Rabu, 31 Agustus 2016

Jangan Ngaku Pernah Ke Luar Negeri Kalau belum Pernah Kesasar 1


View kota songkhla dari atas bukit
Berada di negeri orang, bukanlah suatu hal yang mudah. Selain tidak ada orang yang kita kenal,ataupun sedikit orang yang kita kenal, juga tempat yang sangat asing bagi kita. Kita sama sekali tidak tahu bagaimana caranya pergi ke suatu tempat. Apalagi jika kita tidak menguasai bahasa yang dipakai di negara tersebut. Siap-siap saja mengalami petualangan yang paling seru seumur hidup. Hal tersebut yang pernah saya alami, setidaknya tiga kali. Entah kalau nanti nambah lagi.

Berada di negeri Thailand, negeri yang bahasanya harus pakai nada itu, seperti China, membuat saya harus belajar keras secara otodidak memahami bahasa penduduk setempat. Karena alasan belum mahir bahasa Thai, sering saya masih takut untuk keluar dari zona nyaman, sekolah penempatan PPL-KKN saya. Tetapi pada suatu hari, mengharuskan saya keluar untuk bepergian jauh.

Bulan kedua berada di Thailand, sudah memasuki idul fitri. Ini artinya, kesempatan berkumpul dengan teman-teman Indonesia. Alasan agenda idul fitri dan rindu teman seindonesia, mengharuskan saya pergi ke Konsulat Republik Indonesia di Songkhla. Sekitar tiga jam perjalanan dari tempat saya. Hal ini sudah pernah saya ceritakan sebelumnya. Tidak ada permasalahan yang berarti ketika pemberangkatan, karena saya bersama teh Aulya, teman Indonesia yang ditempatkan tak jauh dari sekolah penempatan saya. Juga bersama dengan teman mengajar satu sekolahnya teh Aulya yang bisa baahasa melayu dan bahasa Thailand, karena asli orang Narathiwat, provinsi paling selatan Thailand yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Dia juga mengenal daerah-daerah setempat. Dengan bantuannya, kami bisa sampai tujuan dengan sehat, selamat, sentosa dan tanpa aral apapun.

Tetapi hal ini tidak berlaku untuk kepulangan kembali ke zona nyaman. Keadaan mengharuskan saya pulang sendirian. Mendengar kata ‘sendirian’ saja sudah menjadi momok yang menakutkan. “sendirian” itu seperti kata yang menggambarkan keadaan dimana tidak ada seorangpun teman yang menemani apalagi kekasih yang mendampingi. Walaupun begitu, saya sadar saya harus setrong, laki-laki tidak boleh cengeng, -Walaupun sebenarnya terkadang mbrebes mili ketika teringat mbok’e- saya harus tetap maju.

Saya pergi ke terminal untuk mencari kendaraan pulang. “Ada rodtu* ke kongra tidak?” tanya saya ke petugas terminal dengan bahasa Thailand yang masih sangat minim. Dengan sigap dia menjelaskan dengan bahasa Thailand yang tidak bisa saya pahami. Intinya, tidak ada kendaraan. Petugas tersebut tau bahwa saya tidak bisa bahasa Thailand. Akhirnya dia memanggil perempuan yang bisa bahasa melayu. Dia menjelaskan bahwa yang ada adalah rodtu ke Mueang Phatthalung. Sedangkan daerah saya adalah kongra, pinggiran Provinsi Phatthalung. Sangat jauh dari ibukota provinsi, Mueang Phatthalung. Dia juga menjelaskan, bisa ke Kongra, tetapi turun di Pabon. Dari Pabon bisa televon rodtu yang menuji Kongra. Dia juga menjelaskan ke supir bahwa nantinya saya akan diturunkan di Pabon.

Perjalanan yang melelahkan membuat saya mengantuk. Apapun yang terjadi, saya pasrahkan saja. Saya tertidur. Tiba-tiba, saya merasa ada yang menggoyang-goyangkan tubuh saya.  Ternyata supir memberi isyarat bahwa sudah sampai. Celakabya, saya lupa nama tempat ini tadi. Kali ini saya diturunkan di pertigaan yang saya tidak tahu namanya.

Di tempat yang sangat jauh dari tempat yang saya kenal, juga sangat jauh dari orang-orang yang saya kenal. Saya menyadari bahwa saya benar-benar sendirian. Untung saja sebelum pulang saya sudah membeli pulsa untuk menghubungi baboh.  Tetapi tempat tersebut masih sangat jauh dari sekolah. Jadi saya berinisiatif menunggu rodtu saja. 

Setelah saya tunggu-tunggu,rodtu tak juga kunjung datang. Setengah jam berlalu, dan rodtu pun belum nampak sama sekali. Saya mulai gelisah. Akhirnya saya menghubungi baboh. Baboh hanya bisa bahasa Thailand, sangat sulit bagi kami untuk gkomunikasi. Saya kirimkan foto jalan dan tempat umum lain, baboh tak mengenal tempat-tempat tersebut. Perasaan saya tambah nggak enak.


Akhirnya saya cari orang yang bisa saya tanya. “ini dimana?” tanya saya. Sepertinya dia agak bingung, mungkin bahasanya kurang benar, atau logatnya yang membingungkan. Tapi akhirnya dia paham, “Pabon”, katanya. Langsung saya beritahukan ke baboh. Baboh memberi isyarat untuk menunggu kurang lebih satu jam. Wah lumayan lama ini. Jauh juga ternyata, jadi nggak enak sendiri.

Saya tunggu lama, tengok kanan kiri depan belakang dan Akhirnya, “bang!” Safid, anak baboh, memanggil saya. Saya bisa pulang dijemput baboh.

Yang kedua, ketika pulang dari konsulat juga. Kali ini sehabis acara agustusan. Sebagai warga negara yang baik dan cinta tanah air, saya mengikuti upacara 17 agstus di Konsulat. Pada saat yang sama, sekolah saya menghadiri acara di Prince of Songkhla University. Satu jam perjalanan dari konsulat. Dan juga satu jalur jika akan pulang ke Kongra yang sekitar tiga jam perjalanan.

Bersambung . . . .
*rodtu:  kendaraan umum Thailand roda empat sejenis van atau seperti mobil travel jika di Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sing Nulis

authorMahmud Rofi'i. I'm no body.
Learn More ?