Rabu, 13 April 2016

Bercermin Cara Relokasi Gaya Umar bin Khattab dan Pak Yai


Saat kholifah Umar ibn Khattab menjadi kholifah kedua menggantikan sayyiduna Abu Bakar as-siddiq, kekuasan islam terbentang luas sampai wilayah Mesir. kala itu wilayah mesir dipimpin oleh gubernur 'Amr bin Ash RA. Kala itu ada seorang yahudi tua dan miskin memiliki rumah hanya berupa gubuk reot yang tak layak huni serta mengganggu pandangan yang berada di samping istana gubernur. Banyak orang-orang dekat gubernur 'Amr bin Ash menyarankan untuk menggusur gubuk tersebut. Gayungpun bersambut, 'Amr bin Ash mengabulkan niat para elite politik tersebut. Dengan dalih membangun masjid di dekat istana, sang Gubernur memanggil si yahudi tua. Niat disampaikan, peringatan diberikan, ganti rugi disodorkan. Yahudi menolak, lantas berangkat ke ibukota pemerintahan di Madinah untuk menuntut keadilan kepada sang kholifah, Umar bin khattab. Jika zaman sekarang ada orang-orang menuntut keadilan yang berjalan kaki dari rumahnya ke Jakarta, mungkin terinspirasi dari si yahudi tua ini. yang melakukan perjalan dari Mesir ke Madinah.

Dia membayangkan, akan memasuki istana besar yang mewah. karena istana gubernur saja semewah itu, apalagi istana khalifah. Ternyata apa yang dia dapatkan? Hanya rumah sederhana layaknya rumah penduduk biasa. Dia menemui sang kholifah yang sedang tidur di bawah pohon kurma, tanpa ada pengawal kekholifahan layaknya presiden masa kini. Tampaknya sayyiduna Umar bin Khattab tidak takut kalau-kalau ada sniper yang mengancam atau begal yang tiba-tiba merampoknya. Di bawah pohon kurma itu si yahudi tua mencurahkan isi hatinya, mengadukan permasalahannya dan menuntut keadilan kepada kholifah Umar bin Khattab. Lagi-lagi tanpa disangkanya, Umar bin khattab sambil marah-marah mengambil tulang didekatnya, lalu menghunuskan pedangnya. Dia gores tulang tersebut dengan pedangnya dengan goresan yang lurus selurus jembatan Shirathal mustaqim. Dia berikan ke pak tua yahudi dan menyuruhnya untuk memberikan tulang tersebut ke gubernur 'Amr bin Ash.

Dengan perasaan antara galau, gundah dan kebingungan tidak tahu maksud sang kholifah, si yahudi tua ikut saja perintahnya. Setelah melalui jarak yang sangat jauh, dia menyerahkan tulang dari kholifah kepada gubernur 'Amr bin Ash. Tak disangka, sang Gubernur langsung bercucuran keringat dingin dan gemetar. Tak lama setelah itu 'Amr bin ash memerintahkan kepada prajuritnya untuk membatalkan pembangunan masjid dan membongkar pondasi dan tembok yang sudah terlanjur dibangun. Tambah bingunglah si yahudi tua itu. Dia tidak paham apa maksud kholifah memberikan tulang yang telah digores oleh pedangnya tersebut dan apa yang sebenarnya terjadi hingga membatalkan niat gubernur membangun masjid. 

Dia bertanya kepada 'Amr bin Ash tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sang Gubernur menjelaskan bahwa Tulang ini merupakan peringatan keras terhadap dirinya dan tulang ini merupakan ancaman dari Khalifah Umar bin Khattab. Artinya, apa pun pangkat dan kekuasaannya suatu saat dia akan bernasib sama seperti tulang ini, karena itu bertindak adillah seperti huruf alif yang lurus. Adil di atas dan adil di bawah. Sebab kalau tidak bertindak adil dan lurus seperti goresan tulang ini, maka Khalifah tidak segan-segan untuk memenggal kepalanya. Barulah si yahudi tua memahaminya. Dia kagum atas keadilan yang diberikan dan kagum atas ajaran agama islam. Lantas dia bersaksi dan mengucapkan kalimat syahadat. Dia ikhlaskan tanah tersebut untuk pembangunan masjid yang sampai sekarang masjid tersebut masih berdiri kokoh, dikenal dengan masjid 'Amr bin Ash.

Itu adalah kisah ratusan tahun yang lalu. Tetapi kini, acapkali pembangunan tidak pernah memihak kepada rakyat. Akhir-akhir ini, gubernur ibukota Indonesia, gencar melakukan reklamasi ataupun relokasi. Banyak rakyat kecil yang menolak. Tetapi, persis seperti dalam tulisannya cak nun, bahwa pembangunan senantiasa harus disertai oleh sejumlah orang yang "ngalah", misalnya harus merelakan tempat tinggal mereka digusur untuk pendirian bangunan ruang terbuka hijau, real estate, hotel sampai tempat pariwisata. Ganti rugi yang mereka terimapun sering tidak sepadan karena ditentukan secara sepihak oleh penguasa. Husnudzon saja, mungkin gubernur itu memang benar-benar berniat demi kebaikan wilayah yang dipimpinnya. Hanya saja, mbok yao caranya yang lebih manusiawi. 

Dalam tulisan cak nun beliau juga  menceritakan ketika sedang nyantri di Pondok Gontor. Kebetulan saya sendiri lahir dan besar di desa tidak jauh dari Pondok Gontor, sekitar 3 KM. Ketika pak yai bermaksud melebarkan wilayah pondok, beliau melakukan pendekatan kepada penduduk. Tidak hanya menyediakan ganti rugi, tetapi juga menyediakan bonus dan ganti rugi yang berlipat. Tetapi toh penduduk tidak mau beranjak sejengkal pun. Akhirnya, pak yai mengerahan ribuan santri bukan untuk merobohkan bangunan penduduk. Tetapi justru untuk bermunajat kepada Allah dan mengirim fatihah setiap selesai sholat fardlu agar dibukakan hati penduduk. Setelah beberapa bulan, Allah membukakan hati penduduk tersebut dan penduduk tersebut merelakan kerja samanya demi pembangunan jangka panjang.

Ada juga cerita lain yang juga tentang Pondok gontor. Kali ini dari teman saya yang alumni pondok tersebut dan juga pernah mengabdikan dirinya sebagai ustadz selama beberapa tahun. Ketika pak yai juga bermaksud meluaskan wilayah karena sudah tidak cukup lagi untuk menampung kebutuhan pondok. Kebetulan ada lahan kosong disebelah pondok milik penduduk. Beliau melakukan pendekatan kepada penduduk dengan cara yang sama. Tetapi lagi-lagi salah seorang penduduk tersebut tidak merelakan tanahnya. Akhirnya, pak yai tahu bahwa penduduk tersebut memliki anak gadis. Startegi berjalan, dan beliau merencanakan untuk menjodohkannya dengan salah seorang santrinya. Gayungpun bersambut, si gadis memendam rasa kepada salah seorang santri gontor. Perjodohanpun berjalan dengan mulus dan tanahpun diwakafkan ke pondok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sing Nulis

authorMahmud Rofi'i. I'm no body.
Learn More ?