Senin, 06 Juni 2016

Sedikit Cerita di Bandara

Di Bandara Juanda
Perjalanan dari banyuwangi ke bandara Juanda membutuhkan waktu kurang lebih 6 jam. Malam itu kami berangkat jam 8 lebih. Ketika sampai di Probolinggo kami mampir dulu ke rumah makan. Lha kok ndilalah kami ketemu sama dosen Ibrahimy. Entah beliau mau kemana. Kalau tidak salah mau menjenguk keluarganya. Dan ketika akan Meneruskan perjalan kami ketemu dengan dosen IAIDA. Kata Fikri, beliau adalah suami dari ning nik (Ning Nihayatul Wafiroh), yang jadi DPR RI itu. Beliau sendiri perjalanan pulang dari mengajar di Semarang.

Tepat adzan subuh berkumandang ketika kami sampai di depan masjid bandara juanda. Setelah Sholat subuh, kami bergegas mencari sarapan dan langsung ke bandara. Singkat cerita, kami sudah siap untuk terbang.Hanya saja ada sedikit masalah yang mengganjal pada saya.

Kala itu, saya sudah janjian sama sahabat saya yang berada di surabaya, sekaligus bulek saya, sekaligus tempat curhat saya –dulu- yang sekarang nggak lagi, Zarrina. Yah namanya juga sahabat sekalgus keluarga, saya juga ingin mengucapkan sepatah dua patah tiga path empat patah sampai berpatah-patah kata. Selain itu saya ingin titp HP agar diberikan kepada adik saya. Lah kok sampai 45 menitan sebelum berangkat belum kelihatan juga baunya.

Ping berkali-kali tidak di read. WA juga diabaikan, telpon juga tidak diangkat. Pikiran saya berkecamuk karena banyak hal. Maklum, gini inih susahnya jadi orang overthinking, gampang kepikiran. Jangan-jangan dia gini, atau gitu, atau sengaja, atau apa?.Sampai akhirnya pasrah saja jika memang dia tidak datang.

Akhirnya saya ikut saja dengan teman-teman menuju ruang tunggu bandara. Tas teman saya, Anam, ketika diperiksa petugas, terindikasi membawa sesuatu yang mencurigakan. Hingga akhirnya disuruh membuka tasnya. Kami sih tenang-tenang saja, palingan ya bawa rokok yang banyak gitu aja. Nggak mungkin membawa parfum mahal atau shampoonya christiano ronaldo yang merknya cl*ar itu. Wong Anam kok, lak yo udah pintar kalau barang-barang seperti itu tidak boleh dibawa di dalam pesawat.

Ketika dibuka tasnya lha kok beneran, rokok 2 press. Ini mau jualan atau mau bagi-bagi rokok gratis.mungkin seperti itu dalam hatinya si petugas tadi. Tebakan saya salah, ternyata petugas sudah paham betul dengan orang yang modelnya seperti teman saya itu, “pondokan ya mas? Ya udah rokoknya yang 1 press dititipkan saja ke temenmu”. Dan rokokpun lolos. Tak kan ada bibir sepet ketika di Thailand nanti. Selamat bro. Setelah tiket kami diperiksa, Kami pun melenggang,  dan hanya saya sendiri yang masih gelisah.

Sebelum ruang tunggu, ada sederet barang-barang yang dijual. Kata pak dosen yang akan menemani kami ke Thailand, harga disini tidak mahal karena belum kena pajak. Yo saya lihat-lihat mbok menowo ada yang cocok sambil menghilangkan kegelisahan saya. Ketika tanya harga sebuah tas  ke petugas disitu, dengan santainya bilang “dua juta mas itu”. What? Dua juta? Murah karena belum kena pajak? Itu sama dengan gaji guru honorer 4-5 bulan je. Walaupun dengan hati yang berkecamuk saya tetap memasang wajah sedatar mungkin. Biar tidak kelihatan kaget, ya gengsi to. Sambil berlalu mengamati barang-barang yang lain. Melipir.

Sampai akhirnya ada telepon masuk, ketika itu 25an menit sebelum terbang. Dar zarrina! Saya angkat malah dia matikan teleponnya. Saya telpon balik, katanya dia ada diluar. Saya bergegas lari kesana, walaupun saya tidak tau luar yang mana yang dimaksudkan. Sampai dipemeriksaan tiket, saya dicegat, “ya gak bisa mas, itu ya sama saja dengan membatalkan tiket”. Sayapun memohon semelas-melasnya. Dalam pikiran saya, selain kasihan dengan zarrina yang sudah jauh-jauh ke bandara, juga karena jika tidak ada HP yang saya berikan ke adik saya itu, saya akan sulit menghubungi keluarga. Lha wong dirumah nggak ada telepon pinter.

Akhirnya petugas terebut mengizinkan, tapi dengan syarat dia menahan passpor saya dan membatasi waktu 5 menit saja, karena dia akan ganti shift katanya. Klau tdak ketemu dengan dia berarti passpor saya tidak diberikan. Walaupun saya tahu itu hanya ancaman belaka, tapi bagaimana jika memang itu beneran. Dalam hato saya hanya misuh-misuh sambil membaynagkan ketika membuat passpor harus pura-pura akan umroh karena kami melalui agen haji. Akhirnya saya iyakan saja.  Walaupun saat itu saya juga belum tahu si zarrina ini sedang berada dimana.

Tanpa pikir panjang, saya lari sekencang-kencangnya, Walaupun semua mata tertuju pada saya. kok kayak di film saja ini, Batin saya. Akhirnya dengan lokasi yang dideskripsikan zarrina sambil mengingat-ingat tempat-tempat yang saya lalui saya bisa menyimpulkan, dia sedang diluar, benar-benar diluar, lebih tepatnya dipinggir jalan, didepan pintu masuk.  Saya kencangkan lagi laju lari saya. Saya tidak peduli lagi dengan tatapan aneh mata orang-orang yang ada disana.

Pertemuan itu adalah perteuan singkat, ya sangat singkat. Hanya bertemu, ngomong sedikit, nyerahin titipan, dan tak lupa dia nyerahin sesuatu juga. Saya wes nggak peduli lagi, hanya tak iyani saja tersu pamitan. Walaupun nantinya barang tersebut sangat berguna bagi saya. Mungkin tidak ada 20 detik dan wessss, saya lari sekencang-kencangnya, lagi. Mungkin jika dihitung wakunya tidak beda jauh dengan capaian ussain bolt. Itu yang saya rasakan saja, bukan realita, apalagi fakta. Alhamdulillah passpor masih bisa diambil dan bisa berangkat dengan tenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sing Nulis

authorMahmud Rofi'i. I'm no body.
Learn More ?