, ngomong pada saya, “Bang, besok saya pergi ke Indonesia”. Saya hanya menjawab singkat, “Iyakah, kapan?”. “Pulang ikut kamu, makan di rumah kamu, tidur di rumah kamu.” Wah lha iki.

Di tengah menteri pendidikan yang dibongkar pasang, di tengah degradasi moral yang dialami pendidikan Indonesia, ditengah berbagai kasus yang dilakukan oleh oknum guru, ditengah berbagai pelanggaran dan kerusakan moral para pelajar Indonesia dan juga di tengah bertubi-tubinya masalah menyerang dunia pendidikan Indonesia, ada harapan dari masyarakat Thailand Selatan untuk menuntut ilmu di Indonesia. Mencicipi pahit manis dunia pendidikan Indonesia, guna mengamalkan ilmu dan membangun Thailand selatan tanah tumpah darah mereka.

*Sebutan untuk pimpinan lembaga pendidikan islam, pemuka agama, kyai jika di Indonesia
0

Sabtu, 30 Juli 2016




Cinta ini mungkin cinta yang terlambat, saya menceritakan ini juga cerita yang terlambat. Entah kapan pertama kali saya merasakannya. Cinta ini bukan cinta seperti cintanya Romeo kepada Juliet, juga bukan cintanya Yusuf kepada Zulaikha apalagi qais kepada Laila. Dan yang pasti, bukan seperti cintanya jomblo kepada kekasih dambaan hati yang hanya ada di alam mimpi. Hingga akhirnya ngowoh tiada bertepi.

Cinta-cinta seperti yang dimiliki oleh duo pasangan legendaris dalam dunia fiksi, Romeo Juliet dan Qais Laila adalah cinta buta yang melupakan mereka dengan dunia. Mencampakkan mereka menjadi budak-budak cinta tersebut. Membuat mereka tidak peduli dengan apa yang terjadi disekeliling mereka. Jangankan peduli dengan sekeliling, jangankan peduli dengan tetangga mereka yang kelaparan, jangankan peduli kepada nasib rakyat yang termiskinkan, kepada orang-orang yang mencintai mereka saja mereka tidak peduli. Walaupun saya percaya tentang cinta buta, tetapi saya bukan penganut faham cinta buta tersebut.

Sekali lagi, cinta ini bukan cinta seperti itu. Cerita ini juga bukan cerita seperti itu. Setiap kali orang mengatakan cinta, entah kenapa dalam fikirannya selalu tertuju pada kisah cinta seorang laki-laki dan perempuan. Apakah cinta hanya terbatas pada itu saja?. Ini bukan protes seorang jomblo, karena saya bukan jomblo, tetapi single. Bedakan itu. Single itu prinsip, jomblo itu nasib. Kalau seumpama terkadang saya mengaku jomblo, ya memang  prinsip saya menjadi single dan di sisi lain nasib saya menjadi jomblo yang tidak berani menyatakan cinta. Hingga akhirnya ngowoh tiada bertepi.

Dari caranya berpikir, dari caranya bertindak, dari caranya memandang suatu persoalan, dari caranya memecahkan persoalan tersebut, begitu menginspirasi. Dan terkadang, mengharukan. Dari kisah-kisahnya, dari rekam jejaknya, dari hasil yang diperbuatnya, mengagumkan. Saya mungkin hanya seorang dari puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu orang lain yang juga terinspirasi dari diri beiau. Dan akhirnya, memaksa saya untuk jatuh cinta terhadap sosok beliau.

Beliau terlahir sebagai keluarga miskin dengan nama Dahlan. Masyarakat mengenalnya dengan nama Dahlan Iskan. Beliau yang juga syekher mania itu, pernah memiliki mimpi yang sangat sederhana di masa kecilnya, memiliki sepatu. Mimpi yang bagi orang lain bukanlah mimpi. Terlahir dari keluarga miskin tidak membuatnya putus asa, bahkan terbukti meraih sukses seperti yang dilihat masyarakat sekarang ini. Dan sekarang, beliau sudah bahagia dan menikmati masa tuanya.

Saya mendengar nama beliau untuk pertama kali entah pada tahun berapa. Setelah saya membaca kisah-kisah beliau dari berbagai tulisan, dan juga setelah saya membaca-baca tulisan beliau, entah kenapa jadi ngefans kepada beliau. Tetapi sepertinya ini bukan sekedar kagum, tetapi lebih ke jatuh cinta, saya jatuh cinta kepada beliau. Sebenarnya tidak hanya kepada beliau saya jatuh cinta, terhadap tokoh lainpun juga ada. Hanya saja untuk kali ini, saya ungkapkan saja terlebih dahulu kecintaan saya kepada beliau.

Ada berbagai kisah menarik, menginspirasi, mengharukan dan terkadang lucu. Sya hanya mengisahkan beberapa saja, diantaranya ketika beliau menjadi menteri BUMN pada era pak SBY. Suatu ketika, pak Dahlan melakukan rapat koordinasi dengan beberapa menteri. Seusai rapat, beliau langsung dikerubungi wartawan yang hendak melakukan wawancara. Seusai wawancara, beliau dengan percaya diri membuka pintu salah satu mobil di depannya. Para wartawan yang mengetahui bahwa itu bukan mobil beliau langsung berkata, “mobilnya bukan itu pak.” Pak Dahlan sesaat langsung sadar sambil nyengir, “Oh ternyata bukan mobil saya yah, saya sudah GR kok mobil saya bagus banget.” Mobil tersebut sebenarnya adalah mobil milik pak Hatta Rajasa.

Juga ketika beliau blusukan. Sebelum kata “blusukan” populer sperti sekarang ini, beliau sudah sering blusukan ke desa-desa. Dan salah satu kebiasaan beliau adalah menginap di rumah gedek milik petani. Tidak banyak yang tahu tentang kisah-kisah beliau, karena beliau juga tidak pernah mengundang wartawan untuk meliput blusukan beliau. Seperti ketika menyambangi salah satu rumah petani miskin didaerah kulonprogo. Bersama beberapa staf kementerian, beliau menginap di rumah salah seorang petani miskin di sana. Ketika beliau datang, si pemilik rumah menyiapkan tikar seadanya. Bahkan sebenarnya, si pemilik rumah tidak tahu pak Dahlan itu siapa. Baru tahu ketika ada berita di televisi. Dan beliau tidur di atas tikar tersebut bersama staf dan tuan rumah hingga adzan subuh bergema.

Ketika masih menjadi direktur Jawa Pos, beliau pernah berkunjung di salah satu cabang Jawa Pos di Jember.  Ketika itu, salah seorang office boy sedang mengepel lantai. Pak Dahlan, dengan santainya melewati lantai yang basah itu, mungkin tidak tahu. Si office boy tidak mengenal kalau pak Dahlan adalah direktur Jawa Pos, bos dari bos tempatnya bekerja. Tak ayal dia memarahi pak Dahlan karena sudah melewati lantai yang di pel. Bukannya marah, pak Dahlan malah tersenyum sambil minta maaf. Katanya, karena office boy tersebut sudah bertindak benar. Mungkin dalam hati beliau tertawa ngakak sambil berkata, “Tidak tahu siapa saya dia”.

Dalam tulisannya, beliau sering menuliskan sinar-sinar harapan yang mampu menyinari langit nusantara. Diantaranya tentang kincir angin. Banyak daerah di Indonesia yang belum mendapat pasokan listrik. Sebenarnya Dahlan meminta salah seorang putra Indonesia, Ricky Elson, pemegang 14 paten internasional, untuk membuat mobil listrik. Tetapi Ricky Elson juga memiliki impian untuk membuat kincir angin. Membuat kincir angin di Indonesia tidaklah mudah. Karena selain generatornya mahal, angin di Indonesia juga angin-anginan. Tetapi, Ricky Elson mampu menyelesaikan itu semua, dengan sempurna. Hingga akhirnya, dengan kincir angin ciptaannya sendiri, dia bisa menyinari beberapa desa di Sumba. Dan masih banyak lagi tulisan beliau tentang harapan baru dan juga membangun harapan untuk Indonesia.


0

Kamis, 28 Juli 2016


Pagi itu, perlahan sang mentari mulai merangkak naik menyusuri punggung gunung timur sekolahan. Para pelajar sudah berbaris walaupun tidak rapi untuk menyanyikan lagu kebangsaan dan menghormat kepada bendera kebanggaan mereka, bendera yang urutan warnanya sebagai berikut: merah, putih, biru, putih, merah, bendera Thailand. Untung saja tidak ada aba-aba dari pemimpin untuk hormat kepada bendera dengan menyebutkan warnanya seperti di Indonesia. “kepada, bendera merah putih biru putih merah hormaaaat grak,” itu terlalu panjang. Sang pemimpin hanya mongomandoi untuk menyanyikan lagu kebangsaan, yang saya tidak berniat menghafalkan sama sekali.

Apel pagi adalah acara rutin setiap pagi di sekolah ini. Berbeda dengan kebanyakan sekolah di Indonesia yang dilakukan setiap hari senin. Juga berbeda dengan di sekolah aliyah saya dulu, yang dilakukan setiap hari sabtu. Di sekolah saya, karena adalah sekolah dengan background pesantren, maka libur hari jumat. Dan upacara apel mingguan dilaksanakan hari sabtu, ketika para PNS liburan weekend . Cerita ini mengingatkan saya ketika masih kinyis-kinyis dulu. Sebagai murid yang menaati peraturan, sudah bisa dipastikan, saya tidak pernah tidak terlambat upacara. Sekali lagi karena sebagai murid yang menaati peraturan, akhirnya saya dengan ikhlas hati harus merelakan untuk dihukum. Sampai-sampai saya sendiri tidak ingat kapan terakhir kali mengikuti upacara.

Apel di sini tidak sekaku itu. Namanya juga apel, bukan upacara. Hanya menyanyikan lagu kebangsaan yang tidak ada hidmat-hidmatnya, tetapi penuh dengan penghormatan dan kebanggaan. Diteruskan dengan sedikit sambutan oleh salah seorang guru, yang sambutannya tidak terlampau lama seperti sambutannya bapak kepala sekolahmu. Hanya itu saja, sekali lagi, namanya juga apel, bukan upacara. Selesai apel, para pelajar pergi ke musholla untuk belajar membaca al-qur’an.

Mungkin karena di sini tidak ada sekolah semacam TPA, yang mengajari anak-anak membaca al-qur’an mulai sejak a ba ta tsa hingga khatam juz 30, maka pendidikan membaca al-Qur’an menjadi tanggung jawab sekolah islam. Di sekolah tempat saya sendiri, pelajaran membaca al-Qur’an dilaksanakan setiap sebelum masuk kelas. Di Indonesia, ada berbagai macam metode yang digunakan, mulai dari yanbu’a, qiro’ati, an-nahdliyah hingga metode klasik seperti sorogan yang sudah mulai banyak ditinggalkan. Dan semua bagus. Di sini menggunakan metode sorogan. Semua pelajar dikelompokkan menjadi empat kelompok. Tetapi sayang, pengelompokan tidak berdasarkan kemampuan pelajar, tetapi dicampur rata. Hal yang demikian menjadikan pembelajaran al-qur’an kurang sistematis dan terkontrol.

Pendidikan islam di sini sangat berkaitan erat dengan Indonesia. Hal ini bisa terjadi karena pertalian sejarah yang erat. Konon, sunan gresik sempat singgah di Pattani dan mendirikan masjid serta menyebarkan agama islam sebelum melanjutkan perjalanan ke indonesia. Maka ada salah satu masjid di Pattani dengan nama masjid gresik. Juga ada Ulama’-ulama’ Indonesia yang menyebarkan agama islam disini. Banyak kitab-kitab karangan ulama’ Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa melayu yang diajarkan disini. Saya sendiri malah baru mengetahui nama ulama’ tersebut.

Juga untuk pelajaran membaca al-qur’an ini. Sekolah-sekolah islam di Thailand menggunakan kitab Iqro’ yang ada gambarnya kakek-kakek legendaris itu. Kebanyakan yang masih belajar iqro’ adalah para pelajar tingkat patum atau SD. Tetapi, banyak juga pelajar  setingkat SMP yang masih belajar iqro’. Di desa saya dulu, menggunakan metode an-nahdliyah.  Usia anak TK sudah mulai diajari untuk membaca alif ba’ ta’. Oleh karena itu, kelas 5 SD sudah banyak anak yang mengkhatamkan al-Qur’an. Tetapi di sini tidak. Banyak yang baru belajar al-qur’an ketika sudah menginjak usia SMP.

Awalnya, saya mengira bahwa iqro’ ini hanya diajarkan di sekolah tempat saya KKN saja. Tetapi, dari cerita kawan-kawan yang lain, ternyata di tempat mereka juga menggunakan kitab yang sama. TTentunya, sistem dan metodenya tidak semua sama. Ada sebersit kebanggan ketika mengetahui banyak karya ulama’ Indonesia yang banyak diajarkan di negara lain. Bagaimana dengan di Indonesia sendiri? Suatu keprihatinan mengetahui banyak generasi penerus bangsa yang malah meninggalkan madrasah diniyah-madrasah diniyah ataupun TPA-TPA karena berbagai alasan.

Padahal, dengan membanding-bandingkan hal tersebut, juga mendapati banyak karya ulama’ Indonesia yang dipelajari di berbagai negara, pendidikan islam di Indonesia sangatlah bagus. Padahal, banyak pemuda-pemudi sini yang mendambakan untuk bisa menuntut ilmu di Indonesia. Tetapi, kenapa orang Indonesia sendiri malah banyak yang meninggalkannya?


0

Senin, 25 Juli 2016

Di sekolah-sekolah di Indonesia, setiap tahun mengadakan perlombaan olahraga antar kelas. Bisa dikatakan, olimpiade dalam sekolahan. Classmeeting namanya. Ada juga yang menamakannya  pekan olahraga. Apapun namanya, intinya sama, perlombaan olahraga.Ada yang diadakan akhir tahun, ada juga yang pertengahan tahun. Yang dilombakanpun macam-macam. Ada yang kelompok, ada yang individu. Mulai dari yang paling tenar, sepak bola, volly, basket, bulu tangkis, lari berbagai kategori, catur hingga tarik tambang, dan bermacam perlombaan lainnya tergantung sekolah masing-masing.

Begitu juga di Thailand. Kita sudah memahami bahwa di Thailand, olahraga sangat digemari. Terutama sepak bola. Memang olahraga yang satu ini adalah olahraga yang paling fenomenal. Bayangkan saja, Christiano Ronaldo yang pemain real madrid itu, bisa beli mobil mewah, yang banyak, juga bisa mengencani cewek cantik dari berbagai negara, hanya karena main bola. Juga supporter-supporter dan penggila-penggila bola itu. Ingin jauh-jauh datang ke eropa, hanya untuk nonton orang main bola. Juga saya, yang juga ingin menginjakkan kaki di old trafford, walaupun untuk ngepel sana.

Di setiap sekolah di Thailand, ada pekan olahraga yang disebut dengan kila sii. Dalam bahasa melayu, yang dipakai di sekolah-sekolah di wilayah Thailand selatan disebut dengan sukan warna. Bisa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi olahraga warna. Disebut demikian karena pertandingan bukan antar kelas, tetapi antar warna. Setiap murid dan juga guru, sudah dikelompokkan dengan warna-warna tertentu sejak awal tahun ajaran baru. Yang mengelompokkan, guru olahraga. Cara mengelompokkannya juga gak terlalu mikir, ini lagi jatuh cinta dimasukkan dalam kelompok warna pink, baru ditinggal suaminya, dimasukkan warna ungu, tidak seperti itu. Ya yang penting dibagi secara acak gitu saja.
Hari yang penuh warna


Di sekolah tempat saya sendiri, dibagi menjadi tiga kelompok warna. Baik dari tingkat SD sampai dengan tingkat SMA. Merah, biru dan kuning.  Tidak ada pink dan ungu. Saya sendiri dimasukkan kedalam warna biru, walaupun saya tidak suka Chelsea. Yang penting bukan belang-belang biru-merah, seragamnya trio amerika selatan, suarez, neymar, messi itu. Tidak ada peraturan yang mewajibkan semua murid harus ikut lomba. Juga tidak dibatasi satu murid lomba apa saja. Bahkan satu murid bisa mengikuti semua lomba. Karena cabang olahraga yang dilombakan tidak terlalu banyak, jadwal tidak berbenturan antara satu dengan yang lain.

Melompat lebih tinggi

Hari pertama, bola volly untuk laki-laki dan perempuan tingkat matayum atau setingkat dengan SMP-SMA.  Juga ada olahraga semacam bola basket tetapi bolanya hanya dilempar-lemparkan saja tanpa dipantulkan dengan lantai. Keranjangnyapun menggunakan keranjang sampah, dipegang oleh pemain yang membantu agar bola yang dimasukkan rekannya masuk. Yang ini khusus perempuan, dari tingkat patum hingga matayum. Sedangkan yang khusus tingkat patum, atau setingkat SD saja, olahraga yang dilombakan yaitu lompat tali. Dan ini khusus laki-laki saja, entah kenapa. Saya sebenarnya tidak mengetahui jadwalnya sama sekali. Tahu-tahu waktunya lomba ini, lomba itu. Hari pertama, lomba bola volly yang saya ikuti.
Jangan salah tangkap bola
Bola volly tidak terlalu populer disini. Tetapi jika dibandingkan dengan olahraga abal-abal yang lain pada hari pertama ini, bola volly yang paling ramai. Dan kersane ngalah, tim biru, tim saya, kalah di babak final. Bagaimana tidak, tim saya banyak yang tidak bisa bola volly. Mereka lebih memilih menggunakan kepala dan kaki untuk  menerima bola, daripada menggunakan tangan. Setelah berusaha sebisa mungkin, kami harrus mengakui keunggulan tim lawan, dengan skor terakhir 33-31. Pertandingan yang sengit.


Jurus smash harimau
Hari kedua adalah olahraga yang ditunggu-tunggu, sepak bola. Semua murid antusias dari supporter dan para pemainnya. Tidak ada murid laki-laki dan perempuan yang memanfaatkan momen untuk mojok di semak belukar, mencari jangkrik. Suasana lapangan sudah seperti santiago bernabeu 500 tahun yang lalu. Untuk sepak bola dibagi menjadi tiga kategori. Tingkat patum, matayum kelas 1,2 dan 3, serta tingkat matayum kelas 4,5 dan 6. Saya ikut tingkat matayum kelas 1,2 dan 3. Dan kalah. Tidak usah saya ceritakan detailnya, kekalahan ini terlalu pahit.
Tendangan macan hyuga
Disepanjang pertandingan, pak guru yang menjadi komentator dengan semangatnya terus mengoceh tiada henti, saya tidak paham sama sekali. Walaupun bahasa thailand bukanlah bahasa yang paling sulit dipelajari, karena bahasa yang paling sulit dipelajari adalah bahasa kaum perempuan, tetapi tetap saja, telinga dan otak saya belum sepenuhnya adaptasi untuk mengolah arti dan makna ucapan komentator. Diselingi dengan lagu goyang dumang yang terus berulang-ulang tanpa henti, membuat suasana semakin ramai. Entah bagaimana ceritanya lagu yang dinyanyikan cita citata ini sampai disini. Memang untuk wilayah Thailand yang berbatasan langsung dengan Malaysia, -yang bahasanya masih melayu itu- cita cita, wali dan berbagai band Indonesia yang bahkan saya sendiri tidak banyak kenal, sangat tenar.

Hari ketiga adalah hari terakhir event sekolah tahunan ini. Bertepatan pada hari jumat. Sebagai pamungkas,  lomba lari pada pagi hari dan final sepak bola untuk tingkat teratas pada sore hari. Tim biru melawan tim kuning. Saya tidak ikut, yang lain sudah banyak yang lebih pandai. Daripada kalah lagi. Pada hari ketiga ini, dimulai dengan arak-arakan para atlet mengelilingi lapangan dengan berbagai atribut kebanggaanya. Seperti olimpiade kecil-kecilan. Yang paling depan, foto raja dan ratu. Mengikuti dibelakangmya, para atlet kebanggaan setiap tim.


Selesai arak-arakan, para supporter –yang juga sekaligus menjadi pemain- duduk di samping lapangan menurut warnanya masing-masing, untuk menyaksikan lomba lari. Lomba lari ini terdiri dari berbagai kategori dari berbagai tingkat. Dari anak yang paling kecil, yang baru bisa lari itu, hingga anak yang paling besar, bahkan tingkat guru juga ada. Ada lari individu, ada juga estafet. Jika menurut gender, laki-laki dan perempuan semua ikut, yang tengah-tengah tidak ikut. Saya sendiri mewakili warna saya untuk tingkat guru, dan menang. Tidak terlalu membanggakan, memang saya unggul dari segi usia.
[BUKAN] berlari mengejar yang tak pasti

Setelah sholat jum’at, dimulai pertandingan final sepak bola. Tim biru, tim saya, melawan tim kuning. Tidak usahlah saya ceritakan juga, karena saya tidak ikut bertanding. Intinya tim biru, tim kami, menang, juara. Setelah pertandingan selesai, baru dijumlah keseluruhan lomba untuk mencari juara umum. Para murid, eh para atlet, dikumpulkan ditengah-tengah lapangan yang panas untuk menunggu pengumuman.
0

Sing Nulis

authorMahmud Rofi'i. I'm no body.
Learn More ?