Senin, 06 Juni 2016

Perjalanan Dimulai

Dari kiri: Hadi, saya, santi, daeng, anam
Malam itu kami berlima sudah berkumpul di pesantren milik rektor, Gus Ilur. Pesantrennya bernama Bustanul Falah, taman para pemenang. Yang pertama kali datang adalah hadi. Nama lengkapnya Khoirul Hadi. Asli putra Banyuwangi. Dia adalah ketua racana IAI Ibrahimy. Dia orang yang semangat. Dia juga yang sering kesana kemari mengurus berkas dan keperluan kami. Sepertinya dia yang paling tidak sabar untuk segera ke Thailand.

Selanjutnya Anam. Nama lengkapnya Mukhtar anam Aziz. Dia asli santri salaf. Dia juga asli putra Banyuwangi. Setiap hari mulutnya tak bisa lepas dari rokok. Juga tidak bisa untuk tidak ngopi. Bahkan, saat itu Anam membawa 2 press rokok yang nantinya menjadi sedikit masalah di bandara. Dia ini yang selalu dicari bu dosen bahasa Inggris karena jarang masuk.

Ada lagi Imam Dairobi atau yang biasa kami panggil daeng. Dia adalah anak kendal yang selalu mengaku dari Semarang. “Sama saja, lha wong deket aja kok antasara semarang dan kendal. Orang-orang fahamnya semarang”. Itu jawabannya jika saya komentar tentang kabupaten asalnya. Mungkin tidak beda jauh dengan saya ketika ditanya apakah saya alumni Gontor? Tidak jarang saya mengiyakan saja. Lha wong Al-Islam –Pondok Pesantren saya dulu- tidak beda jauh dengan Gontor. Hanya saja, lebih banyak orang yang lebih mengenal gontor.

Yang terakhir, santi. Dia satu-satunya perempuan dalam kontingen kami. Tak ayal, dia selalu mendapatkan bullyan dari kami. Terutama saya dan daeng. Katanya, dia sudah pernah mondok di Blokagung (pesantren paling besar seantero Banyuwangi saat ini) selama sembilan tahun. Yaitu sejak SD. Dan menjadi pengurus ketika sebelum boyong (keluar) dari pesantren. Tapi kok saya kurang yakin. Apakah sembilan tahun tersebut benar-benar mondok atau hanya pindah tidur saja. Tetapi memang, dia satu-satunya dari kami yang pernah ke luar negeri. Ke Spanyol menjenguk saudaranya dan ke Suriname diajak oleh saudaranya yang di Spanyol tersebut.

Saat itu Hadi diantar oleh keluarganya. Ayah, Ibu dan kakaknya ikut mengantar. Begitu juga Anam, dia juga diantar oleh keluarganya. Santi, satu-satunya perempuan yang ikut ke Thailand, diantar oleh  satu-satunya pamannya. Karena orang tuanya berada di sumatera. Dairobi sendiri, yang bukan asli Banyuwangi, diantar oleh sahabat karibnya dan juga, ehm, ceweknya. Sedangkan saya yang juga bukan asli Banyuwangi diantar oleh sahabat seperjuangan dalam susah dan senang yang sudah saya anggap keluarga sendiri, teman sepengabdian di Pondok Sunan ampel.

Kami berada di pesantren ini untuk terlebih dahulu ramah tamah dengan bapak rektor dan juga menunggu mobil dari IAIDA Blokagung yang akan mengantarkan kami ke Juanda. IAIDA Blokagung  mengirim mahasiswanya dua orang. Yang pertama, Kanzul Fikri. Biasa kami panggil fikri. Dia adalah tetangga Hadi dan juga teman sekelas ketika di SD. Yang saya tahu, dia adalah sopir dari kelaurga ndalem pesantren Blokagung.

Satu lagi kang Abror. Orangnya pendiem. Tapi sekali ngomong langsung mak jleb. Orangnya asli Lampung. Dia murah senyum. Ketika kami bully pun Cuma senyum-senyum penuh makna. Tetapi kalau sudah pegang HP dan internet, dia jadi lupa dunia. Yang saya tahu juga, dia pernah mewakili IAIDA Blokagung sebagai Qori di tingkat nasional dalam acara MTQ Mahasiswa se-Indonesia.

Jadi, dari Banyuwangi mengirimkan tujuh mahasiswa. Enam laki-laki dan satu perempuan. Lima dari IAI Ibrahimy Genteng dan dua dari IAIDA Blokagung. Malam itu kami mulai melangkahkan kaki menorehkan sejarah dalam lembaran kehidupan kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sing Nulis

authorMahmud Rofi'i. I'm no body.
Learn More ?