Masyarakat Indonesia khususnya yang
ditahbiskan sebagai golongan netizen –termasuk saya-, memang laksana jerami
kering yang akan dengan mudah terbakar dengan sekali sulutan. Apalagi jika
menyinggung masalah yang berbau agama dan keyakinan. Tak perlu sumbangan
bensinpun sudah mbrubuk. Pas untuk nyeduh wedang kopi.
Bagi saya yang juga mahasiswa elok-elok
bawang ini, langsung lari nyeduh kopi ketika membaca artikel Muhammad
Aprianto dan nukilan curhatan om tere liye yang di cantumkan di sana.. Bukan
apa-apa, hanya saja saya terlalu awam pada sejarah bangsa ini. Maklumlah, saya
ini hanya anak pondokan yang tidak pernah mondok dengan baik dan benar. Apalagi
belajar sejarah kemerdekaan ini yang konon kata om Tere Liye berkat usaha keras
para ulama’. Maksud hati ingin menenangkan diri, tetapi yang didapat bukannya
tenang, malah jantung berpacu entah berapa kali lebih cepat.
Walaupun bukan sebaga Liye-ers, yang
dalam bahasa jawa di daerah kami berarti lapar bukannya ngantuk (maklum, setiap
daerah di jawa bisa berbeda mengartikan suatu kata yang sama), saya tidak boleh
lantas bersuudzon begitu saja. Karena banyakk emungkinan dan ketidakpastian di
dunia ini. Lha wong rezeki dan jodoh yang sudah pasti dijatah saja masih
misteri entah sampai kapan. Apalagi ini, status
seorang anak manusia yang bisa salah dan lupa.
Pertama, saya setuju dengan opini
dalam paragraf lanjutan mas Muhammad Aprianto, mungkin memang bisa jadi itu
adalah salah satu potongan scene dari novel terbaru tere liye yang belum
diluncurkan. Hal tersebut sangat mungkin terjadi, mengingat beliau adalah salah
satu novelis yang bukunya berjajar di hampir setiap sudut kota di Indonesia.
Jika memang benar hal tersebut adalah potongan scene dari novel terbaru beliau,
kita bersyukur ternyata ini hanya potongan scene saja. Tetapi jika ini tidak
benar, juga tidak apa-apa. Toh masih ada kemungkinan-kemungkinan yang lain.
Kedua, jika memang bukan potongan
scene sebuah novel, sah-sah saja belaiu berpendapat seperti itu. Juga sah-sah
saja mas muhammad aprianto berpendapat seperti itu. Setiap warga negara dijamin
dalam kebebasan berpendapatnya. Hak Itukan yang diperjuangkan alm. Gus dur
ketika membubarkan menteri penerangan? walaupun kata-kata om tere liye tersebut
berasal dari hasil perenungan-perenungan beliau di setiap malam, tidak dari
buku-buku yang disebutkan mas muhammad aprianto, juga tidak semuanya salah.
Dalam paragraf pertama, om tere liye
mengungkapkan bahwa Indonesia merdeka karena jasa-jasa para pahlawan yang
sebagian besar ulama’. Sebelum
menjudgment pernyataan tersebut, kita lihat dulu arti kata ulama’ yang sebenarnya.
Jika dilihat dari sisi bahasa, ulama’ adalah kata serapan dari bahasa arab.
Kata Ulama’ adalah jamak (plural dalam bahasa inggris) dari kata ‘Alim.
‘Alim sendiri adalah ism fa’il dari kata ‘Alima, yang berarti
mengetahui. Jadi ‘Alim adalah orang yang mengetahui atau bisa juga
diartikan dengan orang yang berilmu. Sedangkan Ulama’ berarti
orang-orang yang berilmu. Tetapi, kata Ulama’ setelah diserap kedalam bahasa
Indonesia, mengalami penyempitan makna. Ulama’ diartikan sebagai orang yang pandai
dalam ilmu agama islam saja.
Jika
yang dimaksud Bung Darwis ulama’ disini adalah orang-orang yang berilmu,
sudah pasti benar. Dalam buku sejarah manapun, yang pertama kali mengobarkan
perlawanan adalah golongan terpelajar. Tak usahlah disebutkan tokohnya. Lha
wong saya juga belum pernah ketemu.
Tetapi kalaupun yang dimaksud adalah
para kyai, tentu pendapat ini juga tidak salah. Kita sebut saja, di jawa timur
ada mbah Hasyim (yang disebut dalam karangan Sayyid Muhammad Asad Syihab dalam naskah Al-Allamah Muhammad Hasyim
Asy’ar wadli’u Labinati Istiqlali Indonesia sebagai pelatak batu pertama
kemerdekaan Indonesia) dan mbah Wahab dkk yang mendirikan ormas islam NU. Di
Jawa Tengah ada Kyai Penggemar sepak bola, KH. ahmad Dahlan (yang ndilalah kersane
ngalah, nama kecilnya sama dengan bung tere, kang Darwis). Di Sumatera, ada
Kyai yang juga penulis yang bisa membuat para jomblowan-jomblowati menangis
tersedu-sedu karena novelnya, Buya Hamka.
Jika kita tarik kebelakang ada
Tuanku Imam Bonjol, Cut Nyak Dien bersama Teuku Umar di Aceh. Ada Pangeran
diponegoro di Jawa. Kurang berjuang apa mereka coba? Tidak ketinggalan, guru
para pendiri bangsa, yang juga singa podium, Guru Bangsa Hadji Oemar Said
Tjokroaminoto atau mbah cokro. Belum lagi kyai-kyai desa yang berjuang
mendukung perjuangan tokoh-tokoh tersebut. Tidak hanya dari umat islam, Om
Darwis Tere Liye juga menyebut tokoh agama lain yang juga turut berjuang
memerdekakan bangsa. Jadi ya sellow saja...
Dalam paragraf kedua, sayang sekali
om Darwis ini seperti ingin mengatakan, kalau berjuang itu ya pakai senjata.
Bertarung hidup mati secara jantan layaknya gladiator. Maka beliau menafikan
peran yang sebenarnya tak kalah penting dari tokoh-tokoh sosialis, komunis,
pendukung liberal dan aktivis HAM yang sebagian telah disebutkan mas Muhammad
Aprianto tersebut. Selain itu Om Darwis harus diajak mas Muhammad Aprianto
napak tilas jalur gerilya pak dirman dulu biar merasakan bagaimana pemikir
sosialis berjuang. Atau kalau tidak mau ya ngopi yang kenthel sajalah sambil
nonton film Soedirman dulu. Biar tahu perjuangan pak dirman masuk keluar hutan
dengan ditandu. Tapi ya nggak apa-apa mau beropini bagaimana. Kan setiap warga
negara sudah dijamin kebebasan berpendapatnya dalam undang-undang. Monggo
beropini sebebas-bebasnya. Lha wong opini itu bukan fakta.
Nah dalam paragraf ketiga ini,
nasihat om darwis memang mak nyess di satu sisi. Tetapi ya mak nyoss di sisi
yang lain. Bagaimana tidak mak nyess, beliau sangat perhatian kepada
pemuda-pemuda yang jomblo-jomblo ini. Daripada meratapi nasib yang tak kunjung
berubah, lebih baik belajar sejarah, nggak usah silau dengan paham luar, kalau
bahasanya kyai-kyai itu biasanya ojo gumunan dan satu lagi nasihat
beliau, jangan melupakan kearifan bangsa. Lha mak nyoss nya, karena kita-kita
ini selalu berusaha mengintip udang dibalik batu. Tidak dapat udangnya, malah bathuknya
yang kejedhug batu.
Ketiga, Mungkin juga Om Darwis Tere
Liye kepleset jarinya ketika ngetik status tersebut. Katanya manusia itu
tempat salah dan lupa. Ketika beliau menyadari respons yang kurang baik,
beliaupun menghapusnya. Kitapun sering salah dan lupa.
Yah kita sebagai penerus bangsa,
yang bisanya hanya menunjuk si ini yang paling berjasa, si itu yang cuma titip
nama sudah selayaknya mengisi hasil perjuangan mereka dengan hal-hal yang
bermanfaat. Ciyeee pesan moral.
Monggo di unjuk
riyen kopine . . .