Kamis, 28 Juli 2016

Iqro' juga sampai Thailand


Pagi itu, perlahan sang mentari mulai merangkak naik menyusuri punggung gunung timur sekolahan. Para pelajar sudah berbaris walaupun tidak rapi untuk menyanyikan lagu kebangsaan dan menghormat kepada bendera kebanggaan mereka, bendera yang urutan warnanya sebagai berikut: merah, putih, biru, putih, merah, bendera Thailand. Untung saja tidak ada aba-aba dari pemimpin untuk hormat kepada bendera dengan menyebutkan warnanya seperti di Indonesia. “kepada, bendera merah putih biru putih merah hormaaaat grak,” itu terlalu panjang. Sang pemimpin hanya mongomandoi untuk menyanyikan lagu kebangsaan, yang saya tidak berniat menghafalkan sama sekali.

Apel pagi adalah acara rutin setiap pagi di sekolah ini. Berbeda dengan kebanyakan sekolah di Indonesia yang dilakukan setiap hari senin. Juga berbeda dengan di sekolah aliyah saya dulu, yang dilakukan setiap hari sabtu. Di sekolah saya, karena adalah sekolah dengan background pesantren, maka libur hari jumat. Dan upacara apel mingguan dilaksanakan hari sabtu, ketika para PNS liburan weekend . Cerita ini mengingatkan saya ketika masih kinyis-kinyis dulu. Sebagai murid yang menaati peraturan, sudah bisa dipastikan, saya tidak pernah tidak terlambat upacara. Sekali lagi karena sebagai murid yang menaati peraturan, akhirnya saya dengan ikhlas hati harus merelakan untuk dihukum. Sampai-sampai saya sendiri tidak ingat kapan terakhir kali mengikuti upacara.

Apel di sini tidak sekaku itu. Namanya juga apel, bukan upacara. Hanya menyanyikan lagu kebangsaan yang tidak ada hidmat-hidmatnya, tetapi penuh dengan penghormatan dan kebanggaan. Diteruskan dengan sedikit sambutan oleh salah seorang guru, yang sambutannya tidak terlampau lama seperti sambutannya bapak kepala sekolahmu. Hanya itu saja, sekali lagi, namanya juga apel, bukan upacara. Selesai apel, para pelajar pergi ke musholla untuk belajar membaca al-qur’an.

Mungkin karena di sini tidak ada sekolah semacam TPA, yang mengajari anak-anak membaca al-qur’an mulai sejak a ba ta tsa hingga khatam juz 30, maka pendidikan membaca al-Qur’an menjadi tanggung jawab sekolah islam. Di sekolah tempat saya sendiri, pelajaran membaca al-Qur’an dilaksanakan setiap sebelum masuk kelas. Di Indonesia, ada berbagai macam metode yang digunakan, mulai dari yanbu’a, qiro’ati, an-nahdliyah hingga metode klasik seperti sorogan yang sudah mulai banyak ditinggalkan. Dan semua bagus. Di sini menggunakan metode sorogan. Semua pelajar dikelompokkan menjadi empat kelompok. Tetapi sayang, pengelompokan tidak berdasarkan kemampuan pelajar, tetapi dicampur rata. Hal yang demikian menjadikan pembelajaran al-qur’an kurang sistematis dan terkontrol.

Pendidikan islam di sini sangat berkaitan erat dengan Indonesia. Hal ini bisa terjadi karena pertalian sejarah yang erat. Konon, sunan gresik sempat singgah di Pattani dan mendirikan masjid serta menyebarkan agama islam sebelum melanjutkan perjalanan ke indonesia. Maka ada salah satu masjid di Pattani dengan nama masjid gresik. Juga ada Ulama’-ulama’ Indonesia yang menyebarkan agama islam disini. Banyak kitab-kitab karangan ulama’ Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa melayu yang diajarkan disini. Saya sendiri malah baru mengetahui nama ulama’ tersebut.

Juga untuk pelajaran membaca al-qur’an ini. Sekolah-sekolah islam di Thailand menggunakan kitab Iqro’ yang ada gambarnya kakek-kakek legendaris itu. Kebanyakan yang masih belajar iqro’ adalah para pelajar tingkat patum atau SD. Tetapi, banyak juga pelajar  setingkat SMP yang masih belajar iqro’. Di desa saya dulu, menggunakan metode an-nahdliyah.  Usia anak TK sudah mulai diajari untuk membaca alif ba’ ta’. Oleh karena itu, kelas 5 SD sudah banyak anak yang mengkhatamkan al-Qur’an. Tetapi di sini tidak. Banyak yang baru belajar al-qur’an ketika sudah menginjak usia SMP.

Awalnya, saya mengira bahwa iqro’ ini hanya diajarkan di sekolah tempat saya KKN saja. Tetapi, dari cerita kawan-kawan yang lain, ternyata di tempat mereka juga menggunakan kitab yang sama. TTentunya, sistem dan metodenya tidak semua sama. Ada sebersit kebanggan ketika mengetahui banyak karya ulama’ Indonesia yang banyak diajarkan di negara lain. Bagaimana dengan di Indonesia sendiri? Suatu keprihatinan mengetahui banyak generasi penerus bangsa yang malah meninggalkan madrasah diniyah-madrasah diniyah ataupun TPA-TPA karena berbagai alasan.

Padahal, dengan membanding-bandingkan hal tersebut, juga mendapati banyak karya ulama’ Indonesia yang dipelajari di berbagai negara, pendidikan islam di Indonesia sangatlah bagus. Padahal, banyak pemuda-pemudi sini yang mendambakan untuk bisa menuntut ilmu di Indonesia. Tetapi, kenapa orang Indonesia sendiri malah banyak yang meninggalkannya?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sing Nulis

authorMahmud Rofi'i. I'm no body.
Learn More ?