Sabtu, 16 Juli 2016

Buka Bersama



“Teh, kekonsulat jadinya tanggal berapa?” saya kirimkan pesan line ke teh Aulya, satu-satunya teman PPL yang berada di wilayah yang sama dengan saya. Hampir semua mahasiswa PPL akan menghabiskan lebaran di konsulat republik indonesia di songkhla.Ada yang sejak H-5, ada yang sehari sebelum lebaran. Saya sendiri rasanya tak sabar untuk bertemu teman-teman seindonesia, khususnya teman-teman sesama kampus. Tak sabar untuk segera berbagi cerita setelah sebulan menikmati maupun meratapi kehidupan diluar negeri, sendirian. Tak sabar untuk segera bercanda ria dengan menggunakan bahasa ibu, bahasa jawa, setelah sebulan lidah terasa kelu belajar bahasa Thailand yang harus pakai nada itu. Sama pengucapan, beda panjang pendek, sudah beda arti. Sama pengucapan, sama panjang pendek, beda nada tinggi rendah, juga bisa beda arti.

Teh Aulya mengajak H-6 lebaran, karena tempatnya sudah libur duluan. Saya ikut apa enggak, dia tetep berangkat. Selain itu, juga karena ada guru di tempatnya yang pulang kampung hari itu. Jadi ada yang menemani walaupun tidak sampai konsulat. Saya mau tak mau ya ikut saja. Karena saya sendiri belum berani untuk tersesat sendirian di negeri orang. Paling nggak, kalau dua orang, jikalaupun tersesat masih ada temannya. Oleh karena pertimbangan tersebut, saya memutuskan untuk berangkat bareng sama dia.

Konsulat Republik Indonesia berada di wilayah provinsi Songkhla. Perjalanan kurang lebih 3 jam dari wilayah saya, Khongra, Phatthalung. Kami menggunakan rodtu. Semacam angkutan antar kota. Jika di Indonesia, mobil yang digunakan seperti mobil travel. Rodtu sudah memiliki jalur sendiri, seperti bus. Jadi, tidak semua jalan dilewati rodtu. Tarifnyapun sedang, untuk ukuran jarak dan juga kenyamanan. Tidak terlampau mahal juga tidak terlampau murah. Perjalanan dari Khongra menuju Hatyai 100 baht. Setelah itu kami harus berganti rodtu untuk menuju konsulat, tarifnya 30 baht.

Di Thailand selatan ini sendiri, ada beberapa jenis kendaraan umum. Diantaranya, bus, rodtu, songteu dan tuk tuk. Songteou hanya beroperasi dalam satu wilayah saja. Songteou berupa kendaraan bak terbuka yang belakangnya dipasangi kursi untuk penumpang. Dan tentunya diberi atap pelindung.  Sedangkan tuk tuk, berbeda dengan tuk tuk di bangkok. Di songkhla, tuk tuk adalah kendaraan semacam songteou tetapi lebih kecil.

 ************************

Setiap hari sabtu pada bulan ramadhan, konsulat RI songkhla mengadakan buka bersama untuk warga Indonesia yang berada di Thailand Selatan.  Begitu juga hari ini. Hari sabtu terakhir di bulan ramadhan. Yang artinya kesempatan terakhir untuk berbuka bersama dengan masyarakat Indonesia di Konsulat Republik Indonesia.

Hanya beberapa dari mahasiswa yang menghadiri buka bersama. Dan saya, laki-laki sendirian. Teman-teman belum ada satupun yang datang, karena berbagai alasan. Tapi hal tersebut memberikan keuntungan tersendiri bagi saya. Kalau kata orang tua, silaturrahim membawa rezeki bukanlah isapan jempol belaka. Lha wong kata-kata itu mengutip hadits nabi, tidak diragukan lagi kebenarannya. Baik rezeki secara langsung maupun tak langsung.

Bertemu orang sendiri di negeri orang lain itu rasanya, sesuatu, yang tak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata. Apalagi untuk pertama kali, agak senang gimana gitu. Diantaranya, ada beberapa pekerja yang sudah satu tahun berada di Thailand, mereka berada dalam satu perusahaan yang entah bergerak dalam bidang apa. Ada juga seorang guru, seumuran dengan saya, mas ridlo namanya. Yang lainnya saya tidak berkenalan. Dari perkenalan tersebut, mas ridlo menawari saya untuk menginap ditempatnya, daripada sendirian di konsulat, katanya. Ini rezeki yang saya maksudkan. Setelah agak mikir madhorot dan manfaatnya, akhirnya saya mengiyakan.

Matahari sudah mulai tidak kelihatan, pertanda waktu maghrib tiba. Tidak terdengar adzan di sini. Mungkin Konsulat RI ini jauh dari masjid. Masjid di sini jelas tidak se ramai di Pattanai, Yala atau Narathiwat yang mayoritas islam, apalagi Indonesia. Masjidnya ramai sekali, tetapi entah jamaahnya. Setelah sekian lama berbuka puasa dengan saudara yang tidak setanah air, akhirnya kami bisa berbuka bersama saudara setanah air. Barisan makanan dan minuman takjil berjejer rapi menggiurkan lidah. Tentunya saya tergoda, tetapi saya cukup bisa untuk menjaga diri memilih dan memilah makanan.

Belum waktunya buka, belum semuanya datang


Acara dilanjutkan sholat maghrib terlebih dahulu sebelum menyantap hidangan utama. Sebagai imam, seorang mahasiswa s-3 yang sedang menempuh studi di prince of songkhla university.  “Bagaimana, nanti jadikan menginap di tempat saya?” tanya mas Ridlo selepas  sholat maghrib. “Boleh,” jawabku. Kami nikmati hidangan buka puasa sambil bercengkerama menanyakan pengalaman hidup di Thailand. Tentang bahasa yang dipelajari, tentang pekerjaan di Thailand, tempat tinggal, dan tak ketinggalan, gaji.

Beberapa pekerja yang sudah setahun itu, tidak mengaku ketika ditanya gaji. Yang pasti lebih banyak daripada gaji guru. Tetapi, walaupun setahun berada di Thailand, bahkan mereka belum pandai berbicara bahasa Thailand. Dan sebagai guru, mas Ridlo yang setiap hari terjun bercengkerama dengan murid-murid, sudah sangat lancar berbahasa Thailand. Mas Ridlo menerangkan, gaji guru dari Indonesia ditetapkan minimal 12.000 baht, atau sekitar 4,5 juta rupiah. Gaji segitu belum termasuk yang tinggi. Untuk guru thailand sendiri, yang memiliki jabatan lebih tinggi ataupun tugas lebih banyak, bisa lebih banyak dari itu. Berbanding terbalik dengan Indonesia.

Percakapan kami mengalir begitu saja seperti teman lama yang sudah tidak pernah bertemu. Hingga waktu untuk sholat isya’ dan tarawih tiba. Selesai sholat, saya berpamitan kepada teman-teman mahasiswa untuk menginap di tempatnya mas Ridlo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sing Nulis

authorMahmud Rofi'i. I'm no body.
Learn More ?