Sabtu, 30 Juli 2016




Cinta ini mungkin cinta yang terlambat, saya menceritakan ini juga cerita yang terlambat. Entah kapan pertama kali saya merasakannya. Cinta ini bukan cinta seperti cintanya Romeo kepada Juliet, juga bukan cintanya Yusuf kepada Zulaikha apalagi qais kepada Laila. Dan yang pasti, bukan seperti cintanya jomblo kepada kekasih dambaan hati yang hanya ada di alam mimpi. Hingga akhirnya ngowoh tiada bertepi.

Cinta-cinta seperti yang dimiliki oleh duo pasangan legendaris dalam dunia fiksi, Romeo Juliet dan Qais Laila adalah cinta buta yang melupakan mereka dengan dunia. Mencampakkan mereka menjadi budak-budak cinta tersebut. Membuat mereka tidak peduli dengan apa yang terjadi disekeliling mereka. Jangankan peduli dengan sekeliling, jangankan peduli dengan tetangga mereka yang kelaparan, jangankan peduli kepada nasib rakyat yang termiskinkan, kepada orang-orang yang mencintai mereka saja mereka tidak peduli. Walaupun saya percaya tentang cinta buta, tetapi saya bukan penganut faham cinta buta tersebut.

Sekali lagi, cinta ini bukan cinta seperti itu. Cerita ini juga bukan cerita seperti itu. Setiap kali orang mengatakan cinta, entah kenapa dalam fikirannya selalu tertuju pada kisah cinta seorang laki-laki dan perempuan. Apakah cinta hanya terbatas pada itu saja?. Ini bukan protes seorang jomblo, karena saya bukan jomblo, tetapi single. Bedakan itu. Single itu prinsip, jomblo itu nasib. Kalau seumpama terkadang saya mengaku jomblo, ya memang  prinsip saya menjadi single dan di sisi lain nasib saya menjadi jomblo yang tidak berani menyatakan cinta. Hingga akhirnya ngowoh tiada bertepi.

Dari caranya berpikir, dari caranya bertindak, dari caranya memandang suatu persoalan, dari caranya memecahkan persoalan tersebut, begitu menginspirasi. Dan terkadang, mengharukan. Dari kisah-kisahnya, dari rekam jejaknya, dari hasil yang diperbuatnya, mengagumkan. Saya mungkin hanya seorang dari puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu orang lain yang juga terinspirasi dari diri beiau. Dan akhirnya, memaksa saya untuk jatuh cinta terhadap sosok beliau.

Beliau terlahir sebagai keluarga miskin dengan nama Dahlan. Masyarakat mengenalnya dengan nama Dahlan Iskan. Beliau yang juga syekher mania itu, pernah memiliki mimpi yang sangat sederhana di masa kecilnya, memiliki sepatu. Mimpi yang bagi orang lain bukanlah mimpi. Terlahir dari keluarga miskin tidak membuatnya putus asa, bahkan terbukti meraih sukses seperti yang dilihat masyarakat sekarang ini. Dan sekarang, beliau sudah bahagia dan menikmati masa tuanya.

Saya mendengar nama beliau untuk pertama kali entah pada tahun berapa. Setelah saya membaca kisah-kisah beliau dari berbagai tulisan, dan juga setelah saya membaca-baca tulisan beliau, entah kenapa jadi ngefans kepada beliau. Tetapi sepertinya ini bukan sekedar kagum, tetapi lebih ke jatuh cinta, saya jatuh cinta kepada beliau. Sebenarnya tidak hanya kepada beliau saya jatuh cinta, terhadap tokoh lainpun juga ada. Hanya saja untuk kali ini, saya ungkapkan saja terlebih dahulu kecintaan saya kepada beliau.

Ada berbagai kisah menarik, menginspirasi, mengharukan dan terkadang lucu. Sya hanya mengisahkan beberapa saja, diantaranya ketika beliau menjadi menteri BUMN pada era pak SBY. Suatu ketika, pak Dahlan melakukan rapat koordinasi dengan beberapa menteri. Seusai rapat, beliau langsung dikerubungi wartawan yang hendak melakukan wawancara. Seusai wawancara, beliau dengan percaya diri membuka pintu salah satu mobil di depannya. Para wartawan yang mengetahui bahwa itu bukan mobil beliau langsung berkata, “mobilnya bukan itu pak.” Pak Dahlan sesaat langsung sadar sambil nyengir, “Oh ternyata bukan mobil saya yah, saya sudah GR kok mobil saya bagus banget.” Mobil tersebut sebenarnya adalah mobil milik pak Hatta Rajasa.

Juga ketika beliau blusukan. Sebelum kata “blusukan” populer sperti sekarang ini, beliau sudah sering blusukan ke desa-desa. Dan salah satu kebiasaan beliau adalah menginap di rumah gedek milik petani. Tidak banyak yang tahu tentang kisah-kisah beliau, karena beliau juga tidak pernah mengundang wartawan untuk meliput blusukan beliau. Seperti ketika menyambangi salah satu rumah petani miskin didaerah kulonprogo. Bersama beberapa staf kementerian, beliau menginap di rumah salah seorang petani miskin di sana. Ketika beliau datang, si pemilik rumah menyiapkan tikar seadanya. Bahkan sebenarnya, si pemilik rumah tidak tahu pak Dahlan itu siapa. Baru tahu ketika ada berita di televisi. Dan beliau tidur di atas tikar tersebut bersama staf dan tuan rumah hingga adzan subuh bergema.

Ketika masih menjadi direktur Jawa Pos, beliau pernah berkunjung di salah satu cabang Jawa Pos di Jember.  Ketika itu, salah seorang office boy sedang mengepel lantai. Pak Dahlan, dengan santainya melewati lantai yang basah itu, mungkin tidak tahu. Si office boy tidak mengenal kalau pak Dahlan adalah direktur Jawa Pos, bos dari bos tempatnya bekerja. Tak ayal dia memarahi pak Dahlan karena sudah melewati lantai yang di pel. Bukannya marah, pak Dahlan malah tersenyum sambil minta maaf. Katanya, karena office boy tersebut sudah bertindak benar. Mungkin dalam hati beliau tertawa ngakak sambil berkata, “Tidak tahu siapa saya dia”.

Dalam tulisannya, beliau sering menuliskan sinar-sinar harapan yang mampu menyinari langit nusantara. Diantaranya tentang kincir angin. Banyak daerah di Indonesia yang belum mendapat pasokan listrik. Sebenarnya Dahlan meminta salah seorang putra Indonesia, Ricky Elson, pemegang 14 paten internasional, untuk membuat mobil listrik. Tetapi Ricky Elson juga memiliki impian untuk membuat kincir angin. Membuat kincir angin di Indonesia tidaklah mudah. Karena selain generatornya mahal, angin di Indonesia juga angin-anginan. Tetapi, Ricky Elson mampu menyelesaikan itu semua, dengan sempurna. Hingga akhirnya, dengan kincir angin ciptaannya sendiri, dia bisa menyinari beberapa desa di Sumba. Dan masih banyak lagi tulisan beliau tentang harapan baru dan juga membangun harapan untuk Indonesia.


0

Kamis, 28 Juli 2016


Pagi itu, perlahan sang mentari mulai merangkak naik menyusuri punggung gunung timur sekolahan. Para pelajar sudah berbaris walaupun tidak rapi untuk menyanyikan lagu kebangsaan dan menghormat kepada bendera kebanggaan mereka, bendera yang urutan warnanya sebagai berikut: merah, putih, biru, putih, merah, bendera Thailand. Untung saja tidak ada aba-aba dari pemimpin untuk hormat kepada bendera dengan menyebutkan warnanya seperti di Indonesia. “kepada, bendera merah putih biru putih merah hormaaaat grak,” itu terlalu panjang. Sang pemimpin hanya mongomandoi untuk menyanyikan lagu kebangsaan, yang saya tidak berniat menghafalkan sama sekali.

Apel pagi adalah acara rutin setiap pagi di sekolah ini. Berbeda dengan kebanyakan sekolah di Indonesia yang dilakukan setiap hari senin. Juga berbeda dengan di sekolah aliyah saya dulu, yang dilakukan setiap hari sabtu. Di sekolah saya, karena adalah sekolah dengan background pesantren, maka libur hari jumat. Dan upacara apel mingguan dilaksanakan hari sabtu, ketika para PNS liburan weekend . Cerita ini mengingatkan saya ketika masih kinyis-kinyis dulu. Sebagai murid yang menaati peraturan, sudah bisa dipastikan, saya tidak pernah tidak terlambat upacara. Sekali lagi karena sebagai murid yang menaati peraturan, akhirnya saya dengan ikhlas hati harus merelakan untuk dihukum. Sampai-sampai saya sendiri tidak ingat kapan terakhir kali mengikuti upacara.

Apel di sini tidak sekaku itu. Namanya juga apel, bukan upacara. Hanya menyanyikan lagu kebangsaan yang tidak ada hidmat-hidmatnya, tetapi penuh dengan penghormatan dan kebanggaan. Diteruskan dengan sedikit sambutan oleh salah seorang guru, yang sambutannya tidak terlampau lama seperti sambutannya bapak kepala sekolahmu. Hanya itu saja, sekali lagi, namanya juga apel, bukan upacara. Selesai apel, para pelajar pergi ke musholla untuk belajar membaca al-qur’an.

Mungkin karena di sini tidak ada sekolah semacam TPA, yang mengajari anak-anak membaca al-qur’an mulai sejak a ba ta tsa hingga khatam juz 30, maka pendidikan membaca al-Qur’an menjadi tanggung jawab sekolah islam. Di sekolah tempat saya sendiri, pelajaran membaca al-Qur’an dilaksanakan setiap sebelum masuk kelas. Di Indonesia, ada berbagai macam metode yang digunakan, mulai dari yanbu’a, qiro’ati, an-nahdliyah hingga metode klasik seperti sorogan yang sudah mulai banyak ditinggalkan. Dan semua bagus. Di sini menggunakan metode sorogan. Semua pelajar dikelompokkan menjadi empat kelompok. Tetapi sayang, pengelompokan tidak berdasarkan kemampuan pelajar, tetapi dicampur rata. Hal yang demikian menjadikan pembelajaran al-qur’an kurang sistematis dan terkontrol.

Pendidikan islam di sini sangat berkaitan erat dengan Indonesia. Hal ini bisa terjadi karena pertalian sejarah yang erat. Konon, sunan gresik sempat singgah di Pattani dan mendirikan masjid serta menyebarkan agama islam sebelum melanjutkan perjalanan ke indonesia. Maka ada salah satu masjid di Pattani dengan nama masjid gresik. Juga ada Ulama’-ulama’ Indonesia yang menyebarkan agama islam disini. Banyak kitab-kitab karangan ulama’ Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa melayu yang diajarkan disini. Saya sendiri malah baru mengetahui nama ulama’ tersebut.

Juga untuk pelajaran membaca al-qur’an ini. Sekolah-sekolah islam di Thailand menggunakan kitab Iqro’ yang ada gambarnya kakek-kakek legendaris itu. Kebanyakan yang masih belajar iqro’ adalah para pelajar tingkat patum atau SD. Tetapi, banyak juga pelajar  setingkat SMP yang masih belajar iqro’. Di desa saya dulu, menggunakan metode an-nahdliyah.  Usia anak TK sudah mulai diajari untuk membaca alif ba’ ta’. Oleh karena itu, kelas 5 SD sudah banyak anak yang mengkhatamkan al-Qur’an. Tetapi di sini tidak. Banyak yang baru belajar al-qur’an ketika sudah menginjak usia SMP.

Awalnya, saya mengira bahwa iqro’ ini hanya diajarkan di sekolah tempat saya KKN saja. Tetapi, dari cerita kawan-kawan yang lain, ternyata di tempat mereka juga menggunakan kitab yang sama. TTentunya, sistem dan metodenya tidak semua sama. Ada sebersit kebanggan ketika mengetahui banyak karya ulama’ Indonesia yang banyak diajarkan di negara lain. Bagaimana dengan di Indonesia sendiri? Suatu keprihatinan mengetahui banyak generasi penerus bangsa yang malah meninggalkan madrasah diniyah-madrasah diniyah ataupun TPA-TPA karena berbagai alasan.

Padahal, dengan membanding-bandingkan hal tersebut, juga mendapati banyak karya ulama’ Indonesia yang dipelajari di berbagai negara, pendidikan islam di Indonesia sangatlah bagus. Padahal, banyak pemuda-pemudi sini yang mendambakan untuk bisa menuntut ilmu di Indonesia. Tetapi, kenapa orang Indonesia sendiri malah banyak yang meninggalkannya?


0

Senin, 25 Juli 2016

Di sekolah-sekolah di Indonesia, setiap tahun mengadakan perlombaan olahraga antar kelas. Bisa dikatakan, olimpiade dalam sekolahan. Classmeeting namanya. Ada juga yang menamakannya  pekan olahraga. Apapun namanya, intinya sama, perlombaan olahraga.Ada yang diadakan akhir tahun, ada juga yang pertengahan tahun. Yang dilombakanpun macam-macam. Ada yang kelompok, ada yang individu. Mulai dari yang paling tenar, sepak bola, volly, basket, bulu tangkis, lari berbagai kategori, catur hingga tarik tambang, dan bermacam perlombaan lainnya tergantung sekolah masing-masing.

Begitu juga di Thailand. Kita sudah memahami bahwa di Thailand, olahraga sangat digemari. Terutama sepak bola. Memang olahraga yang satu ini adalah olahraga yang paling fenomenal. Bayangkan saja, Christiano Ronaldo yang pemain real madrid itu, bisa beli mobil mewah, yang banyak, juga bisa mengencani cewek cantik dari berbagai negara, hanya karena main bola. Juga supporter-supporter dan penggila-penggila bola itu. Ingin jauh-jauh datang ke eropa, hanya untuk nonton orang main bola. Juga saya, yang juga ingin menginjakkan kaki di old trafford, walaupun untuk ngepel sana.

Di setiap sekolah di Thailand, ada pekan olahraga yang disebut dengan kila sii. Dalam bahasa melayu, yang dipakai di sekolah-sekolah di wilayah Thailand selatan disebut dengan sukan warna. Bisa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi olahraga warna. Disebut demikian karena pertandingan bukan antar kelas, tetapi antar warna. Setiap murid dan juga guru, sudah dikelompokkan dengan warna-warna tertentu sejak awal tahun ajaran baru. Yang mengelompokkan, guru olahraga. Cara mengelompokkannya juga gak terlalu mikir, ini lagi jatuh cinta dimasukkan dalam kelompok warna pink, baru ditinggal suaminya, dimasukkan warna ungu, tidak seperti itu. Ya yang penting dibagi secara acak gitu saja.
Hari yang penuh warna


Di sekolah tempat saya sendiri, dibagi menjadi tiga kelompok warna. Baik dari tingkat SD sampai dengan tingkat SMA. Merah, biru dan kuning.  Tidak ada pink dan ungu. Saya sendiri dimasukkan kedalam warna biru, walaupun saya tidak suka Chelsea. Yang penting bukan belang-belang biru-merah, seragamnya trio amerika selatan, suarez, neymar, messi itu. Tidak ada peraturan yang mewajibkan semua murid harus ikut lomba. Juga tidak dibatasi satu murid lomba apa saja. Bahkan satu murid bisa mengikuti semua lomba. Karena cabang olahraga yang dilombakan tidak terlalu banyak, jadwal tidak berbenturan antara satu dengan yang lain.

Melompat lebih tinggi

Hari pertama, bola volly untuk laki-laki dan perempuan tingkat matayum atau setingkat dengan SMP-SMA.  Juga ada olahraga semacam bola basket tetapi bolanya hanya dilempar-lemparkan saja tanpa dipantulkan dengan lantai. Keranjangnyapun menggunakan keranjang sampah, dipegang oleh pemain yang membantu agar bola yang dimasukkan rekannya masuk. Yang ini khusus perempuan, dari tingkat patum hingga matayum. Sedangkan yang khusus tingkat patum, atau setingkat SD saja, olahraga yang dilombakan yaitu lompat tali. Dan ini khusus laki-laki saja, entah kenapa. Saya sebenarnya tidak mengetahui jadwalnya sama sekali. Tahu-tahu waktunya lomba ini, lomba itu. Hari pertama, lomba bola volly yang saya ikuti.
Jangan salah tangkap bola
Bola volly tidak terlalu populer disini. Tetapi jika dibandingkan dengan olahraga abal-abal yang lain pada hari pertama ini, bola volly yang paling ramai. Dan kersane ngalah, tim biru, tim saya, kalah di babak final. Bagaimana tidak, tim saya banyak yang tidak bisa bola volly. Mereka lebih memilih menggunakan kepala dan kaki untuk  menerima bola, daripada menggunakan tangan. Setelah berusaha sebisa mungkin, kami harrus mengakui keunggulan tim lawan, dengan skor terakhir 33-31. Pertandingan yang sengit.


Jurus smash harimau
Hari kedua adalah olahraga yang ditunggu-tunggu, sepak bola. Semua murid antusias dari supporter dan para pemainnya. Tidak ada murid laki-laki dan perempuan yang memanfaatkan momen untuk mojok di semak belukar, mencari jangkrik. Suasana lapangan sudah seperti santiago bernabeu 500 tahun yang lalu. Untuk sepak bola dibagi menjadi tiga kategori. Tingkat patum, matayum kelas 1,2 dan 3, serta tingkat matayum kelas 4,5 dan 6. Saya ikut tingkat matayum kelas 1,2 dan 3. Dan kalah. Tidak usah saya ceritakan detailnya, kekalahan ini terlalu pahit.
Tendangan macan hyuga
Disepanjang pertandingan, pak guru yang menjadi komentator dengan semangatnya terus mengoceh tiada henti, saya tidak paham sama sekali. Walaupun bahasa thailand bukanlah bahasa yang paling sulit dipelajari, karena bahasa yang paling sulit dipelajari adalah bahasa kaum perempuan, tetapi tetap saja, telinga dan otak saya belum sepenuhnya adaptasi untuk mengolah arti dan makna ucapan komentator. Diselingi dengan lagu goyang dumang yang terus berulang-ulang tanpa henti, membuat suasana semakin ramai. Entah bagaimana ceritanya lagu yang dinyanyikan cita citata ini sampai disini. Memang untuk wilayah Thailand yang berbatasan langsung dengan Malaysia, -yang bahasanya masih melayu itu- cita cita, wali dan berbagai band Indonesia yang bahkan saya sendiri tidak banyak kenal, sangat tenar.

Hari ketiga adalah hari terakhir event sekolah tahunan ini. Bertepatan pada hari jumat. Sebagai pamungkas,  lomba lari pada pagi hari dan final sepak bola untuk tingkat teratas pada sore hari. Tim biru melawan tim kuning. Saya tidak ikut, yang lain sudah banyak yang lebih pandai. Daripada kalah lagi. Pada hari ketiga ini, dimulai dengan arak-arakan para atlet mengelilingi lapangan dengan berbagai atribut kebanggaanya. Seperti olimpiade kecil-kecilan. Yang paling depan, foto raja dan ratu. Mengikuti dibelakangmya, para atlet kebanggaan setiap tim.


Selesai arak-arakan, para supporter –yang juga sekaligus menjadi pemain- duduk di samping lapangan menurut warnanya masing-masing, untuk menyaksikan lomba lari. Lomba lari ini terdiri dari berbagai kategori dari berbagai tingkat. Dari anak yang paling kecil, yang baru bisa lari itu, hingga anak yang paling besar, bahkan tingkat guru juga ada. Ada lari individu, ada juga estafet. Jika menurut gender, laki-laki dan perempuan semua ikut, yang tengah-tengah tidak ikut. Saya sendiri mewakili warna saya untuk tingkat guru, dan menang. Tidak terlalu membanggakan, memang saya unggul dari segi usia.
[BUKAN] berlari mengejar yang tak pasti

Setelah sholat jum’at, dimulai pertandingan final sepak bola. Tim biru, tim saya, melawan tim kuning. Tidak usahlah saya ceritakan juga, karena saya tidak ikut bertanding. Intinya tim biru, tim kami, menang, juara. Setelah pertandingan selesai, baru dijumlah keseluruhan lomba untuk mencari juara umum. Para murid, eh para atlet, dikumpulkan ditengah-tengah lapangan yang panas untuk menunggu pengumuman.
0

Senin, 18 Juli 2016


Masjid Central Songkhla saat malam hari

Malam idul fitri selalu menjadi malam yang istimewa, khususnya bagi saya. Malam dimana kemeriahan merayakan hari kemenangan telah tiba. Kemenangan melawan hawa nafsu, baik yang menang ataupun kalah, semua merayakannya. Bahkan yang tidak melwan hawa nafsunya sekalipun, juga merayakannya. Tetapi disisi lain, ditinggal ramadhan adalah momen yang tidak menyenangkan sama sekali. Bukan karena Ramadhan adalah bulan penuh keberkahan dan bulan penuh pengampunan, karena derajat saya masih belum sampai untuk merasakan hal yang seperti itu. Lebih karena, hilangnya momen-momen ketika malam-malam indah berkumpul bersama dengan teman-teman satu kampung di musholla, bertadarus bersama, makan puluran bersama, hingga tidur bersama di musholla, adalah kenangan tersendiri. Juga ketika sebelum sahur, keliling desa menabuh apa saja yang bisa di tabuh, mulai dari bambu yang sudah di desain sedemikian rupa, galon, ember atau apapun saja, untuk nethek (pengucapan jangan salah) atau membangunkan masyarakat desa untuk sahur.

Itu adalah sedikit kenangan tentang ramadan di masa kecil hingga remaja di desa saya. Sekarang, walaupun belum merasa dewasa, sulit untuk kembali merasakan hal-hal seperti itu. Mungkin hanya beberapa hari sebelum hari raya ketika saya mudik saja bisa merasakan hal demikian. Teman-teman yang biasa di musholla bersama, sudah memiliki dunianya sendiri-sendiri. Pada malam ramadan, dunia saya dan juga dunia teman-teman, tidak berlaku lagi. Itu adalah quality time bagi kami.

Tetapi, tahun ini adalah tahun yang berbeda. Saya berada ribuan kilometer dari desa saya. Berada di negeri asing yang baru sebulan ini saya injakkan kaki. Selama sebulan penuh tersebut, bertemu orang-orang yang sama sekali baru. Yang tidak saya kenal sama sekali, baik dari fisik, gerak-gerik, karakteristik dari yang terluar hingga yang dalam-dalam. Dan saya memiliki teman-teman senasib yang memiliki kisah yang sama, di berbagai tempat di negeri ini yang berbeda. Malam idul fitri itu, kami berkumpul setelah satu bulan tidak pernah bertemu. Bukan waktu yang lama sebenarnya, tapi keadaan yang demikian membuat satu bulan terasa waktu yang sangat lama. Rasa rindu untuk bertemu teman-teman sendiri, melebihi rasa rindu jomblo yang merindukan kekasih khayalannya.

Sumpah serapah diberikan teman-teman kepada saya, sudah berada di songkhla sejak awal, tetapi kenapa tidak segera ke konsulat. Bukan sumpah serapah kemarahan, tetapi sumpah serapah kerinduan. Saya sebenarnya juga ingin, tetapi mas Ridlo terus menggoda saya untuk berkeliling Songkhla. Otomatis, nafsu dolan saya terbakar. Sebagai permintaan maaf, saya ajak mereka, ajakan yang sebelumnya adalah usulan mas Ridlo, untuk berkeliling Songkhla. Ajakan tersebut masih via televon lewat whatsapp, karena kami belum bertemu.

Setelah menempuh perjalanan dari tempat mas Ridlo, menyeberangi danau dengan kapal feri, kami sampai di konsulat. Perasaan senang melebihi ketika pertama kali mencium aroma Indonesia di konsulat ini bersama teh Aulya sebelumnya. Semua teman saya, dari banyuwangi, ternyata sudah berada di halaman depan. Saya tidak mau ge er mereka disana untuk menunggu saya. Walaupun begitu, saya tidak bisa membohongi diri bahwa saya sangat merindukan mereka. Saya peluk satu persatu, tapi sayangnya yang laki-laki saja, seperti saudara yang terpisah puluhan tahun. Semuanya berkumpul disitu, juga si fina yang teman mts itu. Teman-temannya dari jombang tidak ada yang datang, karena dia sudah terlanjur akrab dengan kami, dia selalu bersama kami. Tetapi ada yang kurang. memang teman satu kampus ada semua, tetapi teman banyuwangi satu lagi, yang beda kampus tidak ada, kang abror. Entah kenapa tidak ikut berkumpul. Kami sudah memaksanya, juga mengintimidasinya. Tapi pendiriannya tidak pernah goyah.

Biarlah kang abror tetap dalam keputusannya. Mungkin dia memiliki berbagai alasan untuk tidak bisa berkumpul. Malam itu, kami benar-benar meluapkan kerinduan kami. Tanpa melupakan kang abror. Kami sempatkan untuk video call via line. Idul fitri yang memang berbeda. Tanpa perayaan kembang api, tanpa petasan, tanpa meriam karbit. Tetapi justru itu, kami bisa meresapi makna idul fitri yang sesungguhnya, dengan menumpahkan segala apa yang apa dalam hati kami masing-masing.

Sampai sepertiga malam, yang harusnya adalah malam yang syahdu untuk kencan dengan Tuhan, kami masih belum beranjak. Hingga satu persatu dari kami menuju ke dalam untuk istirahat. Tidak terasa, esok sudah sholat ied.
0


Masjid Central Songkhla
Sore itu, takbir sudah berkumandang menggemakan langit Thailand. Pengumuman dari Syaikhul Islam sudah di terima oleh masyarakat muslim Thailand. Walaupun 1 ramadhan tidak bebarengan dengan Indonesia, tetapi 1 syawal jatuh pada hari yang sama dengan Indonesia. Sebelumnya, saya sudah memberi kabar keluarga dan teman-teman di Indonesia bahwa hari raya di Thailand masih belum ditentukan.  Walaupun begitu, saya sudah melaksanakan zakat fitrah karena ada barengannya, mas Ridlo. Untuk warga Indonesia, bisa juga memberikan zakat ke konsulat untuk selanjutnya disalurkan kepada yang berhak.

Momen lebaran adalah momen yang selalu saya dan berjuta-juta umat muslim tunggu. Bagi anak-anak di desa, momen lebaran adalah momen ketika bisa mendapatkan sangu atau bahasa populernya angpao. Juga momen ketika mereka bisa memakan jajan sebanyak-banyaknya dengan Cuma-Cuma. Pada saat malam lebaran, bermacam cara merayakannya. Ada yang takbir keliling desa dengan meyalakan oncor atau obor, ada yang mengumandangkan takbir di musholla dan masjid, ada yang menyalakan petasan dan meriam karbit, ada juga yang berkeliling jalan besar menggunakan roda empat sambil memutar kaset takbir berirama koplo. Dan sebagai anak desa, saya pernah melakukan semua hal di atas tersebut.

Tentunya, tradisi lebaran di setiap tempat berbeda.  Pun juga di Thailand. Lagi-lagi, kemeriahan perayaan keagamaan tidak semeriah Indonesia. Itu yang saya tahu ketika berada di Songkhla. Sesekali, terdengar suara kembang api. Entah bagaimana di Pattani yang mayoritas muslim. Lagipula, idul fitri bukanlah tentang perayaan-perayaan saja. Idul fitri adalah tentang penyucian diri, kembali kepada fitrah, menjadi pribadi yang suci setelah mampu mengekang hawa nafsu. Tentunya penyucian bukan hanya dari dosa-dosa yang kita perbuat karena melanggar larangan-Nya, tetapi juga dosa-dosa yang kita perbuat ketika kita bergaul dengan sesama manusia. Oleh karena itu, dalam idul fitri terdapat tradisi saling bersilaturrahim dan saling memaafkan.

Saya masih bersama dengan mas Ridlo, berada di masjid agung songkhla, untuk menghadiri sidang isbat dan buka bersama para petinggi Thailand Selatan dan juga pemuka agama di sekitar wilayah tersebut. Ada juga perwakilan dari negara tetangga. Dari Indonesia, ada pak Triyogo, kepala konsulat Republik Indonesia Songkhla. Saya sendiri, jelas bukan undangan. Mas Ridlo mengajak saya untuk menghadirinya karena sebelumnya diberitahu bapak konsulat, juga mendapat undangan via whatsapp.

Saya penasaran, bagaimana jalannya sidang isbat, apakah sama dengan Indonesia atau tidak. Tetapi harapan saya sia-sia. Saya datang terlambat, bahkan untuk buka bersama. Semua jamaah sudah menyelesaikan buka bersamanya. Mereka masih bercengkerama, sebelum melaksanakan sholat maghrib berjamaah. Beberapa meja sudah terlihat ditinggal penghuninya, ada yang sudah mengambil air wudlu, ada yang sudah siap melaksanakan sholat didalam masjid. 

Kru TV yang menyiarkan pengumuman sidang isbat

Masjid Songkhla sangatlah besar, sepertinya terdiri tiga tingkat. Saya kurang yakin karena tidak sempat menjelajah seluruh isi masjid. Tangga dari depan langsung mengarah ke lantai paling atas. Lantai untuk sholat. Ada tangga menuju ke bawah. Tepat lantai di bawahnya itulah ada ruangan aula, untuk sidang isbat dan buka bersama. Di sekelilingnya ada beberapa kantor pengurus. Juga ada tempat wudlu. Karena sudah terlambat, kami mengambil air wudlu saja terlebih dahulu, langsung ikut sholat Jamaah.

Dibawahnya, seperti masih ada ruangan lagi. Entah untuk apa. Masjid songkhla memiliki empat menara disisi kanan dan kiri sebelah depan dan belakang. Di depan masjid terhampar kolam yang luas, bukan halaman. Ada lagi kolam yang lebih panjang entah berapa puluh meter hingga mendekati jalan raya. Antara kolam yang ada di halaman dan kolam yang panjang, dipisahkan jalan masuk yang melintang dari selatan ke utara.

Setelah selesai sholat, baru kami turun lagi untuk berbuka puasa. Walaupun yang lain sudah selesai, tapi ada beberapa jamaah yang juga meneruskan buka puasanya. Nggak ngisin-ngisisni lah. Jika tidak di Thailand, jika tidak bertemu dengan mas ridlo, belum tentu saya bisa berbuka puasa dalam acar sidang isbat yang hasilnya dinantikan seluruh umat muslim Thailand. Ada seorang anak melayani kami. Seumuran anak smp. Ternyata dia fasih bahasa Indonesia. Dilihat dari gaya berpakaian, model potongan rambut dan bahkan cara berjalannya, saya sangat mengenal karakteristik seperti itu. Dan ternyata benar ketika kami tanya, dia mondok di gontor. Pantas saja fasih bahasa Indonesia.

Sudah empat hari saya terus bersama mas Ridlo, tidak berada di konsulat. Padahal teman-teman sudah banyak yang berada di konsulat. Teman kamupus juga sudah berkumpul di konsulat semuanya, kecuali saya. Dari kemarin, teman-teman terus saja mengirim pesan kepada saya. Intinya, cepet kesini, kangen. Walaupun dengan bahasa yang saru dan khas konco kenthel anak jawa timuran. Saya balas dengan bahasa yang sama, dan juga memiliki inti yang sama. Saya ke konsulat, malam itu juga. Tentunya, setelah sepulang dari masjid songkhla, setelah mengumandangkan takbir memuji kebesaran Tuhan. Allaahu Akbar.
0

Sabtu, 16 Juli 2016



“Teh, kekonsulat jadinya tanggal berapa?” saya kirimkan pesan line ke teh Aulya, satu-satunya teman PPL yang berada di wilayah yang sama dengan saya. Hampir semua mahasiswa PPL akan menghabiskan lebaran di konsulat republik indonesia di songkhla.Ada yang sejak H-5, ada yang sehari sebelum lebaran. Saya sendiri rasanya tak sabar untuk bertemu teman-teman seindonesia, khususnya teman-teman sesama kampus. Tak sabar untuk segera berbagi cerita setelah sebulan menikmati maupun meratapi kehidupan diluar negeri, sendirian. Tak sabar untuk segera bercanda ria dengan menggunakan bahasa ibu, bahasa jawa, setelah sebulan lidah terasa kelu belajar bahasa Thailand yang harus pakai nada itu. Sama pengucapan, beda panjang pendek, sudah beda arti. Sama pengucapan, sama panjang pendek, beda nada tinggi rendah, juga bisa beda arti.

Teh Aulya mengajak H-6 lebaran, karena tempatnya sudah libur duluan. Saya ikut apa enggak, dia tetep berangkat. Selain itu, juga karena ada guru di tempatnya yang pulang kampung hari itu. Jadi ada yang menemani walaupun tidak sampai konsulat. Saya mau tak mau ya ikut saja. Karena saya sendiri belum berani untuk tersesat sendirian di negeri orang. Paling nggak, kalau dua orang, jikalaupun tersesat masih ada temannya. Oleh karena pertimbangan tersebut, saya memutuskan untuk berangkat bareng sama dia.

Konsulat Republik Indonesia berada di wilayah provinsi Songkhla. Perjalanan kurang lebih 3 jam dari wilayah saya, Khongra, Phatthalung. Kami menggunakan rodtu. Semacam angkutan antar kota. Jika di Indonesia, mobil yang digunakan seperti mobil travel. Rodtu sudah memiliki jalur sendiri, seperti bus. Jadi, tidak semua jalan dilewati rodtu. Tarifnyapun sedang, untuk ukuran jarak dan juga kenyamanan. Tidak terlampau mahal juga tidak terlampau murah. Perjalanan dari Khongra menuju Hatyai 100 baht. Setelah itu kami harus berganti rodtu untuk menuju konsulat, tarifnya 30 baht.

Di Thailand selatan ini sendiri, ada beberapa jenis kendaraan umum. Diantaranya, bus, rodtu, songteu dan tuk tuk. Songteou hanya beroperasi dalam satu wilayah saja. Songteou berupa kendaraan bak terbuka yang belakangnya dipasangi kursi untuk penumpang. Dan tentunya diberi atap pelindung.  Sedangkan tuk tuk, berbeda dengan tuk tuk di bangkok. Di songkhla, tuk tuk adalah kendaraan semacam songteou tetapi lebih kecil.

 ************************

Setiap hari sabtu pada bulan ramadhan, konsulat RI songkhla mengadakan buka bersama untuk warga Indonesia yang berada di Thailand Selatan.  Begitu juga hari ini. Hari sabtu terakhir di bulan ramadhan. Yang artinya kesempatan terakhir untuk berbuka bersama dengan masyarakat Indonesia di Konsulat Republik Indonesia.

Hanya beberapa dari mahasiswa yang menghadiri buka bersama. Dan saya, laki-laki sendirian. Teman-teman belum ada satupun yang datang, karena berbagai alasan. Tapi hal tersebut memberikan keuntungan tersendiri bagi saya. Kalau kata orang tua, silaturrahim membawa rezeki bukanlah isapan jempol belaka. Lha wong kata-kata itu mengutip hadits nabi, tidak diragukan lagi kebenarannya. Baik rezeki secara langsung maupun tak langsung.

Bertemu orang sendiri di negeri orang lain itu rasanya, sesuatu, yang tak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata. Apalagi untuk pertama kali, agak senang gimana gitu. Diantaranya, ada beberapa pekerja yang sudah satu tahun berada di Thailand, mereka berada dalam satu perusahaan yang entah bergerak dalam bidang apa. Ada juga seorang guru, seumuran dengan saya, mas ridlo namanya. Yang lainnya saya tidak berkenalan. Dari perkenalan tersebut, mas ridlo menawari saya untuk menginap ditempatnya, daripada sendirian di konsulat, katanya. Ini rezeki yang saya maksudkan. Setelah agak mikir madhorot dan manfaatnya, akhirnya saya mengiyakan.

Matahari sudah mulai tidak kelihatan, pertanda waktu maghrib tiba. Tidak terdengar adzan di sini. Mungkin Konsulat RI ini jauh dari masjid. Masjid di sini jelas tidak se ramai di Pattanai, Yala atau Narathiwat yang mayoritas islam, apalagi Indonesia. Masjidnya ramai sekali, tetapi entah jamaahnya. Setelah sekian lama berbuka puasa dengan saudara yang tidak setanah air, akhirnya kami bisa berbuka bersama saudara setanah air. Barisan makanan dan minuman takjil berjejer rapi menggiurkan lidah. Tentunya saya tergoda, tetapi saya cukup bisa untuk menjaga diri memilih dan memilah makanan.

Belum waktunya buka, belum semuanya datang


Acara dilanjutkan sholat maghrib terlebih dahulu sebelum menyantap hidangan utama. Sebagai imam, seorang mahasiswa s-3 yang sedang menempuh studi di prince of songkhla university.  “Bagaimana, nanti jadikan menginap di tempat saya?” tanya mas Ridlo selepas  sholat maghrib. “Boleh,” jawabku. Kami nikmati hidangan buka puasa sambil bercengkerama menanyakan pengalaman hidup di Thailand. Tentang bahasa yang dipelajari, tentang pekerjaan di Thailand, tempat tinggal, dan tak ketinggalan, gaji.

Beberapa pekerja yang sudah setahun itu, tidak mengaku ketika ditanya gaji. Yang pasti lebih banyak daripada gaji guru. Tetapi, walaupun setahun berada di Thailand, bahkan mereka belum pandai berbicara bahasa Thailand. Dan sebagai guru, mas Ridlo yang setiap hari terjun bercengkerama dengan murid-murid, sudah sangat lancar berbahasa Thailand. Mas Ridlo menerangkan, gaji guru dari Indonesia ditetapkan minimal 12.000 baht, atau sekitar 4,5 juta rupiah. Gaji segitu belum termasuk yang tinggi. Untuk guru thailand sendiri, yang memiliki jabatan lebih tinggi ataupun tugas lebih banyak, bisa lebih banyak dari itu. Berbanding terbalik dengan Indonesia.

Percakapan kami mengalir begitu saja seperti teman lama yang sudah tidak pernah bertemu. Hingga waktu untuk sholat isya’ dan tarawih tiba. Selesai sholat, saya berpamitan kepada teman-teman mahasiswa untuk menginap di tempatnya mas Ridlo.
0

Sabtu, 02 Juli 2016


 
Salah satu kegiatan santri pada malam hari
Minggu kedua berada di Thailand sudah memasuki bulan ramadhan. Bulan penuh berkah dan semoga bisa kecipratan berkahnya ramadhan. Ramadhan kali ini terasa berbeda dari ramadhan biasanya. Jika di Indonesia, hawa ramadhan sudah bisa dirasakan jauh-jauh hari sebelum ramadhan datang. Seperti ketika sirup marjan sudah mulai muncul di TV. Di Thailand, terkadang merindukannya.


Di Indonesia, ramadhan penuh dengan kemeriahan dan keriuhan umat islam yang siap menjemputnya. Sedangkan di Thailand, lebih tepatnya di daerah tempat saya KKN, benar-benar tidak terasa apakah ini akan memasuki ramadhan atau tidak. Walaupun saya percaya, ramadhan tidak dirasakan hanya dari kemeriahan menyambutnya, tetapi dari hati masing-masing individu. Mungkin derajat saya belum sampai pada hal tersebut.  Di Thailand sendiri, tanggal satu ramadhan diumumkan oleh syaikhul islam yang berada di Bangkok. Ramadhan kali ini tidak bebarengan dengan ramadhan di Indonesia. Ketika menteri agama Indonesia mengumumkan ramadhan jatuh pada tanggal 6 Juni 2016, di Thailand jatuh pada tanggal 7 juni 2016. Selisih satu hari.


Umat islam di Thailand berjumlah 5% dari keseluruhan populasi masyarakat Thailand. Mayoritas berada di daerah Thailand Selatan, terutama 3 provinsi yaitu Pattani, Narathiwat dan Yala. Untuk wilayah Thailand Selatan selain tiga provinsi itu, umat islam memang banyak, tetapi bukan mayoritas. Seperti di wilayah saya, phatthalung, umat islam sekitar 30%. DI wilayah Songkhla, umat islam sekitar 40%. Juga banyak berdiri musholla atau masjid. Seperti di provinsi phatthalung, untuk daerah khong ra, saya melihat banyak musholla dan masjid berdiri di pinggir jalan.


Kehidupan beragama di Thailand, umumnya tidak ditekan atau dihalang-halangi oleh kerajaan. Dalam artian, masyarakat beragama di Thailand bebas melaksanakan ibadahnya. Muslim di Thailandpun kebanyakan juga menganut paham ahlussunah wal jama’ah. Tidak ada perbedaan yang mencolok dengan di Indonesia. Seperti ketika sholat tarawih. Ada sebagian yang tarawih dengan delapan rokaat, mayoritas dua puluh rokaat. Ada yang tarawih penuh takzim menghayati ayat al-Qur’an, ada pula yang dinamis bergelora penuh semangat, cepat layaknya tarawih desa-desa di Indonesia (baca:tarawihnya orang NU).


Teman-teman mahasiswa, banyak yang share pengalaman malam pertama ramadhan di tempat masing-masing lewat group line. Ada yang menjadi imam tarawih, banyak yang menjadi makmum istiqomah tidak pernah menjadi imam, seperti saya. Di tempat neny, satu-satunya perempuan dari kontingen saya, ibrahimy, yang dipimpin oleh ketua badan alumni, benar-benar menghayati hakikat tarawih. Berlomba-lomba meraih kekhusyukan. Tidak tanggung-tanggung, tarawih dua puluh rokaat plus witir tiga rokaat, sampai jam sebelas malam. Bahkan imam sampai ganti tiga kali.


Dalam hal berpakaian juga tidak ada larangan untuk menggunakan jilbab. Bahkan di daerah tiga provinsi paling selatan, perempuan islam semuanya wajib menggunakan jilbab. Kebanyakan jilbab lebar seperti ukhti-ukhti yang sabar menanti dihalalkan pujaan hati. Pergaulan antara laki-laki dan perempuan di tiga provinsi tersebut sangat diperhatikan. Juga di sekolah-sekolah islam di daerah lainnya, juga di sekolah tempat saya.


Malam ramadhan setelah tarawih, diisi dengan tadarrus al-qur’an. Tetapi tidak menggunakan pengeras suara seperti di Indonesia. Yang biasanya satu anak membaca al-Qur’an, yang lain gesah (semacam diskusinya orang desa) membicarakan film atau cewek cantik di sekolah, sedangkan orang tua gesah tentang pekerjaan masing-masing. Sedangkan disini, ditempat saya, semua membaca al-Qur’an sendiri-sendiri untuk malam pertama ramadhan, entah selanjutnya. Saya tidak tahu apakah hal tersebut juga berlaku di sekolah lain ataupun di musholla dan masjid di kampung-kampung.


Walaupun tidak semeriah di Indonesia, ramadhan sudah mulai terasa kehadirannya di malam pertama ini.

0

Jumat, 01 Juli 2016





Sinar mentari sore hanya terlihat menyinari gunung sebelah timur yang menjulang tinggi. Kampung ini terapit diantara dua gunung di timur dan di barat. Jadi tidak terlihat sunrise ketika pagi hari, juga tidak terlihat sunset di sore hari. Pelajaran telah usai. Para pelajar dan beberapa guru sudah berada di lapangan sore ini. Untuk sepak bola.


Sepak bola adalah primadona disini. Hampir semua pelajar menyukai sepak bola, baik dari kelas satu sampai kelas enam tingkat SMP-SMA. Penduduk Thailand memang suka olahraga, bahkan melebihi orang Indonesia. Jadi jika ketika di sea game Thailand selalu juara, bukanlah hal yang mengejutkan. Karena olahraga di sini disukai oleh semua elemen masyarakat.


Saya merasa beruntung ditempatkan di sekolah ini, sassnah vittaya mulnithi school. Salah satunya, walaupun bukan sekolah yang besar, tetapi memiliki fasilitas olahraga, terutama lapangan yang memadai. Lapangan yang cukup bagus untuk ukuran sekolah kecil, dan nyaman. Saya jadi teringat di pondok saya dulu. Walaupun pondok yang besar, tetapi tidak memiliki lapangan sepak bola. Juga di desa saya. Walaupun memilik klub sepak bola desa, tetapi untuk berlatih harus pindah-pindah dari satu lapangan tetangga, ke lapangan tetangga yang lain.


Daripada galau karena shock culture, lebih baik ikut sepak bola saja dengan mereka, sambil mengakrabkan diri. Pepatah mengatakan, cintailah apa yang mereka cintai, niscaya mereka akan mencintaimu. Belum pernah mendengar pepatah tersebut? Memang ya pepatah abal-abal yang saya simpulkan sendiri. Dan saya, sudah mencintai sepakbola yang merekai cinta sejak waktu yang tidak bisa saya ingat.


“Bang, pai nii, len futbon!” “Bang, kesini main bola!” ujar salah satu dari mereka sambil melambaikan tangan. Saya tahu artinya karena saya tanya kepada bang Adil yang berada di samping saya, yang juga akan main bola. “Bang, bermain sepak bola?” tanya bang Adil. Saya hanya tersenyum menganggukkan kepala sambil menyingsingkan celana.


Sore itu, saya bisa akrab dengan mereka walaupun tanpa mengetahui bahasa mereka. Banyak orang yang langsung bisa akrab, karena kepribadiannya yang menyenangkan. Atau karena pandai merebut hati orang lain. Mungkin orang-orang seperti itu termasuk golongan sanguinis. Tetapi saya bukan orang yang seperti itu. Saya tidak bisa langsung akrab, bersosialisasi, atau menjadi pribadi yang menyenangkan dengan orang-orang yang baru, apalagi yang tidak saya ketahui bahasanya. Salah satu kelemahan terbesar saya.


Mencoba hal-ha yang baru, bertemu dengan pribadi-pribadi yang baru atau mendapat tantangan-tantangan yang baru, bagi sebagian orang mungkin termasuk hal yang menyenangkan. Apalagi pengalaman-pengalaman baru yang memang menyenangkan. Tetapi tidak bagi saya. Entah kenapa, saya memiliki ketakutan untuk bertemu dengan hal-hal yang baru, sekecil apapun itu. Mungkin pengalaman masa kecil yang tidak bisa saya ingat, atau kehidupan saya sejak dulu yang mengajarkan saya seperti itu, atau memang phobia.


Saya teringat ketika masa kecil. Ketika itu masih MI entah kelas berapa. Sebagai orang desa, kami tidak membeli beras di toko-toko karena memliki padi sendiri. Untuk menggiling padi, di desa saya hanya ada satu tempat yang menyediakan mesin penggiling padi. Sebenarnya ada penggiling padi keliling. Tetapi karena alasan kualitas, banyak yang memilih di penggilingan padi duduk atau tidak keliling. Pada saat itu, saya disuruh untuk mengantarkan padi kami, sendirian. Hal yang belum pernah saya lakukan. Sontak, saya langsung menolaknya dengan alasan yang sepele, karena belum pernah melakukannya. Dan sampai sekarang saya belum pernah melakukannya.


Jika saya berani melakukan hal-hal yang baru, itu hanya karena ada yang menemani. Sekali ada yang menemani, selanjutnya baru berani maju sendirian. Mungkin itu juga alasan belum pernah nembak cewek walau sering lirak lirik cewek cantik. Bukan karena takut dosa, atau takut melanggar norma yang diajarkan di agama saya. Cuma satu, belum pernah melakukan sebelumnya. Jika saya beraninya kalau ada yang menemani, masa nembak cewek ada yang menemani, ndak yo diketawain ayam. Oleh karena itu dulu pernah berpikir, suatu hal yang mungkin diketawain, atau dicibir orang. Jika besok mau menikah, biar dijodohkan saja, karena tidak berani melamar, karena belum pernah melakukannya. Tetapi sekarang, mungkin tidak ada cewek yang mau dijodohkan. Semoga saja besok berani melamar tidak usah banyak-banyak, seorang wanita sajalah jika sudah waktunya. Oleh karena itu sampai sekarang saya berusaha untuk melawan ketakutan-ketakutan tersebut.


Tetapi dalam sepak bola, tidak memerlukan bahasa-bahasa yang di ucapkan manusia. Saya tidak perlu bercakap-cakap untuk memenangkan pertandingan, untuk musyawarah terlebih dahulu siapa yang harus saya beri umpan atau untuk bermusyawarah nantinya saya harus lari kemana saja. Bermain sepak bola ya bermain sepak bola saja. Karena dalam sepak bola, memiliki bahasa sendiri yang tidak diucapkan dengan lisan. Bahasa sepak bola. Bahasa yang semua orang –yang bisa sepak bola- mengetahuinya. Jika teman saya memegang bola saya harus ngapain, jika saya yang memegang bola siapa yang harus saya beri umpan dan juga jika dalam keadaan diserang apa yang harus saya lakukan. Tanpa diceramahi, semua sudah saling memahami. Karena semua sudah paham bahasa sepak bola. Tetapi perlu digaris bawahi bahwa ini adalah bermain, bukan kompetisi.


Mulai sore itu, saya bisa akrab dengan mereka. Sehingga saya bisa belajar dengan mereka, karena sepak bola.
0

Bersama bang Adil (kiri) dan salah satu pelajar (tengah)
Minggu pertama ternyata bukanlah minggu yang mudah. Maksud hati ingin melarikan diri dari rutinitas di Indonesia, ternyata di sini saya malah menemukan tantangan baru. Sepertinya niat dari awal masih kurang pas. Tradisi yang berbeda, bahasa yang berbeda, dan beberapa hal lain yang berbeda membuat penyakit langganan para perantau, homesick dan shock culture hinggap menghampiri. Sebelumnya, saya yakin bahwa saya tidak akan mengalaminya, ternyata keyakinan saya salah.

Ketika mandi, saya juga merasakan air yang berbeda dari biasanya. Airnya agak lengket dan berbau. Awalnya saya biarkan saja, tetapi lama kelamaan malah membikin kulit gatal-gatal. Sampai disini masih belumlah menjadi masalah yang berarti bagi saya. DAlam hal makanan juga banyak yang berbeda. Saya tidak tahu sama sekali makanan apa yang disajikan, hanya tahu bahan-bahannya. Bagi saya yang sudah sering makan makanan yang rasanya tidak karuhan, ini juga bukanlah masalah berarti.

Ada yang unik dalam tradisi makan bersama disini. Kami setiap makan siang selalu bersama-sama dengan baboh dan keluarga, kadang juga dengan tetangga. Setip makan, salah seorang dari kami mengambilkan nasi untuk semuanya. Sedangkan lauk dan sayuran mengambil sendiri-sendiri. Selalu seperti itu baik ketika acara formal maupun makan bersama biasa seperti saat siang itu.

Satu-satunya yang mangganjal bagi saya adalah masalah bahasa dan berbaur dengan lingkungan. Saya bukanlah orang yang pandai bergaul dengan orang-orang baru. Ditambah dengan bahasa Thailand yang sama sekali tidak bisa saya pahami. Saya sendiri bingung, apakah saya makhluk planet asing yang turun ke bumi ataukah saya makhluk bumi yang turun di planet asing.

Jika saya melihat ke alam sekitar, ini persis seperti bumi. Pepohonan hijau yang masih rimbun. Gunung disebelah timur yang menjulang, Dan juga matahari yang masih bersinar terbit dari timur. Tetapi jika mendengarkan percakapan orang-orang, saya seperti makhluk asing ditengah sekelompok manusia. Untung saja masih ada bang Adil dan Ma’shofi yang menerjemahkan bahasa walaupun terkadang juga tidak dapat saya pahami.

Di minggu-minggu pertama ini, saya juga tidak tahu harus ngapain, disuruh apa atau harus bagaimana. Sudah terbiasa dengan jadwal penuh hampir tidak ada waktu istirahat, hari-hari yang kosong membuat saya seperti orang yang baru diputusin pacarnya –walaupun saya belum pernah punya pacar  tetapi sering patah hati-, galau tidak karuhan. Memang saya juga masih manusia, kerjaan numpuk, menggerutu, tidak ada kerjaan, sambat.

Dari informasi yang saya peroleh, ada teman yang sudah mendapat jadwal mengajar tetap, ada yang ditambah mengurusi kegiatan ekstra. Sedangkan saya masih kluntang-kluntung tidak jelas. Lha wong ngomong dengan mereka saja masih a u a u. Orang-orang banyak yang mengerjakan ini itu, abang adil dan ma’shofi juga membantu ini itu. Membuat saya merasa nggak enak sendiri karena tidak tahu harus membantu apa. Kembali muncul pertanyaan dalam diri saya, “terus ngapain saya kesini jika tidak berbuat apa-apa”.

Yang juga tidak enak, ketika dibanding-bandingkan dengan mahasiswa yang sebelumnya juga pernah kesini. Semua orang bertanya, “bang, ruu cak bang waki may?” “bang, kenal bang waki tidak?”. Lalu mengatakan keunggulan-keunggulannya. Sekali dua kali masih bisa memaklumi. Lama-lama, ketika mengetahui saya belum bisa bahasa Thailand, selalu membandingkan dengan mahasiswa sebelum saya. “Dia pandai bahasa Thailand, inggris dan juga arab, dia juga periang”. Seakan-akan mereka mengolok saya sebagai mahasiswa yang tidak bisa apa-apa. Bahkan saya belum ada seminggu seakan sudah dituntut untuk lancar bahasa Thailand. Juga belum mendapatkan tugas yang pasti seakan sudah dituntut menunjukkan kemampuan. Kembali pertanyaan menghinggapi, “Ke Thailand, apa yang kau cari? Ke Thailand mau ngapain?”.

Sepertinya memang saya harus mengubah niat. Juga harus banyak-banyak belajar bahasa Thailand.


0


Ruang depan rumah baboh


Perlahan, mobil yang kami tumpangi meninggalkan hotel CS Pattani. Bersama saya, baboh, anaknya dan dua orang pengajar yang menjalankan semacam program pengabdian dari pattani. Kedua orang ini bisa berbahasa melayu. Alhamdulilah dalam batin saya. Yang saya kenali pertama bernama Ma’shofi. Orangnya kecil pendek, masih berumur 18 tahun. Sama seperti ketika saya pertama kali melakukan program pengabdian di Banyuwangi dulu. Orangnya agak aneh, tapi memang memiliki wajah yang good looking. cara berjalannya cepat, suaranya kecil, dan tingkahnya juga masih belum dewasa.

Satu lagi Adil. Dia seperti berkebalikan 180 derajat dengan Ma’shofi. Memiliki badan yang lebih tinggi dan besar. Sudah terlihat dewasa. Maklum umurnya juga menginjak 20 tahun. Dan nantinya, kedua orang tersebut yang menjadi penerjemah saya ketika di Phatthalung. Awalnya saya sulit memahami bahasa melayu mereka.  Logatnya sudah beda. Dan beberapa kata yang artinya tidak sama dengan Bahasa Indonesia.

Perjalanan dari Pattani menuju Phatthalung memakan waktu empat sampai lima jam. Hujan terus mengguyur selama dalam perjalanan. Menyejukkan bumi Pattani yang biasanya panas menyengat ketika matahari terik. Entah kenapa selama perjalanan saya tidak bisa tidur. Kedua teman saya, Adil dan Ma’shofi dan juga anak baboh yang saya ketahui namanya syafiq, telah tertidur pulas. Padahal ketika di Aula, rasanya ingin sekali tidur.

Sampai di daerah Phatthalung, mobil dibelokkan kekiri. Memasuki jalanan yang lebih kecil, tetapi masih tetap mulus. Rumah-rumah tidak terlalu banyak. Pepohonan masih rimbun. Mungkin ini sudah dekat, batin saya. Tiba-tiba mobil dibelokkan menuju jalan kecil biasa, seperti masuk hutan. Jangan bilang kalau tempat saya nanti daerah terpencil, saya mulai was-was. Kami melewati danau yang cukup luas di kiri jalan, indah. Ada beberapa pemuda yng bercengkerama di tepiannya. Tapi hal tersebut tetap tidak menghilangkan rasa was-was sekaligus penasaran saya.

Ternyata tidak, mobil keluar dari daerah tersebut memasuki jalan besar lagi. Mungkin jalan tadi semacam jalan pintas. Tidak membutuhkan waktu lama, telah terlihat nameboard sassnah vittaya school foundation, lokasi penempatan saya. Jam menunjukkan pukul lima lebih. Tetapi langit masih terlihat cerah walaupun mendung. Selanjutnya saya ketahui bahwa ternyata matahari tenggelam atau maghrib pukul setengah tujuh. “Abang, sudah sampai,” kata Adil membuyarkan kepenasaran saya.


Saya dipersilahkan masuk di rumah baboh. Ruang depan nampak seperti balai. Ada sebuah televisi di sebelah utara ada sebuah televisi LG berukuran 21 inch. Di depannya berjejer maja dan kursi dari kayu yang masih utuh. Disamping terdapat rak buku yang berjejer rapi. Mungkin ini ruangan serba guna. Bangunan ini berlantai dua. Lantai atas yang digunakan sebagai rumah baboh. Kebanyakan rumah di Thailand menggunakan tembok batu bata bercampur kayu. Rumah baboh ini juga dominan menggunakan kayu. Terkesan kebih alami. Tetapi saying, penataannya kurang rapi. Sore itu, saya ditemani adil jalan-jalan  melihat-lihat sekolah ini. 
Main bola





0

Sing Nulis

authorMahmud Rofi'i. I'm no body.
Learn More ?