Rabu, 20 April 2016

Pertemuan Yang Tak Disengaja


Pertemuan ini bukanlah pertemuan yang disengaja. Saya tidak mengenal beliau. Yang saya tahu, beliau adalah seorang ayah dari salah satu santriwati di Pondok tempat pengabdian saya. Berawal dari silaturohim di rumah seorang kawan, saya bertemu beliau di depan rumahnya. Pada saat itu saya bersama seorang teman seperjuangan, akhirnya berhenti untuk sekedar bersilaturohim.

Kami diajak masuk ke rumahnya yang sederhana. Dibanding dengan rumah-rumah tetangganya, rumah beliau termasuk rumah yang paling sederhana. Tidak terlalu besar, tetapi sudah cukup membuat kenyamanan keluarga. Karena, kenyamanan keluarga tidak hanya dari bangunan yang megah, tetapi juga suasana yang dibina antar anggota keluarga tersebut.

Orangnya bersahaja, maklum memang keluarganya adalah keluarga kyai. Sorot matanya tajam seperti pemikirannya yang tajam pula. Ini tercermin dari kata-kata yang dikeluarkannya. Dari obrolan-obrolan yang kami bahas, beliau lebih banyak berbicara daripada kami. Kami hanya mengangguk mengiyakan apa yang beliau utarakan. Setiap tutur katanya mencerminkan pribadi beliau yang terpelajar.

Beliau mencereitakan tentang pendidikan anaknya, "sebenarnya dia (anaknya) bercerita kalau ingin mencari beasiswa untuk meneruskan ke perguruan tinggi." Saya sendiri berpikir, anaknya tersebut akan sangat mampu untuk meraih beasiswa, tetapi beliau melanjutkan, "tetapi kalau saya menyekolahkan anak, maaf lo mas, ini hanya pendirian saya sendiri, kalau bisa dengan biaya sendiri. Sekali lagi, ini bukan masalah apa-apa, hanya pendirian saya sendiri. Saya merasakan, mencari ilmu itu syaratnya memang biaya, dan biayanya harus jelas. Sedangkan jika beasiswa, itu kan uang negara. Sedangkan uang negara kurang begitu jelas asalnya dari mana."

Saya langsung terpana mendengar ucapan beliau. Di zaman yang menuhankan uang seperti sekarang ini, masih ada orang-orang seperti beliau yang berpikir sampai begitu dalamnya. Bahkan uang beasiswa pun beliau tidak mau mengambilnya. Beliau bukanlah orang kaya yang serba berkecukupan. Bahkan rumahnya pun masih bertembok gedek atau anyaman bambu. Tetapi beliau menanamkan kepada keluarganya, bahwa apa yang dimakan dan apa yang didapatkan haruslah benar-benar dari harta yang halal.

Sangat berlawanan dengan apa yang terjadi dewasa ini. Orang-orang terus memperebutkan harta bagaimanapun caranya. Di segala sendi kehidupan, uang adalah raja. Kata-kata tersebut juga menohok diri saya. Saya sendiri yang mengharapkan beasiswa tetapi tidak pernah dapat. Tetapi saya sendiri masih berkeyakinan bahwa beasiswa bukanlah harta yang haram. Mungkin memang tingkatan saya masih jauh di bawah beliau.

"Oleh karena itu, ketika saya menyerahkan anak saya kepada kyai untuk dipondokkan, saya berkata kepada kyai," lanjut beliau. "Anak saya saya pondokkan disini, saya mohon keikhlasannya untuk dididik. Jika waktunya membayar syahriyah bulanan, insyaallah akan saya cukupi dan saya usahakan untuk tidak terlambat. Kalaupun terlambat sehari dua hari, saya mohon kehalalannya." 

Pikiran saya terus berjalan merenungi kata-kata beliau. Banyak wal-wali santri yang dengan santainya tidak membayar biaya bulanan anak-anaknya. Padahal setiap hari anaknya diberi fasilitas pendidikan, dididik, sampai makanpun juga berada di pondok. Bahkan banyak juga yang sudah lulus tetapi masih menangguhkan pembayarannya. Begitu pula teman-teman kampus. Banyak dari teman-teman yang sampai lulus masih memiliki tanggungan pembayaran. Padahal, mereka bukan anak orang miskin, gawai mereka pun mewah-mewah. Kendaraan untuk ke kampus, juga lebih dari layak. Ini suatu yang paradoks bagi saya.

Lalu saya membanding-bandingkan antara anak yang dibiayai sungguh-sungguh oleh keluarganya, dengan anak-anak yang tidak terlalu dibiayai sungguh-sungguh oleh keluarganya. Entah rumus dari mana, tetapi saya mendapati fakta bahwa anak-anak yang dibiayai sungguh-sungguh oleh keluarganya, akan menjadi anak yang bersungguh-sungguh dalam pendidikannya. Dan hal tersebut berlaku pula untuk kebalikannya. Tetapi, memang bukan hanya hal tersebut saja yang menjadi pengaruh kesungguh-sungguhan seorang anak.

Karena ada pula seorang wali santri yang memiliki pendirian yang penting membayarkan kewajiban kepada pondok, memberikan uang saku kepada anaknya selama satu bulan, sudah. Yang penting kebutuhan anaknya dipenuhi, hal-hal lain tidak terlalu dipikirkan. Biasanya tipe-tipe wali santri seperti ini adalah wali santri yang bekerja sebagai TKI. Jadi, anak tersebut menjadi anak yang manja, kurang kasih sayang dan tidak bersungguh-sungguh dalam pendidikannya. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sing Nulis

authorMahmud Rofi'i. I'm no body.
Learn More ?