Senin, 18 Juli 2016

Malam Idul Fitri (2)


Masjid Central Songkhla saat malam hari

Malam idul fitri selalu menjadi malam yang istimewa, khususnya bagi saya. Malam dimana kemeriahan merayakan hari kemenangan telah tiba. Kemenangan melawan hawa nafsu, baik yang menang ataupun kalah, semua merayakannya. Bahkan yang tidak melwan hawa nafsunya sekalipun, juga merayakannya. Tetapi disisi lain, ditinggal ramadhan adalah momen yang tidak menyenangkan sama sekali. Bukan karena Ramadhan adalah bulan penuh keberkahan dan bulan penuh pengampunan, karena derajat saya masih belum sampai untuk merasakan hal yang seperti itu. Lebih karena, hilangnya momen-momen ketika malam-malam indah berkumpul bersama dengan teman-teman satu kampung di musholla, bertadarus bersama, makan puluran bersama, hingga tidur bersama di musholla, adalah kenangan tersendiri. Juga ketika sebelum sahur, keliling desa menabuh apa saja yang bisa di tabuh, mulai dari bambu yang sudah di desain sedemikian rupa, galon, ember atau apapun saja, untuk nethek (pengucapan jangan salah) atau membangunkan masyarakat desa untuk sahur.

Itu adalah sedikit kenangan tentang ramadan di masa kecil hingga remaja di desa saya. Sekarang, walaupun belum merasa dewasa, sulit untuk kembali merasakan hal-hal seperti itu. Mungkin hanya beberapa hari sebelum hari raya ketika saya mudik saja bisa merasakan hal demikian. Teman-teman yang biasa di musholla bersama, sudah memiliki dunianya sendiri-sendiri. Pada malam ramadan, dunia saya dan juga dunia teman-teman, tidak berlaku lagi. Itu adalah quality time bagi kami.

Tetapi, tahun ini adalah tahun yang berbeda. Saya berada ribuan kilometer dari desa saya. Berada di negeri asing yang baru sebulan ini saya injakkan kaki. Selama sebulan penuh tersebut, bertemu orang-orang yang sama sekali baru. Yang tidak saya kenal sama sekali, baik dari fisik, gerak-gerik, karakteristik dari yang terluar hingga yang dalam-dalam. Dan saya memiliki teman-teman senasib yang memiliki kisah yang sama, di berbagai tempat di negeri ini yang berbeda. Malam idul fitri itu, kami berkumpul setelah satu bulan tidak pernah bertemu. Bukan waktu yang lama sebenarnya, tapi keadaan yang demikian membuat satu bulan terasa waktu yang sangat lama. Rasa rindu untuk bertemu teman-teman sendiri, melebihi rasa rindu jomblo yang merindukan kekasih khayalannya.

Sumpah serapah diberikan teman-teman kepada saya, sudah berada di songkhla sejak awal, tetapi kenapa tidak segera ke konsulat. Bukan sumpah serapah kemarahan, tetapi sumpah serapah kerinduan. Saya sebenarnya juga ingin, tetapi mas Ridlo terus menggoda saya untuk berkeliling Songkhla. Otomatis, nafsu dolan saya terbakar. Sebagai permintaan maaf, saya ajak mereka, ajakan yang sebelumnya adalah usulan mas Ridlo, untuk berkeliling Songkhla. Ajakan tersebut masih via televon lewat whatsapp, karena kami belum bertemu.

Setelah menempuh perjalanan dari tempat mas Ridlo, menyeberangi danau dengan kapal feri, kami sampai di konsulat. Perasaan senang melebihi ketika pertama kali mencium aroma Indonesia di konsulat ini bersama teh Aulya sebelumnya. Semua teman saya, dari banyuwangi, ternyata sudah berada di halaman depan. Saya tidak mau ge er mereka disana untuk menunggu saya. Walaupun begitu, saya tidak bisa membohongi diri bahwa saya sangat merindukan mereka. Saya peluk satu persatu, tapi sayangnya yang laki-laki saja, seperti saudara yang terpisah puluhan tahun. Semuanya berkumpul disitu, juga si fina yang teman mts itu. Teman-temannya dari jombang tidak ada yang datang, karena dia sudah terlanjur akrab dengan kami, dia selalu bersama kami. Tetapi ada yang kurang. memang teman satu kampus ada semua, tetapi teman banyuwangi satu lagi, yang beda kampus tidak ada, kang abror. Entah kenapa tidak ikut berkumpul. Kami sudah memaksanya, juga mengintimidasinya. Tapi pendiriannya tidak pernah goyah.

Biarlah kang abror tetap dalam keputusannya. Mungkin dia memiliki berbagai alasan untuk tidak bisa berkumpul. Malam itu, kami benar-benar meluapkan kerinduan kami. Tanpa melupakan kang abror. Kami sempatkan untuk video call via line. Idul fitri yang memang berbeda. Tanpa perayaan kembang api, tanpa petasan, tanpa meriam karbit. Tetapi justru itu, kami bisa meresapi makna idul fitri yang sesungguhnya, dengan menumpahkan segala apa yang apa dalam hati kami masing-masing.

Sampai sepertiga malam, yang harusnya adalah malam yang syahdu untuk kencan dengan Tuhan, kami masih belum beranjak. Hingga satu persatu dari kami menuju ke dalam untuk istirahat. Tidak terasa, esok sudah sholat ied.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sing Nulis

authorMahmud Rofi'i. I'm no body.
Learn More ?