Recent Post

Sabtu, 27 Mei 2017


Bagi shu, kumpulan pelacur adalah sekumpulan manusia hina, rendah, bermoral bejat, pantas disamakan dengan tikus gudang dan segala hal yang berkonotasi buruk. Bagi Shu, seorang  laki-laki yang tidak mau menolong dan suka menggoda pelacur adalah manusia menjijikkan, tidak boleh didekati, hanya pantas dipandang sebelah mata dan sederajat dengan kumpulan pelacur tadi.

Shu adalah pelajar 14 tahun di sebuah gereja di Nanking, Tiongkok. Dia dan teman-temannya diajari menjadi seorang kristen yang taat, juga diajari Bahasa Inggris sehingga dia dan teman-temannya bisa berkomunikasi dengan orang asing. Tidak hanya Shu, teman-temannyapun memiliki pandangan yang sama tentang pelacur dan lelaki mesum tadi. Hal ini tidak mengherankan, karena ini adalah pandangan masyarakat umum.

Pada saat itu adalah masa pendudukan Jepang. Para pelajar berlindung di gereja, tempat yang dijamin keamanannya setelah ada perjanjian antara jepang dan pemerintah kota setempat. Di lain pihak, ada seorang lelaki jururawat mayat bernama John, orang amerika.Dia datang ke gereja (lebih tepatnya katedral) untuk menguburkan sang pendeta yang baru saja meninggal. Keadaan luar kategral bukanlah keadaan yang menyenangkan. Terjadi baku tembak di mana-mana. Tentara jepang tidak peduli apakah itu laki-laki, perempuan, anak-anak, orang asing, pelajar, pekerja atau bahkan pelacur sekalipun. Semua yang didapatinya akan ditembak mati. Bukan hal mudah bagi John dan juga para pelajar lain untuk menuju katedral. Mereka dilindungi oleh tentara Cina yang mati karena kalah dalam jumlah dan kemajuan peralatan perang.

Malang bagi John. Dia datang ke katedral untuk bekerja tetapi tidak ada uang di katedral. Hanya ada seorang pelajar laki-laki dan beberapa pelajar perempuan yang berhasil selamat dari kejaran tentara Jepang, termasuk Shu. Para pelajar yang rata-rata 14 tahun tersebut, meminta pertolongan pada John, tetapi John tidak mau. John akhirnya menginap di kamar milik pendeta, yang lebih mewah dari tempat pengungsian perang manapun.

Esok hari, rombongan pelacur datang ke katedral (suatu hal yang dilarang), untuk berlindung. Tak ayal, hal itu membuat John girang. Barangkali bisa meniduri mereka secara cuma-cuma. Wajah kebencian tampak pada wajah Shu dan kawan-kawannya. Mereka bahkan tidak sudi untuk berbagi kamar mandi dengan para pelacur itu. Wanita kotor tidak boleh menggunakan kamar mandi wanita suci. Juga tempat tidur. Para pelacur itu diberi tempat tidur di ruangan bawah lantai.

 
Cerita di atas adalah potongan cerita dalam film The Flowers Of War. Film yang dibintangi oleh aktor terkenal, Christian Bale. Film tersebut berdasarkan pada sebuah novella karya Geling Yan, 13 Flowers of Nanjing, yang terinspirasi oleh buku harian Minnie Vautrin. Belum berhenti disitu, cerita berlanjut ketika tentara Jepang mendatangi katedral karena curiga ada tentara China yang bersembunyi. Shu dan kawan-kawanya berlari untuk segera sembunyi di tempat pelacur, suatu tempat yang paling aman. Tapi malang baginya, tentara jepang mampu mengejarnya. Tepat di atas tempat perlindungan pelacur, Shu memilih lari sehingga para pelacur aman di tempatnya. Naluri John tergugah. Dia menyamar menjadi pendeta untuk melindungi para pelajar. Dasar para tentara sudah terlalu berahi, mereka mengejar para pelajar untuk diperkosa hingga salah satu pelajar memilih untuk bunuh diri. Tiba-tiba terdengar tembakan dari luar dan salah satu tentara tumbang. Semua lari bersiap untuk memburu tentara cina meninggalkan kesan mengerikan bagi Shu dan kawan-kawan.

Selang beberapa hari, komandan jepang datang untuk minta maaf sekaligus mengundang para pelajar untuk menyanyi di pesta para petinggi Jepang. John tau, mereka tidak hanya disuruh menyanyi. Yu Mo, sebagai pelacur yang disegani oleh kawan-kawannya juga tahu itu. Shu dan kawan-kawannya yang juga menyadari, merencanakan untuk bunuh diri. Secara tiba-tiba, Yu Mo dan teman-teman pelacurnya memutuskan untuk menggantikan para pelajar menyanyi di pesta para petinggi Jepang. Shu tidak jadi bunuh diri, dan John merencanakan untuk melarikan pelajar dari Nanking.

Sampai di sini Shu menyadari bahwa ada sisi baik dari orang yang telah dianggap hina olehnya. Shu menyadari, bahkan mereka mau mengorbankan dirinya untuk Shu dan kawan-kawan. Shu menyadari bahwa mereka juga sama dengan dirinya, sebagai manusia biasa.
0


Selamat datang bulan penuh rahmat, bulan penuh berkah, bulan yang di dalamnya terdapat beribu ampunan, bulan yang di dalamnya terdapat malam yang bahkan lebih baik dari seribu bulan. Selamat datang bulan Ramadhan, Marhaban Yaa Ramadhan.
0

Sabtu, 08 Oktober 2016

Datang akan pergi
Lewat kan berlalu
Ada kan tiada
Bertemu akan berpisah

Awal kan berakhir
Terbit kan tenggelam
Pasang akan surut
Bertemu akan berpisah

Hei, sampai jumpa di lain hari
Untuk kita bertemu lagi
Ku relakan dirimu pergi

Meskipun ku tak siap untuk merindu
Ku tak siap tanpa dirimu
Ku harap terbaik untukmu

Lagu sampai jumpa milik Endank Soekamti berkali-kali saya ulang-ulang. Tak terasa 139 hari jatah di Thailand hanya tinggal beberapa hari saja. 4 bulan yang lalu, teringat bagaimana harus beradaptasi menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Teringat juga perjalanan ke Phatthalung setelah berpisah dengan teman-teman. Saat itu saya merasa tidak siap untuk sendirian berada di negeri orang. Minggu-minggu awal yang berat, hingga masalah utama tidak paham bahasa Thailand sama sekali, benar-benar membuat saya harus menguat-nguatkan diri. 

Tetapi, lambat laun , hari-hari yang berat berubah menjadi hari-hari yang indah. Bisa mengenal orang-orang yang sama sekali baru, sedikit demi sedikit belajar bahasa mereka, kebiasaan mereka hingga kebudayaan mereka. Lambat laun mulai mengerti dan memahami hingga membuka mata saya sebagai warga ASEAN.

Tentunya, dalam kehidupan tidak selalu melewati jalanan aspal mulus rata nyaris tanpa cobaan. Juga tidak selalu menanjak naik ke atas tetapi sambil menikmakti pemandangan pegunungan yang indah. Tetapi dalam perjalanan kehidupan, selalu dinamis. Kadangkala melewati aspal mulus, kadangkala jalanan pedesaan, kadangkala pula jalalanan pegunungan yang ekstrim naik turun penuh bebatuan, atau malah jalanan berlumpur sedalam lutut. 

Tetapi diantara perjalanan itu, yang diumpamakan sebagai jalan mulus belum tentu selalu indah. Bisa saja membosankan karena panasnya jalan raya dan padatnya kendaraan. Memang seperti itulah kehidupan. Dan setiap perjalanan itu, -selama perjalanan tersebutasih di dunia- pastilah ada akhirnya.

Begitu juga di sini. Tidak selalu mengalami hal-hal indah dan juga tidak selalu mengalami hal-hal buruk. Memang kehidupan sangat hobi mempermainkan manusia. Kadangkala manusia diterbangkan setinggi-tingginya, sedetik kemudian dihempaskan hingga perut bumi. Kadangkala ingin di sini terus menerus, kadangkala pula ingin pulang saat itu juga. Dan hal-hal yang membuat merasa ingin pulang, terkadang hanyalah hal-hal sepele. 

Katakanlah seperti murid-murid yang terkadang mengabaikan saya letika diajar, ketika barang-barang sepele yang tiba-tiba hilang tak berbekas hingga ketika laptop rusak yang tidak kunjung diperbaiki oleh tukang servis. Atau ketika teringat tempe goreng saat akan sarapan pagi yang menunya selalu telur yang membuat kulit sangat gatal karena tidak tawar, hingga ketika jatuh sakit di negeri rantau. Ketika hal-hal sepele tersebut terjadi, selalu terbersit dalam hati, “jika saya di Indonesia, bla bla bla,” akhirnya ingin pulang saat itu juga.

Tetapi lebih banyak lagi hal indah yang tak terlupakan. Contoh kecil diantara yang banyak tersebut seperti saat berpetualang dan berbagi cerita dengan teman-teman, saat disambut dengan baik oleh keluarga-keluarga yang oernah saya datangi, saat bercanda bersama murid-murid, Orang-orang yang dulunya tidak saya kenal sama sekali menjadi orang yang dekat dengan saya dan lain sebagainya. 

Dan suatu hari saya diingatkan sesuatu, “bang, saya tidak mengijinkan kamu pulang ke Indonesia,” kata salah seorang murid. Tak lama setelah itu, banyak murid lain mengatakan hal serupa. 

Ada satu hal yang saya sadari, saya harus pulang ke Indonesia beberapa hari lagi. Ketika sudah merasa nyaman, kami harus berpisah. Mengingat segala hal yang pernah terjadi, baik itu yang indah maupun yang tidak indah, lalu tiba-tiba harus pulang, rasanya . . . . 





Biasa saja.



0

Kamis, 08 September 2016




Seperti yang sudah kita ketahui bersama, tahun 2016 adalah tahun kebijakan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) diberlakukan. Banyak yang meragukan kesiapan Indonesia dalam mengahdapi kebijakan tersebut. Walaupun sebenarnya, saya pribadi sangat yakin bahwa Indonesia sangat siap menghadapinya. Tentu keyakinan saya tersebut sangat subyektif. Karena keyakinan saya tersebut bersasar dari pengalaman pribadi. Salah satu pengalaman tersebut, ketika saya berada di Thailand ini.

Dari 91 peserta KKN-PPL internasional di Thailand Selatan ini, banyak teman-teman yang mengeluhkan bahwa pendidikan di Indonesia jauh lebib baik daripada pendidikan di Thailand daerah selatan ini. Saya sendiri juga merasakan hal serupa. Entah apakah karena KKN-PPL kami berada di daerah pinggiran, berbatasan dengan Malaysia. Sehingga kami merasakan hal seperti ini. Ataukah sama saja dengan pendidikan di Thailand daerah tengaj dan utara, saya tidak tahu.

Tetapi ada satu hal yang sebenarnya mengganjal. Yaitu tentang kesadaran warga Indonesia. Seperti yang dituliskan Indy Hardono dalam artikelnya di Kompas, kita sebagai warga ASEAN seperti tidak merasakan bahwa kita adalah warga ASEAN. Dan saya sendiri, mulai sedikit merasakan sebagai warga ASEAN ketika berada di Thailand. Sebabnya sepele. Diantaranya, banyak sekolah-sekolah dan juga kantor-kantor pemerintahan di pasangi bendera ASEAN dan 10 bendera negara anggota ASEAN. Juga di buku-buku tulis. Dibalik sampul dicantumkan mara uang negara-negara ASEAN beserta konversinya dalam mata uang baht.

Sebelumnya,, saya pribadi merasakan, ttangga kita seperti Singapore,, Malaysia, Brunei, Thailand dan Filipina lebih asing daripada Arab, Mesir, Yaman bahkan Amerika dan Eropa. Apalagi tetangga yang lebih jauh seperti Myanmar, Laos, Vietnam dan Kamboja. Ora kenal blas. Mungkin Malaysia masih tidak terlalu asing. Tetapi karena alasan persaingan, gengsi dan statemen-statemen bung Karno tentang Malysia, menjadikan saya merasa asing dengan Malaysia. Bayangkan saja jika ada orang Vietnam tinba-tiba datang ke suatu sekolah di Banyuwangi lalu mengajar disana. Pastilah dikira turis nyasar.

Tetapi hal tersebut tidak saya rasakan di sini. Saya tidak merasakan sebagai turis asing. Saya merasaakan warga Thailand sadar bahwa mereka jugalah warga ASEAN. Sebagai contoh kecil, anak-anak Thailand, yang walaupun berada di Thailand daerah pinggiran, yang notabene pendidikannya dikeluhkan oleh teman-teman, mereka hafal di luar kepala bendera negara-negara ASEAN. Memang hal tersebut tidak bisa atau belum cukup untuk dijadikan tolak ukur . Tetapi saya yakin, banyak dari pelajar Indonesia yang bahkan tidak bisa membedakan antara bendera Myanmar dan bendera Laos.

Contoh kecil lain, ketika saya bercengkerama dengan pelajar-pelajar di sini. Pelajar yang masih kecil-kecil itu, sering kali bertanya tentang Indonesia. Ini di Indonesia ada atau tidak,, itu di Indonesia ada atau tidak, ini namanya apa jika di Indonesia. Sebenarnya pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang wajar. Tetapi tiba-tiba di suatu kesempata mereka minta diajari lagu Indonesia Raya. Bukan itu saja. Saat saya sedang sibuk dengan telepon pintar saya, mereka meminta untuk diputarkan lagu-lagu kebangsaan negara-negara ASEAN via youtube. Awalnya Indonesia, lalu menjalar ke lagu kebangsaan Malaysia, berturut-turut pula minta dimainkan lagu kebangsaan Myanmar, Laos, Vietnam, Kamboja, Filipina, Singapura dan Brunei. Mereka tidak meminta diputarkan lagu kebangsaan negara-negara selain ASEAN . Walaupun itu adalah negara maju ataupun negara yang terkenal dengam sepakbolanya.

Beberapa contoh kecil tersebut, bukankah sudah bisa membuktikan bahwa warga Thailand sadar bahwa mereka adalah warga ASEAN. Dan hal tersebut juga membuat saya sadar sebagai warga ASEAN. Jika ada pertanyaan, kenapa kita harus sadar? Jawabnya mudah saja, bagaimana kita bisa bermain bola jika kita sedang tidur?.


0

Sabtu, 03 September 2016



Seperti yang pernah saya ceritakan, banyak pelajar Thailand selatan yang ingin belajar di Indonesia. Dan juga banyak yang sudah berada di Indonesia. Konsulat Indonesia di Songkhla mencatat, rata-rata mereka mengeluarkan 1200 visa pelajar Thailand. Salah satunya, termasuk anak baboh. Hari itu baboh pulang dari Indonesia setelah mengikuti rombongan badan alumni yang mengantarkan oara pelajar Thailand ke tempat mereka studi. Tentunya ada banyak cerita yang baboh bawa untuk diceritakan ke murid-murid dan guru-guru tentang kesan beliau selama seminggu berada di Indonesia. Mulai dari cerita sekolah-sekolah yang dikunjungi, jalanan yang ramai (jauh lebih ramai dari Thailand, katanya), populasi yaang sangat banyak san tentunya, makanan khas.

Selain pulang membawa cerita, tentunya tak elok jika tidak membawa oleh-oleh. Seminggu ke luar negeri pulang tak membawa oleh-oleh, tentunya akan membuat semua orang memandang kita layaknya koruptor yang telah mencuri harta rakyat jelata. Pantas untuk dihukum seberat-beratnya. Sepertinya baboh tak ingin haal itu terjadi pada diri beliau.

Sehari setelah pulang dari Indonesia, baboh mengumpulkan semua guru untuk membahas hal-hal yang tidak saya pahami, blas. Mereka semua berbicara dengan bahasa Thailand yang sangat cepat sekali. Sedikitpun saya tidak tahu mereka berbicara apa. Rasanya seperti nomton film Thailand tanpa subtitle. Cuman bedanya, saya tidak berada di depan lapto (maklum pecinta film gratisan), tetapi langsung berada di tempat shoting, live.

Saya kira, setelah acara tersebut selesai, baboh mengeluarkan amplop untuk dibagi ke guru-guru, termasuk saya. Maklum saya belum pernah mendapat uang saku sejak pertama kali menginjakkan kaki ke Thailand. Berbeda dengan teman-teman, lancar jaya. Ternyata bukan, baboh tidak mengeluarkan amplop, tetapi bingkisan. Sedikit kata yang saya pahami, “bingkisan dari Indonesia” katanya. “Mahmud tidak dapat”, sahut makcik istri baboh sambil tertawa. Saya hanya tersenyum menanggapinya. Lalu baboh mengeluarkan bingkisan satu persatu. Dan, jeng jeng jeng, baju batik sekitar 40-60 ribuan.

Yang tidak saya sangka, ekspresi dari guru-guru. Guru-guru yang kebanyakan perempuan itu, dan diantara perempuan  tersebut, mayoritas emak-emak, menunjukkan ekspresi yang sangat menghebohkan. Ekspresi mereka seperti cewek-cewek bertemu dengan artis korea pujaan hati ataupun cewek-cewek yang bertemu dengan boy band idaman mereka. Histeris tak terkendali. Dalam batin saya, “howalah, kalau hanya seperti itu di pasar ya mumbruk.” Sedangkan yang bapak-bapak hanya senyum-senyum saja. Entah pengen histeris tapi malu atau senyum karena bingung mengekspresikan kebahagiannya. Yang jelas, semua suka dengan batik, produk asli Indonesia.

Dari yang saya ketahui, banyak produk-produk made in Indonesia yang digemari di sini. Seperti cerita teman-teman yang dipuji ketika mengenakan produk-produk Indonesia mulai dari songlok di atas kepala hingga sepatu di bawah kaki. Juga yang perempuan. Menurut cerita kakak angkatan saya, dia diminta mengirimkan kerudung-kerudung dari Indonesia. Mereka suka, katanya. Bahkan ketika saya mengenakan jas almamater, jasket BEM ataupun jaket made in Indonesia, semua memujinya. Dan dengan sedikit berharap, diberikan kepada mereka. Ini yang nggak enak.

Yang pernah saya ceritakan juga, Iqro’ dan kitab-kitab karya ulama’ Indonesia yang diajarkan di sini. Dan produk yang paling banyak dipakai dari Indonesia adalah sarung. Pakaian tradisional muslim nusantara yang tak lapuk oleh zaman ini, sangat banyak beredar disini. Bahkan banyak sekolajan, yang gurunya selalu mengenakan sarung setiap mengajar. Mungkin berawal dari pertalian sejarah yang sangat kuat dengan tradisi keislaman di Indonesia sejak kesultanan islam Pattani belum dikuasai oleh Siam. Dan tradisi tersebut masih terus hidup hingga sekarang. Banyak sekali produk-produk made in Indonesia yang beredar. Bahkan yang di Indonesia tidak populerpun di sini ada. Seperti sarung merk “beer ali” dan juga merk “robot”. Dua merk ini saya pribadi belum pernah melihat dan mendengar kiprahnya di Indonesia, khususnya di daerah saya sendiri, jawa timur. Entah jika di daerah lain. “sarung merk apa ini”, Saya cuma membatin.

Yang populer di sini dan juga populer di Indonesia diantaranya adalah sarung samarinda. Sarung yang sangat khas yang tidak usah melihat merknya saja sudah bisa dipastikan bahwa sarung tersebut adalah sarung samarinda. Adalagi sarung legendaris yang pernah sangat populer di Indonesia dan masih populer disini, yaitu sarung gajah duduk.

Orang Thailand aja sukabsarung Indonesia, masa kita tidak?



0

Kamis, 01 September 2016


Pintu masuk Thailand-Malaysia


Selang beberapa hari, saya harus mengurus visa di Malaysia. Karena keberangkatan sudah diatur badan alumni, jadi tidak ada masalah sama sekali. Berbeda ketika sepulang dari Malaysia. Kami pulang dari perbatasan Thailand-Malaysia menggunakan kereta api. Setelah menempuh perjalanan 5 jam, rombongan Mahasiswa KKN-PPL harus berpisah di stasiun Hatyai. Banyak teman-teman yang langsung dijemput babohnya masing-masing. Tetapi ada juga yang tidak dijemput. Mereka ini golangan tidak beruntung. Dari sedikit mahasiswa yaang masuk golongan tidak beruntung itu, termasuk saya. Dan saya yang paling jauh tempatnya dari stasiun. Apes.

Tetapi kali ini bersama teh Aulya. Jadi ya lebih tenang dan saya yakin bisa pulang dengan lancar. Pada awalnya semua berjalan biasa saja. Waalaupun langit Hat yai yang mendung tidak membuat saya berpikiran macam. Kami mencari kendaraan menuju terminal 2 yang memarkirkan rodtu jurusan kongra. Ketika sedang tengak tengok sana sini, tiba-tiba ada bapak-bapak datang sambil tersenyum entah senyum apa. Apakah senyum serigala yang menemukan mangsa atau senyum tulus seorang manusia seutuhnya saya tidak tahu. Tiba-tiba juga teh Aulya berdiskusi dengan bapak tersebut yang ternyata adalah tukang ojek. Saya masih ragu. Selain ojek itu mahal, juga masih ragu benar-benar dihantarkan ke tempat yang dimaksud atau tidak. Bukan tidak percaya, hanya takut jika dia tidak paham dengan apa yang kami jelaskan. Juga takut kami yang salah tompo.

Dan ternyata apa yang saya takutkan terjadi. Kami dihantarkan ke terminal 1. Tidak ada kendaraan menuju daerah kami di terminal 1 tersebut. Langit Hat yai yang mendung akhirnya menurunkan hujannya juga. Melengkapi nasib kami yang apes. Setelah berdiskusi dengan teh Aulya, kami memutuskan ke jalan raya mencari songteo yang lebih murah untuk pergi ke terminal 2. Saya sedikit khawatir dengan teh Aulya. Disasarkan oleh tukang ojek di negeri orang, ditambah hujan yang mengguyur. Tetapi sepertinya dia orang yang kuat. Tidak memperlihatkan kepanikan ataupun mengeluh membuat saya tidak khawatir dengan keadaan sama sekali. Bagi saya sendiri sih sudah pernah kesasar jadi ya tidak kaget.

Terminal 1 tidak berada di pinggir jalan raya, tetapi agak masuk dikelilingi pertokoan. Kami harus berjalan dua ratus meter untuk menuju jalan raya. Sebenarnya tidak terlalu jauh. Jalan diantara pertokoan khas kota yang tertata rapi sangat pas untuk dijadikan objek foto. Apalagi berjalan berdua dengan cewek cantik, seharusnya menjadi momen yang sangat menyenangkan. Hujan rintik-rintik juga menambah kesan bahwa momen tersebut harusnya menjadi momen indah. Seperti adegan film berdua saja ataupn adegan si cowok memberikan jaketnya kepada sang cewek biar tidak kehujanan. Tetapi sayangnya momen tersebut tidak datang datang pada saat yang tepat. Kami harus mengejar waktu agar tidak ketinggalan van/rodtu. Momen romantis? Ah lupakan saja.

Sampai di pinggir jalan raya, alhamdulilah kami masih melihat songteo berkeliaran mencari penumpang. Ada yang warna merah, hijau, juga biru. Setiap warna memiliki rute tersendiri. Dan kami tidak tahu harus mencegat songteo warna apa. Bahkan kami tidak tahu harus memilih songteo yang berjalan ke arah mana. Yang ke barat, atau yang ke timur. Saya melihat ada abang-abang penjaga toko yang sedang menganggur bermain hp. Saya tanyakan padanya tentang bagaimana caa pergi ke terminal 2. Dia mengarahkan untuk naik songteo yang warna biru.

Akhirnya kami menunggu songteo berwarna biru. Songteo adalah kendaraan umum dengan bak terbuka. Di bak tersebut dipasangi dua kursi memanjang  untuk penumpang. Makanya dinamakan songteo. Kata teman saya, song berarti dua. Sedangkan teo, saya lupa artinya. Mungkin tempat duduk. Terkadang ada tiga tempat duduk. Di atas bak diberi atap terpal untuk melindungi dari panas dan hujan. Jam menunjukkan pukul 15.45. Saya sedikit khawatir jika ketinggalan kendaraan. Baru saja kami rasani, muncul juga songteo dengan warna biru.

“pergi ke terminal dua rodtu Hatyai biru. Songteo adalah kendaraan umum dengan bak terbuka. Di bak tersebut dipasangi dua kursi memanjang  untuk penumpang. Makanya dinamakan songteo. Kata teman saya, song berarti dua. Sedangkan teo, saya lupa artinya. Mungkin tempat duduk. Terkadang ada tiga tempat duduk. Di atas bak diberi atap terpal untuk melindungi dari panas dan hujan. Jam menunjukkan pukul 15.45. Saya sedikit khawatir jika ketinggalan kendaraan. Baru saja kami rasani, muncul juga songteo dengan warna biru.

“pergi ke terminal dua rodtu Hatyai bisa tidak?” tanya saya.

"Bokosor?” dia balik bertanya.

Saya yang tidak paham maksudnya mengulangi pertanyaan saya.

"Owh, iya itu bokosor” kurang lebih dia bilang seperti itu. Mungkin itu sebutan penduduk setempat juga. Walaupun begitu, lagi-lagi saya masih belum bisa yakin 100%, masih trauma.

"Insyaallah benar kok.” Teh Aulya meyakinkan saya ketika sudah naik songteo.

Dan benar apa yang dikatakan teh Aulya. Songteo berhenti tepat di depan terminal 2. Pantas saja tukang ojek tidak mengantarkan ke terminal 2. Jaraknya lumayan jauh. Jam menunjukkan pukul 16.25. Benar-benar tepat waktu. Hampir saja kami ketinggalan kendaraan. Kami penumpang terakhir yang masuk dalam rodtu/van. Akhirnya kami bisa pulang hari itu.




0

Sing Nulis

authorMahmud Rofi'i. I'm no body.
Learn More ?