Sabtu, 19 Maret 2016

Pokoknya Barokah Itu Manut, Titik!


Bagi saya yang pernah sekolah di pondok selama enam tahun, walaupun tidak mondok, tentu pesantren bukanlah hal yang asing.Segala kehidupannya, sistem yang berjalan di dalamnya, hingga ciri-ciri santri yang gampang mbobol (keluar pondok tanpa izin), insyaallah hafal. Memang saya tidak mondok, tapi soal ilmu keislaman, jangan tanya, jelas kalah jauh dari yang mondok-mondok itu :D. Selain itu, mereka lebih barokah. Maka dari itu, saya ingin mondok seperti mereka.

Persis seperti ngendiko abah yai mereka, "lek pengen barokah seng penting manut." disuruh ngapain saja, ya yang penting manut. "Marmut enak iwake, manut penak awake," begitu lanjut abah yai. Tapi ya begitu, lha wong saya tidak pernah mondok ya saya kurang begitu paham manut yang bagaimana. Saya sih cuma denger-denger saja definisi tentang barokah itu dari teman-teman. Yang pernah saya dengar sih ziyadatun naf'i wa ziyaadatul khoiri. kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia kurang lebih begini, bertambahnya kemanfaatan dan bertambahnya kebaikan.

Nah, untuk mendapatkan barokah, konon harus manut atau menurut dengan yang diperintahkan guru atau ustadz atau yang sebangsa dengan itu. Entah diperintah begini ataupun begitu asalkan yang merintah guru, apalagi pimpinannya guru atau ustadz, poko'e manut. Walaupun diperintah "dinikmati saja" ketika digerayangin di dalam kamar si guru, seperti yang pernah terjadi di beberapa tempat, ya tidak boleh melawan kalau pengen barokah. Kalau melawan, dapat kesialan dan laknat katanya. Memang sih terlalu ekstrim, tapi ya bagaimana lagi. Kalau tidak manut, nanti malah tidak barokah hidup santri tersebut.

Guru itu memang manusia biasa, yang bisa salah dan lupa, juga bisa digoda oleh iblis dan kawan-kawan karibnya. Bahkan ada juga guru yang sudah terbuai oleh indahnya dunia. Tidak banyak sih, tapi kan justru  mereka yang menyuruh untuk menuruti apa yang dikatakan. Walaupun kata-kata "barokah" tersebut seperti senjata mereka untuk menakut-nakuti, tapi kan mereka "guru," "digugu lan ditiru." Walaupun mereka tidak -atau belum- pantas menjadi guru, tapi kan mereka masih "guru" yang harus "digugu lan ditiru."

Kalau dalam kitab ta'lim muta'alim kan seorang murid harus memilih guru terlebih dahulu, disamping memilih ilmu dan memilih teman . Mana guru yang alimwara’ (berhati-hati dalam menjalani hidup, agar benar-benar sesuai dengan ajaran Islam) dan benar-benar pas untuk dijadikan panutan, ya itu yang dipilih. Tapi ya itukan kitab kuno. Sudah tidak relevan dengan zaman yang serba canggih ini. Kalau sekarang, yang penting murah, ya itu guru yang dipilih. Masalah bisa dijadikan sebagai uswah hasanah atau tidak dipikir nanti saja. Yang penting kita manut, barokah hidup kita. Apalagi guru tersebut memiliki embel-embel keagamaan sekaligus tokoh masyarakat. Dapat dobel barokahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sing Nulis

authorMahmud Rofi'i. I'm no body.
Learn More ?