Kamis, 01 September 2016

Jangan Ngaku Pernah ke Luar Negeri Kalau Belum Pernah Kesasar 3


Pintu masuk Thailand-Malaysia


Selang beberapa hari, saya harus mengurus visa di Malaysia. Karena keberangkatan sudah diatur badan alumni, jadi tidak ada masalah sama sekali. Berbeda ketika sepulang dari Malaysia. Kami pulang dari perbatasan Thailand-Malaysia menggunakan kereta api. Setelah menempuh perjalanan 5 jam, rombongan Mahasiswa KKN-PPL harus berpisah di stasiun Hatyai. Banyak teman-teman yang langsung dijemput babohnya masing-masing. Tetapi ada juga yang tidak dijemput. Mereka ini golangan tidak beruntung. Dari sedikit mahasiswa yaang masuk golongan tidak beruntung itu, termasuk saya. Dan saya yang paling jauh tempatnya dari stasiun. Apes.

Tetapi kali ini bersama teh Aulya. Jadi ya lebih tenang dan saya yakin bisa pulang dengan lancar. Pada awalnya semua berjalan biasa saja. Waalaupun langit Hat yai yang mendung tidak membuat saya berpikiran macam. Kami mencari kendaraan menuju terminal 2 yang memarkirkan rodtu jurusan kongra. Ketika sedang tengak tengok sana sini, tiba-tiba ada bapak-bapak datang sambil tersenyum entah senyum apa. Apakah senyum serigala yang menemukan mangsa atau senyum tulus seorang manusia seutuhnya saya tidak tahu. Tiba-tiba juga teh Aulya berdiskusi dengan bapak tersebut yang ternyata adalah tukang ojek. Saya masih ragu. Selain ojek itu mahal, juga masih ragu benar-benar dihantarkan ke tempat yang dimaksud atau tidak. Bukan tidak percaya, hanya takut jika dia tidak paham dengan apa yang kami jelaskan. Juga takut kami yang salah tompo.

Dan ternyata apa yang saya takutkan terjadi. Kami dihantarkan ke terminal 1. Tidak ada kendaraan menuju daerah kami di terminal 1 tersebut. Langit Hat yai yang mendung akhirnya menurunkan hujannya juga. Melengkapi nasib kami yang apes. Setelah berdiskusi dengan teh Aulya, kami memutuskan ke jalan raya mencari songteo yang lebih murah untuk pergi ke terminal 2. Saya sedikit khawatir dengan teh Aulya. Disasarkan oleh tukang ojek di negeri orang, ditambah hujan yang mengguyur. Tetapi sepertinya dia orang yang kuat. Tidak memperlihatkan kepanikan ataupun mengeluh membuat saya tidak khawatir dengan keadaan sama sekali. Bagi saya sendiri sih sudah pernah kesasar jadi ya tidak kaget.

Terminal 1 tidak berada di pinggir jalan raya, tetapi agak masuk dikelilingi pertokoan. Kami harus berjalan dua ratus meter untuk menuju jalan raya. Sebenarnya tidak terlalu jauh. Jalan diantara pertokoan khas kota yang tertata rapi sangat pas untuk dijadikan objek foto. Apalagi berjalan berdua dengan cewek cantik, seharusnya menjadi momen yang sangat menyenangkan. Hujan rintik-rintik juga menambah kesan bahwa momen tersebut harusnya menjadi momen indah. Seperti adegan film berdua saja ataupn adegan si cowok memberikan jaketnya kepada sang cewek biar tidak kehujanan. Tetapi sayangnya momen tersebut tidak datang datang pada saat yang tepat. Kami harus mengejar waktu agar tidak ketinggalan van/rodtu. Momen romantis? Ah lupakan saja.

Sampai di pinggir jalan raya, alhamdulilah kami masih melihat songteo berkeliaran mencari penumpang. Ada yang warna merah, hijau, juga biru. Setiap warna memiliki rute tersendiri. Dan kami tidak tahu harus mencegat songteo warna apa. Bahkan kami tidak tahu harus memilih songteo yang berjalan ke arah mana. Yang ke barat, atau yang ke timur. Saya melihat ada abang-abang penjaga toko yang sedang menganggur bermain hp. Saya tanyakan padanya tentang bagaimana caa pergi ke terminal 2. Dia mengarahkan untuk naik songteo yang warna biru.

Akhirnya kami menunggu songteo berwarna biru. Songteo adalah kendaraan umum dengan bak terbuka. Di bak tersebut dipasangi dua kursi memanjang  untuk penumpang. Makanya dinamakan songteo. Kata teman saya, song berarti dua. Sedangkan teo, saya lupa artinya. Mungkin tempat duduk. Terkadang ada tiga tempat duduk. Di atas bak diberi atap terpal untuk melindungi dari panas dan hujan. Jam menunjukkan pukul 15.45. Saya sedikit khawatir jika ketinggalan kendaraan. Baru saja kami rasani, muncul juga songteo dengan warna biru.

“pergi ke terminal dua rodtu Hatyai biru. Songteo adalah kendaraan umum dengan bak terbuka. Di bak tersebut dipasangi dua kursi memanjang  untuk penumpang. Makanya dinamakan songteo. Kata teman saya, song berarti dua. Sedangkan teo, saya lupa artinya. Mungkin tempat duduk. Terkadang ada tiga tempat duduk. Di atas bak diberi atap terpal untuk melindungi dari panas dan hujan. Jam menunjukkan pukul 15.45. Saya sedikit khawatir jika ketinggalan kendaraan. Baru saja kami rasani, muncul juga songteo dengan warna biru.

“pergi ke terminal dua rodtu Hatyai bisa tidak?” tanya saya.

"Bokosor?” dia balik bertanya.

Saya yang tidak paham maksudnya mengulangi pertanyaan saya.

"Owh, iya itu bokosor” kurang lebih dia bilang seperti itu. Mungkin itu sebutan penduduk setempat juga. Walaupun begitu, lagi-lagi saya masih belum bisa yakin 100%, masih trauma.

"Insyaallah benar kok.” Teh Aulya meyakinkan saya ketika sudah naik songteo.

Dan benar apa yang dikatakan teh Aulya. Songteo berhenti tepat di depan terminal 2. Pantas saja tukang ojek tidak mengantarkan ke terminal 2. Jaraknya lumayan jauh. Jam menunjukkan pukul 16.25. Benar-benar tepat waktu. Hampir saja kami ketinggalan kendaraan. Kami penumpang terakhir yang masuk dalam rodtu/van. Akhirnya kami bisa pulang hari itu.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sing Nulis

authorMahmud Rofi'i. I'm no body.
Learn More ?