Kamis, 30 Juni 2016

Hari Perpisahan


Salah satu rangkaian acara di Hotel


Adzan subuh sayup-sayup berkumandang terdengar melewati celah jendela yang sudah dibuka teman sekamarku, Dairobi, anak asli kendal, sejak sebelum subuh. Kamar kami menghadap barat laut kearah pantai. Deburan ombak terdengar sampai sini saat fajar menyingsing. Entah apa yang dilakukan dairobi. Sejak sebelum subuh teriak-teriak keluar jendela. Juga tidak tahu apa yang diteriakkan. Saya terlalu mengantuk untuk memperhatikan. Antara tidur dan bangun terdengar sekilas seperti sholawat.

Hari ini adalah hari ketika kami diberangkatkan menuju lokasi penempatan kami masing-masing. Ada yang bilang, lokasi perjuangan, ada yang bilang lokasi pengabdian, tetapi sampai saat ini, bagi saya masih tidak lebih dari sekedar lokasi pelarian. Dan itu artinya, hari ini adalah hari ketika kami berpisah dengan teman-teman sekampus. Ada yang satu sekolah dua orang, juga ada yang satu orang. Kami ditempatkan di 8 daerah atau provinsi. Diantaranya, provinsi pattani, yala dan narathiwat, tiga provinsi yang masih banyak menggunakan bahasa melayu. Juga mahasiswa yang ditempatkan disana tergolong banyak. Provinsi songkhla, phatthalung, krabi, trang dan pangnga, daerah yang menggunakan bahasa Thailand.

Saya sendiri bakal ditempatkan di Provinsi Phatthalung. Daerah yang katanya 100%  berbahasa Thailand dan saya tidak tahu sama sekali tentang bahasa Thailand. Menurut kabar yang beredar, masyarakat tidak ubahnya seperti masyarakat Indonesia kebanyakan, tidak bisa berbahasa asing. Yang mereka bisa hanya bahasa siam atau bahasa thailand. Waduh kapok koe... Saya sendiri walaupun tidak mahir bahasa Inggris ya paling nggak apa yang dinyanyikan Avril Lavigne, sedikit-sedikit tau lah. Selain itu, di Phathhalung tersebut, hanya dua mashasiswa saja yang ditempatkan. Saya, dan seorang lagi teteh dari UPI Bandung.

Ketika kami memasuki aula, terlihat beberapa pimpinan sekolah sudah berada di sana siap menjemput kami. Tiba-tiba, buya amran memarahi saya, “apa ini, topi haram di sini”. Saya kaget, juga malu, tetapi lebih banyak mangkel-nya. Kalau kata Gus Mus, “wong ora weruh kuwi ojo diseneni, tapi dudohono seh bener,” “orang tidak tahu itu jangan dimarahi, tapi beri tahulah yang benar”. Saya teriak dala hati, “sayakan tidak tahu buyaaa”. Tetapi saya juga memaklumi, memang karakter beliau seperti itu. Untuk pengalaman saja, juga untuk pelajaran teman-teman yang akan ke Thailand Selatan, bahwa topi haram dipakai disini.

Acara sudah akan dimulai. Beberapa perwakilan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi menyampaikan kesan-kesannya, ada juga yang menunjukkan kebolehannya. Menyanyikan lagu daerah, berpuisi, mempraktekkan cara mengajar yang kreatif dsb. Saya sendiri merasa tidak punya kebolehan apa-apa, memilih duduk saja dipojokan sambil wifi-an. Dan jujur, saya hanya ingin acara ini cepat selesai, terus tidur. Memang tidur itu nuikmat lo.

Rangkaian acara demi acara sambung menyambung tak kunjung selesai. Ada sambutan dari ketua badan alumni, dari gubernur, dari konsulat RI dan entah dari siapa lagi. Saya hanya sedikit ingat dari sambutan bapak penanggung jawab keamanan daerah Thailand selatan. Dengan bahasa melayu yang sedikit berbeda dangan melayunya sumatera ataupun malaysia, beliau menerangkan tentang kebudayaan masyarakat setempat. Bahasa melayu sudah mulai luntur, beliau sendiri mengatakan tidak bisa berbahasa melayu dengan baik. Sedangkan, bahasa Indonesia, yang beliau samakan dengan bahasa melayu, menjadi bahasa resmi ASEAN.

Masyarakat pattani, tidak bisa menggunakan bahasa melayu dengan baik. Pun dengan bahasa Thailand. Jika saya sendiri mengatakan dalam istilah jawa, melayu ora thailand yo ora, bahasa melayu tidak, bahasa thailandpun bukan. Beliau juga menyampaikan, kalau sudah waktunya pulang ke Indonesia ya pulang. Jangan menetap disini. Juga jangan membawa orang sini. Kalau mau menetap ataupun membawa orang sini, besok saja setelah kembali ke Indonesia. Dengan membawa visa munakahat. Sontak, semua mahasiswapun tertawa. Ada yang mengamini, mungkin mereka jomblo tingkat akut. Saya sendiri, walaupun jomblo tidak usah sajalah. Harus menjaga wibawa sebagai jomblo bermartabat. Selain itu kasihan si mbok kalau mau menjenguk cucunya terlalu jauh.

Juga sedikit ingat sambutan dari bapak konsulat RI, pak triyogo. Beliau menegaskan, Mahasiswa Indonesia ke Thailand bukan untuk mengajar. Tetapi sebagai duta mahasiswa Indonesia yang membawa nama Indonesia di tengah masyarakat Thailand. . . . . kembali terngiang dibenak, ke Thailand, apa yang kau cari?

Dan akhirnya, sampailah kami pada puncak acara. Penjemputan mahasiswa oleh pimpinan masing-masing sekolah. Aula yang tenang mendadak heboh oleh keriuhan mahasiswa. Kebetulan, baboh (panggilan untuk pimpinan sebuah lembaga pendidikan semacam pesantren, jika di Indonesia seperti kyai atau abah) yang menjemput saya sudah datang. Saya bertanya, beliau tidak bisa bahasa melayu. Saya mencoba menggunakan bahasa Inggris dan arab, apalagi. Waduh lha iki. Pikir nanti sajalah. Saya pamitan kepada teman-teman sebentar, mengemasi barang-barang, dan langsung berangkat. Saya tahu, dari sini, semua tidak akan sama lagi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sing Nulis

authorMahmud Rofi'i. I'm no body.
Learn More ?