Kamis, 25 Februari 2016

Africa Van Java

Taman Nasional Baluran, Afrikanya Pulau Jawa
Pagi-pagi sekali saya berangkat bersama kawan saya untuk rapat operator sekolah di salah satu SMA swasta di ujung utara Banyuwangi. Biasanya saya berangkat tidak sepagi ini. Berhubung jarak yang sangat jauh dari tempat saya (60 KM lebih) untuk ukuran dalam satu kabupaten. Maklum, Banyuwangi termasuk salah satu kabupaten terluas di Provinsi Jawa Timur. SMA tersebut adalah SMA Ibrahimy Wongsorejo. Yang mana 1 KM lagi ke utara sudah masuk wilayah Situbondo, yaitu Taman Nasional Baluran atau yang terkenal dengan sebutan Africa Van Java, afrikanya Pulau Jawa.

Bagi saya yang sangat gandrung dengan dolan-dolan, ini menjadi kesempatan emas yang tak boleh dilewatkan. Bagaimana tidak, tugas dari sekolahan yang menumpuk tak pernah memberi saya ampun. Dan teman saya, Wahid pun sepakat seolah sudah mengerti sebelum saya mengutarakan rencana saya. Kami sepakat bahwa setelah rapat operator langsung meluncur ke baluran.

Sebenarnya kali ini bukan pertama kali saya ke baluran. Wahidpun juga bukan pertama kali. Sebelum ini saya pernah dua kali kesini. Pertama kali tahun 2013. Waktu itu saya bersama seorang teman namanya Mahfud, setelah mengirim data sekolahan di dinas pendidikan langsung meluncur ke baluran, tanpa rencana. Pada saat itu juga musim hujan. Awan bergelayut di atas gunung yang menjadi ikon baluran. Walaupun mendung bergelayut, tak mampu mengurangi kekaguman saya pada alam ini. Bayangkan saja, di pulau yang terkenal hutan tropisnya, terbentang luas savana kering bak daratan afrika. Beberapa pohon akasia berdiri gagah di tengah-tegah savana. Kawanan kijang berteduh di bawahnya. Beberapa merak juga terlihat malu-malu di ujung savana.

Mahfud di atas menara pantau


Kali kedua saya ke baluran pada saat bulan ramadlan. Entah apa yang ada di pikiran saya waktu itu. Bulan puasa pergi ke afrika. Hausnya minta ampun. Ini masih padang savana, bagaimana jika di padang mahsyar nanti. Mau membatalkan puasa, perjalanan ini tidak memenuhi syarat untuk diperbolehkan membatalkan puasa. Kali ini saya bersama teman saya yang lain. Teman yang satu ini adalah partner saya dalam urusan per-dolan-an sejak kecil. Dia biasa kami panggil Hamam. Saya rasa kami berdua memang agak kurang waras. Di saat orang lain terbuai dalam mimpinya di sang bolong dalam bulan suci ramadlan, kami berdua pergi ke tempat paling kering se-tanah jawa. menuju tengah-tengah savana yang alhamdulillah, panas. Benar-benar berdua, kijang dan merak juga tak kelihatan walaupun ekornya saja. Tapi itu semua terbayar lunas setelah mendapati pemandangan yang saya akui sangat indah. Mendung sudah tidak lagi bergelayut di langit baluran. Savana yang luas, ditambah gunung yang megah sebagai background, bak landscape lukisan alam yang lebih indah dari mimpi. Dan akasia yang masih kesepian tetap tegar berdiri.

Hamam Di Depan Akasia


Dan saya kembali lagi ke baluran untuk yang ketiga kalinya. Jam menunjukkan pukul 11.35. Perjalanan ke pintu gerbang hanya membutuhkan waktu 5 menit. Ketika saya akan masuk ke dalam, ditegur oleh penjaga, "Pintunya sebelah barat mas," katanya. Masuk ke wilayah baluran, ada dua penjaga loket dari anak-anak SMK. "Satu motor dua orang mbak," lapor saya pada mbak penjaga. "Tiga pulul lima ribu mas," katanya sambil merobek karcis lantas diserahkan kepada saya. "Tiga puluh lima ribu?" dalam pikiran saya. "Pertama saya kesini Dua belas ribu, kedua kali tidak mebayar karena bulan puasa, tidak ada yang menjaga," lanjut saya dalam lamunan. Ternyata ada lima karcis yang diserahkan. Dua untuk Wahid, satu untuk sepeda dan dua lagi untuk saya.

Pertama kali masuk wilayah baluran disambut oleh hutan kering. Lalu masuk ke wilayah evergreen, atau daerah hijau sepanjang tahun. Daerah ini seperti hutan-hutan tropis pada umumnya. Jalur untuk mencapai savana lumayan membuat pantat serasa diatas tungku. Setelah menempuh jarak 9 KM dengan jalan aspal rusak, akhirnya sampailah kami di primadonanya baluran, Savana Bekol. Kali ini banyak pengunjung yang menikmati pesona afrika di ujung timur pulau jawa ini. Sedangkan kami, memilih untuk menuju musholla mendirikan sholat dluhur terlebih dahulu.



Banyak pengunjung yang berfoto-foto di tempat-tempat strategis. Seperti disekitaran pohon akasia yang masih kesepian.Yang ditinggal mbak Raisa setelah shooting video klip. Saya berfikir, sungguh beruntung pohon tersebut diajak bercengkerama dengan mbak Raisa. Tapi juga kasihan sekali, hanya ditinggal begitu saja tanpa memperdulikan perasaan si pohon tersebut. Yang saya dengar, banyak pohon akasia yang ditumbangkan karena dianggap sebagai biang kerok penurunan populasi banteng jawa di baluran. Padahal saya kira semua adalah ulah para tangan-tangan jahil yang serakah. Tak usahlah dijelaskan kenapa.

Mbak Raisa Jatuh Hati
 Ada juga yang mengambil foto di depan barisan tengkorak kepala banteng yang dipajang di pinggir jalan. Saya juga tidak tahu ini tengkorak dari tahun berapa. Yang jelas ini salah satu bukti bahwa baluran adalah habitat dari banteng jawa yang sudah terancam keberadaanya. Kepala-kepala tersebut ada yang kelihatan sudah sangat lama, ada juga yang kelihatan belum terlalu lama. Mungkin para ahli purbakala dengan mudah mengetahui tahun berapa kepala tersebut hidup. Lha wong jutaan tahun yang lalu saja bisa diperkirakan apalagi yang hanya puluhan tahun. 

Tengkorak Banteng


Setelah sholat dluhur, kami keatas untuk naik ke menara pantau. Menara ini kelihatan sudah tua tetapi masih kokoh. Sebenarnya ada sedikit perasaan kalau-kalau menaranya roboh. Karena diatas sudah ada satu rombongan pengunjung yang tengah menikmati pemandangan. Dari menara pantau bisa dilihat betapa luasnya baluran. Savana hijau bagai lapangan sepak bola raksasa membentang didepan mata kami. Di belakang, terbentang barisan pepohan rimbun hingga garis langit dan bumi bertemu. Kawanan kijang juga berlarian menuju tempat genangan air. Kami berada diatas menara tidak terlalu lama. Setelah puas menikmati karya Tuhan, dan juga sudah puas mengambil gambar, kami turun untuk melanjutkan ke pantai bama di timur savana sembari menikmati pemandangan dari bawah.


--Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sing Nulis

authorMahmud Rofi'i. I'm no body.
Learn More ?