Jumat, 01 Juli 2016

Bahasa Sepakbola





Sinar mentari sore hanya terlihat menyinari gunung sebelah timur yang menjulang tinggi. Kampung ini terapit diantara dua gunung di timur dan di barat. Jadi tidak terlihat sunrise ketika pagi hari, juga tidak terlihat sunset di sore hari. Pelajaran telah usai. Para pelajar dan beberapa guru sudah berada di lapangan sore ini. Untuk sepak bola.


Sepak bola adalah primadona disini. Hampir semua pelajar menyukai sepak bola, baik dari kelas satu sampai kelas enam tingkat SMP-SMA. Penduduk Thailand memang suka olahraga, bahkan melebihi orang Indonesia. Jadi jika ketika di sea game Thailand selalu juara, bukanlah hal yang mengejutkan. Karena olahraga di sini disukai oleh semua elemen masyarakat.


Saya merasa beruntung ditempatkan di sekolah ini, sassnah vittaya mulnithi school. Salah satunya, walaupun bukan sekolah yang besar, tetapi memiliki fasilitas olahraga, terutama lapangan yang memadai. Lapangan yang cukup bagus untuk ukuran sekolah kecil, dan nyaman. Saya jadi teringat di pondok saya dulu. Walaupun pondok yang besar, tetapi tidak memiliki lapangan sepak bola. Juga di desa saya. Walaupun memilik klub sepak bola desa, tetapi untuk berlatih harus pindah-pindah dari satu lapangan tetangga, ke lapangan tetangga yang lain.


Daripada galau karena shock culture, lebih baik ikut sepak bola saja dengan mereka, sambil mengakrabkan diri. Pepatah mengatakan, cintailah apa yang mereka cintai, niscaya mereka akan mencintaimu. Belum pernah mendengar pepatah tersebut? Memang ya pepatah abal-abal yang saya simpulkan sendiri. Dan saya, sudah mencintai sepakbola yang merekai cinta sejak waktu yang tidak bisa saya ingat.


“Bang, pai nii, len futbon!” “Bang, kesini main bola!” ujar salah satu dari mereka sambil melambaikan tangan. Saya tahu artinya karena saya tanya kepada bang Adil yang berada di samping saya, yang juga akan main bola. “Bang, bermain sepak bola?” tanya bang Adil. Saya hanya tersenyum menganggukkan kepala sambil menyingsingkan celana.


Sore itu, saya bisa akrab dengan mereka walaupun tanpa mengetahui bahasa mereka. Banyak orang yang langsung bisa akrab, karena kepribadiannya yang menyenangkan. Atau karena pandai merebut hati orang lain. Mungkin orang-orang seperti itu termasuk golongan sanguinis. Tetapi saya bukan orang yang seperti itu. Saya tidak bisa langsung akrab, bersosialisasi, atau menjadi pribadi yang menyenangkan dengan orang-orang yang baru, apalagi yang tidak saya ketahui bahasanya. Salah satu kelemahan terbesar saya.


Mencoba hal-ha yang baru, bertemu dengan pribadi-pribadi yang baru atau mendapat tantangan-tantangan yang baru, bagi sebagian orang mungkin termasuk hal yang menyenangkan. Apalagi pengalaman-pengalaman baru yang memang menyenangkan. Tetapi tidak bagi saya. Entah kenapa, saya memiliki ketakutan untuk bertemu dengan hal-hal yang baru, sekecil apapun itu. Mungkin pengalaman masa kecil yang tidak bisa saya ingat, atau kehidupan saya sejak dulu yang mengajarkan saya seperti itu, atau memang phobia.


Saya teringat ketika masa kecil. Ketika itu masih MI entah kelas berapa. Sebagai orang desa, kami tidak membeli beras di toko-toko karena memliki padi sendiri. Untuk menggiling padi, di desa saya hanya ada satu tempat yang menyediakan mesin penggiling padi. Sebenarnya ada penggiling padi keliling. Tetapi karena alasan kualitas, banyak yang memilih di penggilingan padi duduk atau tidak keliling. Pada saat itu, saya disuruh untuk mengantarkan padi kami, sendirian. Hal yang belum pernah saya lakukan. Sontak, saya langsung menolaknya dengan alasan yang sepele, karena belum pernah melakukannya. Dan sampai sekarang saya belum pernah melakukannya.


Jika saya berani melakukan hal-hal yang baru, itu hanya karena ada yang menemani. Sekali ada yang menemani, selanjutnya baru berani maju sendirian. Mungkin itu juga alasan belum pernah nembak cewek walau sering lirak lirik cewek cantik. Bukan karena takut dosa, atau takut melanggar norma yang diajarkan di agama saya. Cuma satu, belum pernah melakukan sebelumnya. Jika saya beraninya kalau ada yang menemani, masa nembak cewek ada yang menemani, ndak yo diketawain ayam. Oleh karena itu dulu pernah berpikir, suatu hal yang mungkin diketawain, atau dicibir orang. Jika besok mau menikah, biar dijodohkan saja, karena tidak berani melamar, karena belum pernah melakukannya. Tetapi sekarang, mungkin tidak ada cewek yang mau dijodohkan. Semoga saja besok berani melamar tidak usah banyak-banyak, seorang wanita sajalah jika sudah waktunya. Oleh karena itu sampai sekarang saya berusaha untuk melawan ketakutan-ketakutan tersebut.


Tetapi dalam sepak bola, tidak memerlukan bahasa-bahasa yang di ucapkan manusia. Saya tidak perlu bercakap-cakap untuk memenangkan pertandingan, untuk musyawarah terlebih dahulu siapa yang harus saya beri umpan atau untuk bermusyawarah nantinya saya harus lari kemana saja. Bermain sepak bola ya bermain sepak bola saja. Karena dalam sepak bola, memiliki bahasa sendiri yang tidak diucapkan dengan lisan. Bahasa sepak bola. Bahasa yang semua orang –yang bisa sepak bola- mengetahuinya. Jika teman saya memegang bola saya harus ngapain, jika saya yang memegang bola siapa yang harus saya beri umpan dan juga jika dalam keadaan diserang apa yang harus saya lakukan. Tanpa diceramahi, semua sudah saling memahami. Karena semua sudah paham bahasa sepak bola. Tetapi perlu digaris bawahi bahwa ini adalah bermain, bukan kompetisi.


Mulai sore itu, saya bisa akrab dengan mereka. Sehingga saya bisa belajar dengan mereka, karena sepak bola.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sing Nulis

authorMahmud Rofi'i. I'm no body.
Learn More ?