Jumat, 15 April 2016

Pak Oemar Bakrie, Ujung Tombak Pendidikan dan Penjaga Toilet


Oemar Bakri... Oemar Bakri pegawai negeri
Oemar Bakri... Oemar Bakri 40 tahun mengabdi 
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati
Oemar Bakri... Oemar Bakri banyak ciptakan menteri
Oemar Bakri... Profesor dokter insinyur pun jadi 
Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri

Salah satu lagu favorit para penggemar bang Iwan termasuk saya sendiri ini menggambarkan betapa pak guru yang bernama Oemar Bakrie yang telah mengabdi selama 40 tahun, dengan segala kesederhanaannya mendidik murid-muridnya menjadi profesor, dokter dan juga insinyur. Tapi miris, dengan jasa yang sebesar itu gaji pak guru tidak sepadan dengan apa yang telah diberikan.

Sudah lah pak guru, walaupun ciptakan menteri tapi kalau menterinya tidak perhatian sama panjenengan mbok ya jadi penjaga toilet saja, batin saya. Ups.
Lha yo gimana lo, di Indonesia sangat banyak sekali guru yang harus nyambi kerja lain karena gaji sebagai guru tidak mencukupi kebutuhan hidupnya. Bayangkan saja, mereka adalah yang mengarahkan anak bangsa ini agar terdidik, tidak melenceng bahkan membantu menapaki karir mereka sendiri-sendiri sehingga dapat membangun peradaban bangsa ini. Kita semua tahu, pak Anies Baswedan tidak akan bisa menjadi rektor sampai menteri pendidikan jika sejak kecil tidak ada yang mendidiknya. 

Memang di sekolah-sekolah bonafid gaji guru melambung tinggi. Tapi bandingkanlah antara sekolah bonafid  dengan sekolah-sekolah biasa di negeri ini. selain itu, berapalah jumlah sekolah bonafid di negeri ini. Gaji guru berkisar kurang lebih antara Rp. 150.000 hingga Rp. 5.000.000.  Bayangkan, Rp. 150.000 saja. sangat jauh dari UMR buruh. Di daerah saya saja (Banyuwangi), UMR sebesar Rp. 1.200.000. Dan ketika saya bertanya kepada teman-teman di beberapa lembaga pendidikan setingkat SMP dan SMA, gaji mereka berkisar antara Rp. 300.000 hingga Rp. 500.000. Itu di tingkat menengah, bagaimana jika di tingkat pendidikan dasar. 

Pemerintahpun tak tinggal diam. Demi membalas jasa para oemar bakri, mereka menyediakan tunjangan profesi yang cair setiap tiga sampai empat bulan sekali. Tunjangan tersebut ditujukan kepada guru-guru yang telah memenuhi kualifikasi. Tetapi permasalahan tidak berhenti disitu. ketika jadwal pencairan tunjangan, para guru berharap-harap cemas karena tunjangan mereka tak kunjung cair. Bahkan ada guru-guru yang mendapatkan cairan tunjangan setelah menunggu satu tahun atau lebih. Selain itu, demi mengurus tunjangan yang tak kunjung cair, banyak guru-guru yang bolak-balik ke dinas pendidikan ataupun kemenag, sehingga mengganggu aktivitas belajar mengajar. 

Memang makhuk yang bernama uang tersebut mampu menggetarkan setiap sendi kehidupan. dalam puisi gus mus dikatakan bahwa uang bisa mengatur hal yang tak terartur, bisa mengganjal dan melicinkan bahkan bisa menguasai penguasa. Sehingga jika tunjangan para guru tidak cair, akan sangat mengancam kehidupan mereka. Walaupun seperti itu, akan ada yang banyak mengatakan, "dulu sebelum sertifikasi nasib guru ya baik-baik saja." Eits, mereka mungkin belum pernah terjun langsung ke lapangan. Bagaimana perjuangan guru untuk menghidupi keluarga dengan cara mengambil kerja sambilan. Dan sekarang, ketika ada tunjangan sertifikasi, sialnya beberapa sekolah tidak memahami perbedaan antara gaji dan tunjangan. Beberapa sekolah menganggap, tunjangan sama dengan gaji, jadi mereka tidak menggaji guru karena sudah digaji oleh pemerintah. 

Dalam hal ini, guru menjadi serba salah. Sebagai seorang guru, tidak sepantasnya menuntut gaji. Karena saya sendiri percaya, bahwa pendidikan tidak hanya pada taraf ilmu pengetahuan saja, tetapi juga spiritual. Jiwa keikhlasan yang dimiliki oleh guru, kasih sayangnya kepada murid-muridnya serta kesungguhan guru dalam mengabdikan hidupnya untuk bangsa akan sangat berpengaruh bagi keberhasilan murid. Walaupun toh mungkin metode mengajarnya ketinggalan zaman tetapi jika energi spiritual guru yang kuat, sangat mampu untuk mempengaruhi masa depan murid. Hanya saja, lebih tidak pantas dari pihak sekolah, yayasan dan juga pemerintah untuk tidak memenuhi kebutuhan guru.

Bandingkan dengan penghasilan penjaga toilet. Ibu saya adalah seorang pedagang di salah satu pasar besar di kabupaten kelahiran saya. Di pasar tersebut ada dua toilet, satu di lantai bawah dan satu lagi di lantai atas. Dalam satu pasar tersebut ada banyak sekali pedagang, pembeli, pegawai pasar dan juga kuli angkut para pedagang besar. ketika para pedagang kecil mengeluhkan pasar yang dikuasai oleh pedagang besar dan mengeluhkan pembeli yang lebih sedikit  jumlahnya dari pedagang, tidak demikian halnya dengan penjaga toilet. Entah pedagang besar, kecil, pembeli atau siapapun yang yang lebih banyak, mereka semua tetaplah konsumen bagi si penjaga toilet.

Katakanlah keseluruhan manusia dalam satu pasar tersebut mencapai sepuluh ribu orang. Diantara sepuluh ribu tersebut, rata-rata ada 5% orang perhari yang datang untuk sekedar menunaikan hajat atau mandi. Jika sekali masuk tarifnya adalah Rp. 1000,- maka dalam sehari bisa mendapatkan uang Rp. 500.000,-. Bahkan kebanyakan penjaga toilet akan memasang tari Rp. 2000,- untuk mandi. Itu hanya hitungan dalam sehari. Bandingkan dengan gaji guru yang berkisar antara 150 sampai 500an ribu perbulan. Oleh karena itu, mbok ya jadi penjaga toilet saja. Atau, menjadi tukang semprit pinggir jalanyang juga menjanjikan itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sing Nulis

authorMahmud Rofi'i. I'm no body.
Learn More ?